Tipe-Tipe Hukum (Hukum Represif, Otonom, dan Responsif)
Pendahuluan
Perkembangan
masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman.
Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti
perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada
kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Oleh karena pada hakekatnya hukum
selalu berjalan di belakang
atau hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum cenderung
“tidak mampu” menyelesaikan segala permasalahan yang ada dalam
masyarakat. Di Indonesia contohnya, kondisi Indonesia saat ini masih
sangat berantakan, masih sangat banyak masalah-masalah sosial, protes massal,
kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban,
penyalahgunaan kekuasaan, dan lain sebagainya.
Hal ini
membuktikan bahwa hukum yang ada pada saat ini ternyata tidak cukup mampu untuk
mengatasi segala permasalahan tersebut. Padahal, pada hakekatnya hukum dituntut
untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Selama ini,
hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu
menekankan pada aspek the
legal system tanpa melihat
kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus
ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan
ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga
pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari
peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak
“buta” terhadap konsekuensi dan pengaruh sosial
Hukum Represif
Secara sederhana, hukum
represif dapat diartikan sebagai hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif
dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah
represif, bilamana ia tidak atau kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan
rakyat yang diperintahkan. Dengan kata lain, hukum represif adalah alat kekuasaan represif atau menindak.
Hukum ini cenderung tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan rakyat dan atau
menolak legitimasinya. Hukum represif ini sering kali diwujudkan dalam
bentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan dan sebagai ciri utama
atau ciri khas hukum represif ini adalah diacuhkannya atau diterlantarkannya
kepentingan rakyat. Singkatnya, hukum represif adalah hukum yang di dalam
pelaksanaannya tidak banyak memasukkan “campur tangan” yang memadai dari
masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan
masyarakat
Perhatian paling
utama dari hukum represif ini adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya
tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian
dengan cenderung tidak memperhatikan kepentingan
rakyat. Meskipun hukum represif ini memiliki tujuan yang baik seperti
menciptakan keadilan, menciptakan ketertiban umum, menciptakan perdamaian, dan
lain sebagainya, hukum represif ini tidak akan pernah mencapai hakekat dari
hukum itu sendiri karena ia (hukum represif) mengabaikan kepentingan atau
kebutuhan dari masyarakatnya sendiri. Selain itu, hukum represif selalu
dihubungkan dengan kekuasaan. Hukum represif ini tidak boleh dilihat sebagai
suatu kekuatan kekuasaan yang terlalu kuat karena akan menimbulkan
kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, hukum
represif ini tidak menjamin keadilan substantif sehingga penguasa memiliki
potensi atau membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan
status quo.
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dimana hukum represif dapat
memanifestasikan dirinya yaitu:
1)
Ketidakmampuan
pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum.
2)
Pemerintah
yang melampaui batas.
3)
Kebijakan umum yang bert sebelah.
Kebijakan umum yang berat
sebelah atau kebijakan yang berpihak ini sering terjadi dalam masyarakat
misalnya saja pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi di mana
program pemerintah cenderung hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri
atau cenderung memihak pada pihak investor asing dan mengabaikan atau tidak
memperhatikan kepentingan individual dan kelompok yang lainnya.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
1)
Perspektif
resmi mendominasi segalanya.
Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.
2)
Ketiadaan kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan
Masyarakat hanya dapat memeperoleh perlindungan dan
jawaban atas keluhan-keluhannya tetapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak mencerminkan keadilan. Apabila ada yang disebut dengan “keadilan” maka
hal itu pun sangatlah terbatas.
3)
Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras
dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
4)
Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan
konformitas kebudayaan.
5)
Institusi-Institusi hukum langsung berakses kepada
kekuasaan politik, hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada
kepentingan.
6)
Kelestarian
kekuasaan adalah tugas dari
pengakuan hukum.
7)
Badan-badan
pengawasan khusus seperti polisi, menjadi pusar kekuasaan yang bebas, yang
terisolasi dari konteks sosial yang
moderat dan mampu melawan otoritas politik.
8)
Suatu rezim “hukum rangkap” melembagakan keadilan kelas,
dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan polah-polah subordinasi social.
9)
Peundang-undangan pidana mencerminkan dominasi atas adat istiadat
dan sangat menonjolkan moral yang legal (legal moralism).
Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dibandigkan dengan kepentingan masyarakat.
Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan
represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitesis dari
hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum
hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan
berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial
empiris dari kekuasaan berdasarkan hukum realitas-relitas institusional dimana cita-cita
ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk
memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga
limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi
kekuasaan resmi dan swasta; terdapat pengadilan yang dapat didatangi
secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi
serta bebas daripadanya; dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk
mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh
individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah
terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah
spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi
substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil dari
tradisi atau keputusan politik. Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas
yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada
keadilan sosial.
