Implikasi Akhlak Baik dan Buruk dalam Kehidupan

 

Implikasi Akhlak dalam kehidupan
Sumber: pexels.com

A.    Pentingnya Akhlak dalam Kehidupan

Suatu ungkapan hikmah mengatakan, maju bangsa karena akhlak, akhlak rusak hancurlah bangsa. Sukses tidaknya suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya tergantung atas komitmen tidaknya bangsa itu terhadap nilai-nilai akhlak. Jika ia komitmen terhadap akhlak maka bangsa itu akan sukses, dan sebaliknya jika ia mengabaikan akhlak maka bangsa itu pun akan hancur.

Nabi Muhammad SAW mengatakan, "Innama bu’itstu liutammima makaarim al-akhlak" (Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia). Pernyataan Nabi itu mengandung beberapa makna, di antaranya: 1) kedatangan nabi melengkapi kemuliaan akhlak manusia yang sebelumnya belum sempurna; 2) inti dari ajaran Islam sesungguhnya adalah kemuliaan akhlak. Misi utama beliau adalah kemuliaan akhlak, penyempurnaan budi pekerti yang mulia (al-akhlak al-karimah). Sahabat bertanya-tanya bagaimana sesungguhnya akhlak nabi itu. Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Aisyah istri Nabi, kaifa akhlaquhu? (bagaimana akhlak nabi itu?) Aisyah menjawabnya dengan singkat akhlaquhu al-qur’an (akhlaknya adalah al-qur’an).

Kalau kita mau bersikap dan berperilaku dengan akhlak yang sempurna dan berakhlak mulia berpeganglah pada Al-Qur’an. Sedang yang paling mengerti tentang pengamalan Al-Qur’an adalah Nabi sendiri. Rasulullah adalah prototipe manusia yang berakhlak sempurna. Allah mengabadikannya dalam QS. Al-Qalam [68]: 4:

وَإِنَۤكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِي۫مٍ ۝

Artinya: “Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Berdasarkan ayat tersebut, para sufi menyebut Nabi Muhammad sebagai al-insan al-kamil, prototipe manusia sempurna sejak Adam hingga manusia akhir zaman. Kita sebagai umat Rasulullah wajib menjadikan beliau sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) dalam segala segi kehidupan sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]: 21:

 لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Akhlak merupakan perilaku yang dibangun berbasis hati nurani. Meski ada yang mengklasifikasikannya menjadi akhlak mulia dan akhlak tercela, tapi pada lazimnya akhlak adalah sebutan bagi suatu perilaku terpuji yang berakar dari iman. Malah dasar pijakan akhlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunah, sehingga perilaku yang tidak berdasar kepada keduanya tidak ada jaminan sebagai akhlak mulia.

Secara terminologi, akhlak adalah pengetahuan yang menentukan batas antara yang baik dan yang buruk, terpuji atau tercela, menyangkut perkataan dan perbuatan manusia lahir batin. Berbicara masalah akhlak berarti berbicara tentang konsep al-husn (baik) dan al-qubh (buruk). Menurut mu’tazilah al-husn adalah sesuatu yang menurut akal bernilai baik dan al-qubh adalah sesuatu yang menurut akal bernilai buruk. Bagi mu’tazilah, baik dan buruk itu ukurannya adalah akal manusia. Berbeda dengan mu’tazilah, Ahlu As-Sunah berpendapat bahwa yang dapat menentukan baik dan buruk bukan akal, tapi wahyu. Oleh karenanya Ahlu As-Sunah berpendapat, bahwa al-husn adalah sesuatu yang menurut Al-Qur’an dan As-Sunah adalah baik dan al-qubh adalah sesuatu yang menurut Al-Qur’an dan As-Sunah adalah buruk.

B.     Akhlak dan Aktualitasnya dalam Kehidupan

Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual telah gagal membawa manusia dalam pemungsian dirinya sebagai khalifah fi al-ardl. Sejak awal, Socrates telah mengingatkan bahwa tujuan pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan kerelaan. Tujuan nyata dari pendidikan ialah menyalurkan warisan sosial dan suku bangsa sejenis. Berbicara masalah yang sama, lebih jauh Al-Ghazali menyatakan, bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma masyarakat, tetapi terhadap norma Tuhan. Al-Ghazali selanjutnya menuturkan bahwa tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu dari godaan hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab), hingga ia jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan. Mendidik itu sama dengan pekerjaan peladang membuang duri dan mencabut rumput yang tumbuh di antara tanaman-tanaman agar subur tumbuhannya. Pengembangan pribadi, watak dan akhlak mulia selain dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, juga oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan serta tempat-tempat ibadah.

C.    Implikasi Akhlak Baik dan Buruk dalam Realita Kehidupan

Akhlak yang baik berdampak positif pada kehidupan dan lingkungannya. Sebaliknya, akhlak yang buruk akan  berdampak buruk pula pada diri dan lingkungannya. Contohnya, seorang remaja yang terlibat dengan pemakaian obat-obatan terlarang atau narkoba, ia akan terpengaruh buruk untuk jasmani dan rohaninya yang tidak dapat dicegah karena otaknya hancur, hatinya akan rusak, tingkah lakunya tidak terkendali, dan ia bisa menjadi gila dan mati. Adapun pengaruh pada lingkungannya pun sangat merugikan karena nama baik keluarga dan masyarakat di tempat tinggalnya akan tercoreng oleh akhlaknya yang tercela.

Sebaliknya, seorang anak yang berprestasi dan bergaul dengan ramah, terpuji dan mengembangkan nilai-nilai kebijakan di lingkungannya, secara otomatis ia akan memperoleh dampak yang baik bagi kehidupan dirinya. Dalam rohaninya akan tertanam jiwa yang bersih, seluruh masyarakat mengenalnya sebagai anak yang pantas diteladani. Oleh karena itu, setiap akhlak manusia berdampak secara langsung pada kehidupan pribadinya dan orang lain.[1]

Beberapa jenis akhlak yang berdampak baik pada diri dan lingkungan adalah:

1.      Melaksanakan ibadah dengan khusyuk;

2.      Mendirikan shalat berjamaah;

3.      Banyak menghadiri pengajian;

4.      Menuntut ilmu dengan baik dan berprestasi;

5.      Hidup bergotong-royong dan saling membantu;

6.      Berani membela kebenaran;

7.      Mengajarkan ilmu yang benar kepada orang lain;

8.      Bergaul dengan sopan santun dan senang bersilaturahmi.

Dalam bahasa Al-Qur’an, akhlak-akhlak yang baik atau terpuji yaitu sifat setia (al-amanah), pemaaf (al-afwu), benar (ash-shidiq), menepati janji (al-wafa), adil (al-adl), memelihara kesucian diri (al-ifafah), malu (al-haya’), berani (asy-syaja’ah), kuat (al-quwwah), sabar (ash-shabru), kasih sayang (ar-rahmah), murah hati (as-sakha’u), tolong-menolong (at-ta’awun), damai (al-ishlah), persaudaraan (al-ikha’), silaturahmi, hemat (al-iqtishad), menghormati tamu (adl-dliyafah), merendah diri (at-tawadlu’), menundukkan diri kepada Allah SWT (al-khusyu’), berbuat baik (al-ihsan), berbudi tinggi (al-muru’ah), memelihara kebersihan badan (an-nadhafah), selalu cenderung pada kebaikan (ash-shalihah), merasa cukup dengan apa yang ada (al-qana’ah), tenang (as-sakinah), lemah lembut (ar-rifqu), dan sebagainya.

Jenis-jenis akhlak buruk dan berdampak buruk bagi diri dan lingkungan adalah:

1.      Banyak berdusta;

2.      Berkhianat;

3.      Selalu buruk sangka kepada orang lain;

4.      Tidak mau beribadah;

5.      Tidak mau bersosialisasi;

6.      Menutup diri dan sombong;

7.      Menjadi penghasut dan pengadu domba;

8.      Menghina dan merendahkan orang lain;

9.      Mengembangkan permusuhan;

10.  Egois dan individualis;

11.  Senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang;

12.  Mudah tersinggung dan pendendam;

13.  Tidak toleran kepada keyakinan orang lain;

14.  Berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara.

Dalam bahasa Al-Qur’an, akhlak-akhlak yang buruk  atau tercela adalah egoistis (ananiah), lacur (al-bagyu), kikir (al-bukhlu), dusta (al-buhtan), pemabuk (al-khamru), khianat (al-khiyanah), aniaya (adh-dhulmu), pengecut (al-jubn), perbuatan dosa besar (al-fawahisy), pemarah (al-gadhab), curang dan culas (al-gasysyu), mengumpat (al-ghibah), adu domba (an-namimah), menipu daya (al-ghurur), dengki (al-hasad), dendam (al-hiqdu), berbuat kerusakan (al-ifsad), sombong (al-istikbar), mengingkari nikmat (al-kufran), homoseksual (al-liwath), membunuh (qatlunnafsi), makan riba (ar-riba’), ingin dipuji (ar-riya’), ingin didengar kelebihannya (as-sum’ah), berolok-olok (as-sikhriyyah), mencuri (as-sirqah), mengikuti hawa nafsu (asy-syahawat), boros (at-tabdzir), tergesa-gesa (al-‘ajalah), fasik, munafik dan sebagainya.

