Pembagian Kaidah Sosial
Dalam sejarahnya, kaidah hukum tidaklah sama sifat dan macamnya
dengan kaidah sosial lainnya. Namun dalam kenyataannya, kaidah hukum yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat ada yang berbentuk tertulis dan ada pula
dalam bentuk yang tidak tertulis, yang berasal dari adat dan kebiasaan.
Sedangkan kaidah-kaidah sosial lainnya ada yang berasal dari dalam masyarakat
itu sendiri dan ada pula yang berasal dari luar masyarakat. Semuanya itu
merupakan kaidah tingkah laku bagi warga masyarakat agar tatanan kehidupan
sosialnya aman dan tertib.
Baca juga: Pernikahan
Beda Agama
Berikut merupakan pembagian kadiah sosial.
1)
Kaidah hukum, yaitu hasil dari perundang-undangan atau tertulis
yang dibuat melalui proses yang sah, serta tidak tertulis yang harus ditaati
oleh warga masyarakat. Kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir manusia atau
perbuatan konkret manusia. Ia tidak mempersoalkan sikap batin manusia apakah
buruk atau baik, dan yang menjadi objeknya adalah bagaimana sikap dan perbuatan
lahiriyah manusia.
Seseorang
yang dalam dirinya tertanam sifat buruk, tidak menjadi persoalan dan tidak akan
dihukum sepanjang sifat buruk itu tidak diwujudkan dalam perbuatan konkret.
Sifat buruk dalam batin baru menjadi persoalan bagi kehidupan apabila sifat
buruk itu menjadi perbuatan konkret yang dilarang. Hukum dalam wujudnya sebagai
kaidah juga memberikan hak dan kewajiban. Asal mula dan sanksi atas pelanggaran
kaidah hukum berasal dari luar diri manusia yang sifatnya heteronom.
Adapun
contoh suatu kaidah hukum adalah sebagai berikut.
a.
Barangsiapa mengambil sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam
pidana pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling
banyak enam puluh rupiah (Pasal 362 KUH Pidana).
b.
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan
pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini (Pasal 54 KUHAP).
c.
Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu untuk berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).
d.
Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan)
e.
Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10
tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek
yang bersangkutan (Pasal 7 UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang merek).
Roscoe Pound justru menganggap bahwa kaidah hukum merupakan suatu
kekangan terhadap kebebasan manusia. Ahmad Ali menilai bahwa kaidah hukum
sebagai salah satu kaidah sosial mempunyai dua sifat alternatif yaitu sebagai
berikut.
a.
Ada kemungkinan bersifat imperatif yaitu secara apriori wajib
ditaati. Kaidah ini tidak dapat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkret hanya karena para pihak membuat perjanjian.
b.
Ada kemungkinan bersifat fakultatif yaitu tidaklah secara apriori
mengikat atau wajib ditaati. Jadi kaidah yang bersifat fakultatif
ini merupakan kaidah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
2)
Kaidah agama atau kaidah kepercayaan adalah aturan-aturan yang
berisi kewajiban-kewajiban, larangan-larangan, perintah-perintah
dan anjuran anjuran yang oleh pemeluk atau penganutnya diyakini sebagai kaidah
yang berasal dari Tuhan. Pelanggaran terhadap kaidah kepercayaan sanksi atau akibatnya akan
didapat berupa siksaan kelak di akhirat. Tujuan
kaidah kepercayaan adalah untuk menyempurnakan hidup manusia dan melarang
manusia berlaku jahat atau dosa. Kaidah
ini hanya membebani kewajiban menurut perintah Tuhan dan tidak memberi hak.
Kaidah
agama merupakan tuntunan hidup manusia untuk merujuk kepada perbuatan dan
kehidupan yang baik dan benar. Ia mengatur tentang
kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan dan pada dirinya sendiri. Di Indonesia
dikenal agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Protestan. Sanksi
kaidah agama bersifat internal serta bersifat eksternal yang bersumber dari
Tuhan, isinya ditujukan pada sikap batin serta daya kerjanya menitikberatkan
pada kewajiban daripada hak. Contoh kaidah agama adalah perintah Allah
melaksanakan salat serta hormat dan berbakti kepada ibu bapak, jangan membunuh,
jangan berbuat zalim di muka bumi dan sebagainya.
