Perkembangan Fikih di Benua Afrika pada Periode Permulaan

 
Perkembangan fikih di Afrika

Seputar Benua Afrika

Benua Afrika adalah benua terbesar ketiga di dunia setelah Benua Asia dan Benua Amerika dengan jumlah penduduk kedua di dunia setelah Benua Asia. Secara astronomis, banua ini terletak pada 37°21¢ LU sampai 34°51¢15² LS dan 17°33¢22² BB sampai 51°27¢52² BT. Luas wilayah benua ini mencapai 30.224.050 km2 yaitu sekitar 20,3% dari total daratan di dunia. Penduduknya berjumlah sekitar delapan ratus juta yang tersebar di lima puluh empat negara. Benua ini dipisahkan dari Benua Eropa oleh Laut Tengah. Di sebelah timur, ujungnya berbatasan langsung dengan Benua Asia yang dibatasi oleh Terusan Suez yang lebarnya sekitar 130 km. Benua ini dikenal dengan nama Benua Hitam dikarenakan mayoritas penduduknya berkulit hitam. Di antara negara-negara di Benua Afrika yang memiliki banyak warga muslim adalah Mesir, Libya, Tunisia, Sudan, Maroko, Aljazair dan Ethiopia.

Penyebaran Islam di Benua Afrika

Perkembangan fikih yang merupakan hukum Islam di suatu daerah tidak terlepas dari penyebaran agama Islam itu sendiri, termasuk di Benua Afrika. Islam masuk ke Benua ini pertama kali pada masa Khalifah Umar bin Khattab sekitar tahun 19 hijriyah. Pada saat itu, Umar bin Khattab mengirim pasukan berjumlah 400 orang yang dipimpin oleh Amr bin Ash untuk menaklukan Mesir. Hal ini dalam rangka upaya memperluas wilayah Islam agar mempermudah dalam melakukan dakwah. Penaklukan itu pun berhasil dikarenakan strategi yang digunakan sangat matang sehingga Islam pun dengan mudah menyebar di wilayah Mesir. Dengan ditaklukkannya Mesir, pintu penyebaran agama Islam di Benua Afrika menjadi terbuka luas. Islam pun kemudian tersebar hampir ke seluruh wilayah Benua Afrika.

Perkembangan Islam di Beberapa Negara di Benua Afrika

1.      Tunisia

Pada abad ke sembilan belas di Tunisia dibentuk organisasi Islam unuk menangani masalah imperial yang sedang berkembang saat itu. Namun Tunisia kala itu sedang mengalami kemunduran internal, sedangkan negara-negara imperial kala itu sedang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hingga akhirnya untuk beberapa tahun Tunisia jatuh ke tangan negara imperial.

Setelah didirikannya organisasi Islam nasional yang baru, Tunisia mulai bangkit dari keterpurukannya dan berupaya untuk menggulimgkan kekuasaan imperial yang menguasainya kala itu. Barulah pada tahun 1956 perjuangan Tunisia membuahkan hasil dengan keluarnya kekuatan imperial dari Tunisia dan Tunisia pun meraih kemerdekaan.

2.      Libya

Libya merupakan negara yang didirikan dari gabungan beberapa wilayah kekuasaan Dinasti Turki Usmani yaitu Tripolitania, Cyrenaica dan Fezza. Sejak Turki Usmani berkuasa di daerah ini, Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kemudian negara ini diklaim oleh Italia. Namun karena kekalahan Italia di Perang Dunia II, Libya jatuh ke tangan Inggris dan Prancis. Barulah pada tahun 1951, negara ini mencapai kemerdekaannya di bawah seorang pemimpin muslim bernama Amir Idris.

Di antara pemimpin Libya yang paling dikenal hingga saat ini adalah Qadafi. Ia termasuk ke dalam salah satu pemimpin negara di dunia dengan masa jabatan yang cukup lama dengan masa jabatan yang melebihi tiga puluh tahun. Pengaruh dan kepopulerannya membuat lawan politik Qadafi semakin tidak menyenanginya. Di penghujung masa kepemimpinanya, Qadafi dijatuhkan bahkan dibunuh di kota kelahirannya, Surt.

3.      Sudan

Di negara Sudan banyak berkembang thariqat yang berkembang. Di antaranya adalah thariqat samaniyah yang dikenalkan oleh Syaikh Ahmad at-Thayyib dan thariqat Khatamiyah yang dikenalkan oleh Muhammad Usman Al-Mirghani. Thariqat-thariqat tersebut menghadirkan konsep keagamaan Islam baru yag tunduk kepada aturan Islam dan menentang pemujaan tradisional terhadap faqih sebagai penyandang mukjizat dan sebagai orag suci.

Perkembangan Fikih di Benua Afrika pada Masa Sahabat

Tidak banyak buku berbahasa Indonesia yang secara spesifik menjelaskan perkembangan fikih di benua Afrika yang ditemukan oleh penulis. Yang ada hanyalah buku-buku yang membahas perkembangan hukum Islam di salah satu negara di benua Afrika, yaitu Mesir.

Masa perkembangan fikih di Mesir merupakan masa dimana banyak terjadi pertentangan terhadap hadis. Pada saat terjadi perselisihan ini, sebagian dari ahli fikih membatasi diri dalam berfatwa pada hadis dan tidak melampauinya. Sedangkan golongan yang lainnya berpendapat bahwa pengertian syariat itu harus masuk akal dan mempunyai pokok-pokok untuk tempat kembali, namun tanpa menyelisihi orang-orang terdahulu dalam mengamalkan Al-Quran dan Hadis selagi mereka mendapatkan jalan kepadanya. Tetapi karena mereka menerima bahwa syariat itu masuk akal dan dibina atas pokok-pokok yang rapi yang dipahami atas Al-Quran dan sunah, maka mereka tidak mencegah fatwa dengan pendapat mereka sendiri dalam sesuatu yang tidak mereka dapatkan dalam nash.

Ketika masa sahabat, penduduk Mesir kebanyakan menggunakan pendapat-pendapat sahabat yang diikuti di Madinah sebagaimana penduduk Irak dan Syam mengikutinya. Hal ini dikarenakan pada saat itu sahabat yang berada di Madinah dianggap lebih dekat dengan Shahib Asy-Syari’ah yaitu Rasulullah SAW. Contohnya dalam hal mas kawin wanita. Dalam hal ini, sahabat yang berada di Madinah memutuskan bahwa kapan saja wanita mau membicarakan untuk mengakhirkan mas kawinnya dan ia membicarakannya maka laki-laki yang bersangkutan memberikannya. Begitu pula dalam hal menjamak dua shalat malam yaitu maghrib dan isya ketika hujan deras. Meskipun dalam keadaan hujan deras, sahabat yang berada di Madinah tidak pernah menjamak kedua shalat tersebut. Hal ini pun diikuti pula oleh sahabat yang tinggal di Mesir. Di antara sahabat yang tinggal di Mesir yaitu Abu Dzar, Zubair bin Awwam dan Saad bin Abi Waqash. Berbeda dengan sahabat yang berada di Syam. Hal ini dikarenakan berbedanya intensitas curah hujan yang ada di daerah tersebut.

Perkembangan Fikih di Mesir pada Masa Dinasti

            Pada saat daerah Mesir dikuasai oleh Dinasti Fatimiyyah, banyak lahir tokoh-tokoh fikih yang sangat terkenal. Mereka semua sangat berperan penting dalam perkembangan fikih pada saat itu. Meskipun pada saat itu perkembangan fikih dipengaruhi oleh politik.

            Pada masa itu lahir ulama-ulama besar dalam bidang fikih, namun mereka semua tidak mendirikan suatu madzhab. Mereka lebih memilih mengikuti kepada imam-imam fikih terdahulu seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Selain dari keempat Imam tersebut ada pula Imam mdzhab yang juga banyak didikuti pada saat itu, yaitu Imam Dawud bin Ali dan Muhammad bin Jarir At-Thabari. Dikarenakan faham yang dianut oleh Dinasti fatimiyyah adalah faham syi’ah, maka hal ini berpengaruh terhadap hukum Islam yang berlaku pada saat itu. Salah satu aqidah yang diyakini oleh faham syi’ah adalah bahwasannya imam itu adalah orang yang ma’shum dan terjamin dari kesalahan.

            Faham syi’ah cukup lama bertahan di Mesir hingga akhirnya runtuh oleh kekuasaan Dinasti Ayyubiyah yang berfaham Sunni. Pada masa dinasti ini, fikih tetap berkembang dan seperti pada masa sebelumnya dipengaruhi oleh aqidah yang dipercayai. Sejalan dengan perkembangan zaman, fikih terus berkembang hingga era modern. Pada era modern, banyak lahir pembaharu-pembaharu dalam bidang fikih yang sangat terkenal. Di antaranya yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mereka adalah pemikir-pemikir juga pembaharu Islam di saat umat Islam mengalami kemunduran.

            Salah satu pendapat dari Muhammad Abduh adalah kemunduran umat Islam dikarenakan adanya sikap fatalisme dan kejumudan dalam berfikir. Ia menegaskan bahwa pintu ijtihad sangatlah terbuka lebar dan tidak tertutup. Oleh karena itu, umat Islam harus berupaya untuk mengerahkan pola pikir dengan menggunakan metode ijtihad. Setiap orang jika ingin maju harus mampu berijtihad dengan pikirannya.

Kedatangan Imam Syafi’i ke Mesir

            Pada saat sebelum Imam Syafi’i datang ke Mesir, pemikiran fikih yang banyak digunakan di dalam masyarakat Mesir adalah buah pikir dari Imam Malik. Banyak sekali ulama yang meriwayatkan dari beliau. Di antaranya yaitu Abdullah bin Abdul Hakam dan Asyhab.

            Imam Syafi’i datang ke Mesir sekitar tahun 198 H setelah beliau menetap di Irak selama beberapa bulan. Beliau singgah di sebuah kota bernama Fushthat. Di Mesir tampaklah kelebihan-kelebihan Imam Syafi’i di kalangan masyarakat Mesir. Ia dikenal punya kelebihan dalam setiap pendaat-pendapatnya, sehingga mulailah banyak yang ingin berguru padanya.

Di Mesir, ia mulai mengajarkan kitab barunya kepada murid-muridnya. Pendapat-pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir yang kita kenal sekarang dengan istilah qaul jadid. Sedangkan pendapat-pendapat beliau ketika berada di Baghdad, Irak yang kita kenal sekarang dengan istilah qaul qadim.

Imam Syafi’i menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H dan dimakamkan di daerah pemakaman Bani Abdul Hakam. Ia sangat dihormati oleh penduduk Mesir, baik di kala hidupnya atau pun setelah ia wafat. Ia juga oleh bangsa Mesir telah dianggap sebagai bangsa Mesir meskipun sebenarnya ia adalah keturunan bangsa Hijaz.

Di antara kitab-kitab karya Imam Syafi'i yang paling terkenal dan digunakan sampai saat ini adalah kitab Al-Umm dan kitab Ar-Risalah. Ketika ia hidup, ia oleh masyarakat setempat diberi gelar Nasir As-Sunnah yang artinya orang yang menolong hadis. Hal ini dikarenakan ia memandang bahwa hadis ahadi dapat digunakan sebagai hujjah sebagaimana hadis mutawattir.

Selain Imam Syafi’i, ada beberapa ahli fikih yang terkenal dan tinggal di Mesir. Di antaranya yaitu:

1.      Abdullah bin Amr bin Ash

Pada masa Nabi, ia merupakan ahli puasa di siang hari, terjaga di malam hari, pembaca kitabullah dan penuntut ilmu. Ia menulis banyak ilmu yang diperolehnya dari Nabi. Sehingga ia sangat dikenal oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata: “Ia bisa menulis sedangkan aku tidak.”Ia juga seorang yang baik dan banyak konsentrasi terhadap segala uusannya. Ia meningal di Mesir tahun 90 H.

2.      Abul Khair Murtsad bi Abdullah Al-Yazini

Ia adalah seorang mufti. Ia meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Bashrah Al-Gaffari dan Uqbah bin Amir Al-Juhani. Ia menjadi alim fikih pada Uqbah bin Amir dan Abdullah bin Amr. Ia meninggal tahun 90 H.

3.      Yazid bin Abu Habib Maula Al-Azdi

Ia meriwayatkan dari sebagian sahabat dan sebagian tabi’in. Abu Said Yunus berkata:”Ia adalah mufti Mesir. Ia juga penyantun dan cerdik. Ia adalah orang yang pertama kali memunculkan ilmu, masalah lain, halal dan haram. Ia merupakan salah satu orang dari tiga orang yang dipercayai oleh Umar bin Abdul Aziz untuk dimintai fatwa di Mesir. Ia berasal dari bangsa Barbar.  Ayahnya berasal dari Danqalah serta ia tumbuh dan besar di Mesir.


*****


Jika membaca lebih banyak rujukan, sepertinya akan banyak ditemukan perbedaan tentang yang ditulis di atas. Tulisan yang terdapat pada rujukan tidak menutup kemungkinan ditulis dengan banyak pengaruh dari latar belakang dan kecenderungan penulisnya. Oleh karena itu, diharapkan pembaca dapat menanggapinya dengan bijak dan tidak menelannya bulat-bulat. Semoga bermanfaat dan terima kasih.



Referensi:

Ash-Shiddiqi, Hasbi. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Indonesia: Darul Ihya.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Afrika

http://maniailmu.blogspot.com/2015/09/perkembangan-islam-di-benua-afrika.html?m=1



Post a Comment

Previous Post Next Post