Sesungguhnya masih banyak jenis akhlak baik maupun buruk yang berdampak positif maupun negatif pada kehidupan sosial. Contoh-contoh tersebut hanyalah gambaran bahwa tidak penting mengembangkan akhlak tercela karena akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Rasulullah SAW pernah menyatakan, “Orang muslim yang baik adalah orang muslim yang menjaga keselamatan muslim lain dari lidah dan tangannya.” Artinya, pergaulan manusia seharusnya dapat menjaga perkataannya sehingga tidak menyakitkan orang lain karena sakit hati dapat mengakibatkan dendam dan pembunuhan. Demikian pula menjaga tangan, kekuatan, dan kekuasaannya karena menyalahgunakan kekuasaan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah SAW berpesan kepada umat Islam agar bersatu-padu, saling bersilaturahmi, dan tolong-menolong dalam kebajikan dan kebenaran.

D.    Contoh  Akhlak Baik dan Akhlak Buruk Beserta Implikasinya dalam Kehidupan

Ada banyak contoh akhlak baik yang dampaknya dalam kehidupan langsung terasa tanpa perlu menunggu akibatnya di akhirat kelak. Salah satu akhlak yang banyak diperbincangkan karena pengaruhnya terhadap kehidupan dan juga karena banyak kisah yang bercerita tentangnya adalah akhlak terhadap orang tua. Seseorang dalam menghadapi orang tua ada yang berakhlak baik ada pula yang berakhlak jelek.

Berbakti kepada orang tua merupakan akhlak baik. Salah satu indikator bahwa berbakti kepada orang tua adalah karena berbakti kepada orang tua diperintahkan oleh Allah SWT. Salah satunya tercantum di dalam QS. Al-Isra [17]: 23:

وَقَضٰى رَبُّكَ أَنْ لَّا تَعْبُدُوْٓاإِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا...{٢٣}

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.”

Berbakti kepada orang tua luas sekali jangkauannya. Bisa dalam hal apapun, termasuk mendoakan kepada orang tua di kala meninggal dunia. Pasalnya, berbakti kepada orang tua tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi setelah mati pun kita harus berbakti kepada mereka dengan cara mendoakannya agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT.

Orang yang berbakti kepada orang tua akan senantiasa dimudahkan urusannya oleh Allah, digampangkan mendapat segala keperluannya, dan hidupnya akan selalu diberkahi oleh Allah SWT. Tujuan kita ibadah adalah semata untuk mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Sedangkan dalam suatu hadis dikatakan bahwa ridhanya Allah ada dalam keridhaan orang tua. Oleh karenanya, berbakti kepada orang tua adalah sarana untuk mendapat keridhaan orang tua sekaligus keridhaan Allah SWT. Salah satu kisah yang sangat populer tentang anak yang berbakti kepada orang tuanya adalah kisah Uwais Al-Qarni. Uwais berjalan dari Yaman ke Mekah sambil menggendong ibunya yang lumpuh agar ibunya bisa menunaikan ibadah haji. Karena hal tersebut, Uwais diberi karunia oleh Allah berupa doanya yang mustajab dan sembuh dari penyakit sopak yang dideritanya tanpa berobat.

Dapat kita bandingkan dengan orang yang durhaka kepada orang tuanya. Dia akan senantiasa jauh dari rahmat Allah meskipun hidup dalam kemewahan dan kecukupan. Banyak kisah yang menceritakan betapa binasanya orang yang durhaka kepada orang tuanya, hingga ada yang mendapat kutukan. Salah satu kisah yang populer tentang orang yang durhaka kepada orang tuanya adalah kisah sahabat nabi bernama Al-Qamah. Ia adalah orang yang taat beribadah namun durhaka kepada orang tuanya. Akibatnya, di waktu sekaratnya ia sulit untuk melepaskan ruhnya. Dari kisah Al-Qamah dapat dipahami bahwa tekun beribadah saja, tanpa berbakti kepada orang tua membuat hidup seseorang menjadi susah dan tidak ada keberkahan dalam hidupnya.

 


[1] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, Bandung : Pustaka Setia, 2010 hlm. 265.



Referensi:

Ahmad Saebani, Beni dan Abdul Hamid. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Ghazali. 1955. Tahafut Al-Falasifah. Kairo: Dar Al-Ma’rif.

Hasyimsyah Nasution, MA. 2002.  Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Syafe’i, Rahmat. 2000. Al-Hadits (Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum). Bandung: Pustaka Setia.

Zein, Muhammad dkk. 2009. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen Agama.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post