Perhatian
yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong
suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan
ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari
tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan prosedural
dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
Penekanan
atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai
suatu sarana kontrol sosial. Ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan
tata tertib di antara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi
suatu sikap yang konservatif. Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat
realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun
demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut
dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.
Baca juga: Penerapan
Acara Verstek dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Hukum Responsif
Sifat
responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial
yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat
responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif
konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di
dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti
bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat
kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari
institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa
institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada
umumnya, akan tetapi tidak akan lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi
institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam
lingkungan sosial, namun tidak akan lagi merupakan satu sumbangan yang khusus
kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan
untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam
tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria
seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan,
tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal,
melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang
ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan
substantif. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a)
pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b)
pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum
responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan
tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan.
Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri
melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih
besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil
dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang
terikat kepada konsekuensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan
penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada
fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat
menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai
terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang
berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada
tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum
dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi
kehidupan politik dalam dunia modern. Norma kerakyatan, pertama,
membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan
bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah. Kedua, ia
membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan
tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural
yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan
integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidakpatuhan dan konflik. Ketiga, norma kerakyatan
menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.
Salah
satu aspek dari penampungan kepentingan manusiawi yang bermacam-macam adalah
penolakan hukum responsif atas moralitas hukum. Nonet dan
Selznick berbicara tentang mengatasi parokhlialisme dan moralitas komunal.
Ekspansi dari partisipasi akan menunjang perkembangan dan implementasinya dari
tata tertib umum. Pada waktu yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan
Selznick, partisipasi yang diperluas tidak cukup. Apabila hal ini tidak
berjalan bersama-sama dengan suatu usaha kebijakan pemerintah yang efektif, itu
akan dapat mengakibatkan suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan
dapat mengakibatkan suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan
diperintah oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terorganisasi
dengan baik. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa tanpa partisispasi, pemerintah
dan administrasi akan menjadi represif dan tanpa pemerintahan yang baik, maka
partisipasi akan menjurus kepada pemerintahan oleh kepentingan-kepentingan dari
pihak yang kuat.
Perbedaan antara Hukum Represif, Hukum Otonom dan
Hukum Responsif
HUKUM RESPONSIF |
HUKUM OTONOM |
HUKUM RESPONSIF |
|
TUJUAN HUKUM |
Ketertiban |
Legitimasi |
Kompetensi |
LEGITIMASI |
Ketahanan sosial dan tujuan negara |
Keadilan prosedural |
Keadilan substansif |
PERATURAN |
Keras dan rinci namun berlaku lemah terhadap pembuat hukum |
Luas dan rinci; mengikat penguasa maupun yang dikuasai |
Subordinat dari prinsif dan kebijakan |
PERTIMBANGAN |
Ad hoc: memudahkan mencapai tujuan dan bersifat partikular |
Sangat melekat pada otoritas legal; rentan terhadap formalisme dan
legalisme |
Purposif (berorientasikan tujuan); perluasan kompetensif kognitif |
DISKRESI |
Sangat luas; oportunistik |
Dibatasi oleh peraturan; delegasi yang sempit |
Luas, tetapi tetap sesuai dengan tujuan |
PAKSAAN |
Ekstensif; dibatasi secara lemah |
Dikontrol oleh batasan-batasan hukum |
Pencarian positif bagi berbagai alternatif, seperti intensif, sistem
kewajiban yang mampu bertahan sendiri |
MORALITAS |
Moralitas komunal; moralisme hukum; “moralitas pembatasan” |
Moralitas kelembagaan; yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum |
Moralitas sipil; “ kerja sama” |
POLITIK |
Hukum subordinat terhadap politik kekuasaan |
Hukum “independen” politik; pemisahan kekuasaan |
Terintegrasinya aspirasi hukum dan politik; keterpaduan kekuasaan |
HARAPAN AKAN KETAATAN |
Tanpa syarat; ketidaktaatan dihukum sebagai pembangkangan |
Penyimpangan peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji validitas
undang-undang atau perintah |
Pembangkangan dilihat dari aspek bahaya substantif; dipandang sebagai
gugatan terhadap legitimasi |
Referensi
Nonet, Philippe dan Philip
Selznick. 2003. Hukum Responsif
Pilihan di Masa Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco). Jakarta: HuMa.
Baca juga: Hal-hal
yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan