Kumpulan Kisah Pilu Berbagai Masa (Ulasan Novel Tere Liye – Sepotong Hati yang Baru)

 

Cerita Sedih

Kumpulan Kisah Pilu Berbagai Masa (Ulasan Novel Tere Liye – Sepotong Hati yang Baru)

Mungkin itu judul yang cocok untuk ulasan yang saya buat tentang novel karya Tere Liye yang berjudul ‘Sepotong Hati yang Baru’. Buku ini merupakan buku kedua tulisan Tere yang saya baca setelah ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’. Dan ya, tanpa membaca sinopsis atau ulasan dari orang-orang yang pernah membacanya, saya mendapati kisah-kisah yang termuat dalam novel ini adalah kisah sedih. Berbeda dengan novel ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’ yang berisikan satu kisah tunggal, novel ‘Sepotong Hati yang Baru’ merupakan kumpulan kisah yang berbeda di setiap bagiannya. Kisah-kisah yang termuat semuanya bagi saya cukup mengharukan dan mewakili banyak masa. Oleh karena itu saya menggunakan diksi berbagai masa pada judul ulasan ini.

 

Baca juga: Implikasi Akhlak Baik dan Buruk dalam Kehidupan

 

Secara keseluruhan, novel ini terdiri dari 8 bagian yang menurut saya mewakili kisah cinta pada masa tertentu. Dimulai dari kisah cinta sendirian yang dialami gadis muda di zaman modern. Saya menyebutnya zaman modern bukan tanpa alasan, pasalnya dalam kisahnya sudah ada peran media sosial sebagai alat komunikasinya. Oh, iya saya juga lupa menyebutkan bahwa selain mewakili masa tertentu, kisah cinta yang dimuat dalam novel ini juga mewakili suatu wilayah tertentu. Jika demikian, haruskah saya mengganti judul ulasan ini? Saya rasa tidak perlu ya, saya juga belum menemukan ide baru untuk mengganti judul. Jadi, terima saja ya judul yang ada. Karena hal ini, saya jadi lupa sampai mana saya menulis tentang novel tersebut. Baiklah, saya lanjut saja di paragraf berikutnya.

Kisah berikutnya yang dimuat mewakili kisah cinta pada masa kolonial. Dengan mendengar istilah kolonial saja, tampaknya pembaca sudah punya banyak dugaan kisah cinta seperti apa yang disajikan dalam sepenggal kisah pilu di masa tersebut. Tetapi daripada menduga-duga, lebih baik baca novelnya secara langsung. Selain tidak membuat kecewa, juga menghindari salah menduga. Saya sendiri ketika membacanya cukup prihatin, bersyukur saya tidak hidup di masa kolonial. Bagaimana bisa kita bisa tenang memikirkan urusan asmara sedangkan ada jutaan nyawa dan bangsa yang harus diselamatkan dan dimerdekakan. Bukankah begitu? Sepenggal kisah yang disampaikan Tere Liye pada salah satu bagian novel ini membuat saya berpikir, meski ini hanya fiksi, tidak menutup kemungkinan kisah ini nyata terjadi dan bukan terjadi hanya pada satu dua pasangan saja. Mungkin banyak pada masa itu orang-orang yang telah berikrar suci kemudian berpisah atau bahkan tidak pernah bertemu kembali karena salah satu atau keduanya sudah tak lagi hidup di dunia. Memikirkan hal itu sungguh menyesakkan sekali. Itulah salah satu alasan saya gemar dengan novel yang mengandung unsur bawangnya, bisa memicu adrenalin, ha ha.

Melintas ke lain masa dan ke tempat yang berbeda, novel ini juga menyajikan kisah populer dari Mahabharata. Siapa lagi kalau bukan tentang kisah Rama dan Shinta. Kita mungkin sering disuguhkan kisah mereka sebagai kisah cinta yang bahagia. Tapi dalam novel ini tidak demikian. Bisa jadi memang begitu adanya, atau mungkin kisahnya sendiri hanya sebatas cerita rakyat yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Terlepas dari semua itu, kita tidak bisa mengabaikan bahwa ada nilai dan nasehat yang bisa kita petik dari kisah Rama-Shinta. Kisah yang ternyata juga berakhir pilu. Saya tidak mau lebih jauh membahas kisah mereka sebenarnya. Lagi pula saya tidak pernah membaca cerita aslinya dari sumber sebenarnya kalau memang sumber aslinya ada dan termaktub.

Tidak hanya sampai pada kisah mitos Rama dan Shinta yang populer hingga sekarang, sajian lain yang terdapat pada novel ini yang tak kalah menarik adalah kisah dari negeri tirai bambu. Saya sendiri termasuk salah satu yang senang dengan kisah-kisah negeri tirai bambu atau secara umum kisah-kisah roman dari Asia pada zaman feodal. Jika dikatakan feodal, mungkin sudah terbayang konflik-konflik yang biasa kita saksikan dalam serial-serial televisi atau drama di bioskop. Ya, benar, kisah tentang cinta seorang rakyat jelata dan keluarga bangsawan hampir selalu berakhir tragis. Entah kenapa saya juga jarang menemukan kisah seperti ini yang berakhir bahagia. Memang ada yang bahagia, tapi tidak sebanyak yang berakhir dengan duka sejauh yang pernah saya baca dan saksikan. Tapi memang jika tidak demikian, rasanya ada yang kurang. Saya ingin menyebutkan perbedaan kasta sebenarnya, tetapi istilah kasta bukan diksi yang biasa saya gunakan karena mengandung unsur superior dan inferior dalam masyarakat. Meskipun pada kenyataannya itu terjadi dan ada, tapi biarkan saya menggunakan istilah lain. Perihal istilahnya, saya masih memikirkannya jadi belum saya tulis di sini. Yang jelas hal itu telah menjadi benteng dan tembok besar penghalang ikatan cinta dari banyak kisah-kisah zaman feodal. Kalau semisal tembok Cina kuat, tembok ini apalagi. Buktinya hanya segelintir tokoh yang bisa menembusnya, itu pun harus dibayar dengan banyak hal, termasuk nyawa.

Kiranya ulasan saya bisa jadi pengantar atau setidaknya penambah hasrat kepada pembaca yang gemar dengan kisah-kisah roman yang mengandung bawang alias terdapat unsur sedihnya, baik hanya di salah satu bagiannya atau mungkin yang menjadi akhirnya. Bagaimana jika sedihnya di sepanjang cerita? Coba bayangkan saja sendiri, jangan libatkan saya untuk memikirkannya. Pasalnya yang sedihnya sedikit pun terkadang membuat emosi, ha ha. Terakhir yang ingin saya sampaikan perihal nilai-nilai yang bisa saya petik dari kumpulan penggalan kisah pilu yang dimuat dalam novel ‘Sepotong Hati yang Baru’ ini di antaranya yaitu: 1) jangan percaya diri berlebihan; 2) komitmen dan saling percaya; 3) jujur dan berusaha; 4) selalu melihat sisi positif dan jangan mudah terpengaruh; dan yang satu ini sering saya ucapkan, yakni 5) selalu hindari penyesalan, dalam artian hindari hal-hal yang dapat membuat kita menyesal kelak. Kita bisa menyesal oleh dua hal. Pertama, menyesal karena telah melakukan sesuatu, dan kedua menyesal karena tidak pernah melakukan sesuatu. Yang mana yang paling sering kalian lakukan? Tapai semoga saja tidak ada ya. Jika ingin berbagi, kolom komentar selalu tersedia.

 

Baca juga: Menulis CV yang Baik untuk Mendaftar Kuliah

 

 

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post