3)
Kaidah kesusilaan dalam arti sempit yaitu kaidah yang dianggap
paling asli yang berasal dari sanubari manusia itu sendiri. Kaidah kesusilaan
juga merupakan kaidah yang tertua dan menyangkut kehidupan pribadi manusia
dalam kualitasnya sebagai makhluk sosial. Kaidah kesusilaan bertujuan agar
manusia memiliki akhlak yang baik demi mencapai kesempurnaan hidup manusia itu
sendiri. Penerapan sanksinya berasal dari dalam diri manusia itu sendiri bukan
paksaan dari luar.
Suara
hati manusia menentukan perilaku mana yang baik dan perilaku mana yang tidak
baik untuk dilakukan sehingga kaidah kesusilaan ini bergantung pribadi manusia. Kaidah
kesusilaan mendorong manusia untuk berakhlak mulia juga melarang manusia
mencuri, berbuat zina, dan sebagainya, yang ditujukan pada sikap batin manusia. Ia
berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, maka ancaman atas pelanggaran
kaidah kesusilaan adalah batin manusia. Contoh kaidah kesusilaan adalah
berbuat jujurlah, hormatilah sesama, jangan membunuh, mencuri, menipu, dan
sebagainya.
Sudikno
Mertokusumo menjelaskan bahwa kaidah moral atau kesusilaan berhubungan dengan
manusia sebagai individu yang menyangkut kehidupan pribadi manusia. Salah satu
ciri kaidah kesusilaan dibanding dengan hukum adalah sifatnya yang otonom.
Artinya diikuti atau tidaknya kaidah tersebut tergantung pada sikap batin
manusianya, contoh mencuri itu perbuatan yang dilarang (Pasal 362 KUHP). Apabila
ditaati oleh manusia bukan berarti dia takut pada sanksinya melainkan menurut
keadaan batinnya mencuri itu memang tidak patut dilakukan atau bertentangan
dengan batinnya.
4)
Kaidah kesopanan yaitu kaidah yang berasal dari dalam masyarakat
untuk mengatur pergaulan warganya agar masing-masing saling hormat menghormati.
Kaidah kesopanan pada hakikatnya merupakan peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan dalam masyarakat tertentu. Ia berdasar pada kepantasan dan kebiasaan
atau kepantasan yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kaidah
kesopanan juga ditujukan pada sikap lahir manusia (sama dengan kaidah hukum)
yang ditujukan pada pelakunya agar terwujud ketertiban masyarakat dan suasana
keakraban dalam pergaulan. Tujuannya pada hakikatnya bukan pada manusia sebagai
pribadi, melainkan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam
kelompok masyarakat. Sanksi terhadap pelanggaran kaidah kesopanan adalah
mendapat cemoohan dari masyarakat sekitarnya yang berasal dari kekuasaan di
luar diri manusia yaitu masyarakat.
Kaidah
ini berbeda dengan kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan berasal dari luar diri
seseorang atau berasal dari masyarakat. Bahkan, pada saatnya dapat berubah
menjadi kebiasaan apabila masyarakat sudah menjaganya sebagai suatu kewajiban
dan pelanggaran terhadapnya dipandang sebagai suatu kesalahan. Kaidah ini juga
hanya membebani kewajiban, tidak menimbulkan hak. Misalnya, seseorang tidak
berhak mendapat teguran orang setelah ia menegur lebih dahulu. Demikian pula,
seorang wanita yang tidak memperoleh tempat duduk dalam bus tidak berhak untuk
duduk pada kursi yang telah diduduki seorang pria. Contoh kaidah kesopanan
dapat dilihat di bawah ini.
a.
Orang yang berusia muda wajib menghormati orang yang berusia lebih
tua.
b.
Apabila dalam kendaraan umum yang sesak mendahulukan wanita hamil
untuk duduk daripada dirinya.
c.
Mengenakan pakaian yang pantas di tempat-tempat umum.
d.
Meminta izin apabila akan memasuki rumah orang lain.
Referensi
Mas, Marwan. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan 2. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sani, Abdul. 2012. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 1991. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Cetakan ke-6. Jakarta: Rajawali.
________________. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Edisi Baru.
________________. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan 23. Edisi 1.
Syarbaini, Syahrial dan Fatkhuri. 2016. Teori Sosiologi Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Baca juga: Perkembangan Fikih di Benua Afrika pada Periode Permulaan