Hukum Pernikahan Beda Agama
Ulama
fikih dari kalangan ahlu sunah telah sepakat bahwa hukum seorang muslimah
menikahi laki-laki yang bukan beragama Islam adalah haram. Hukum keharamannya
bersifat mutlak dalam artian baik dari agama manapun selama bukan Islam maka
hukumnya haram. Terkecuali jika laki-laki tersebut menjadi muallaf atau masuk
ke dalam agama Islam. Dalam Pasal 41 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam.”
Hukum
serupa juga berlaku bagi seorang muslim. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 221:
وَلَا تَنكِحُواْ
ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن
مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ
أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ
وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ
يَتَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”
Perihal Muslim Menikahi Ahli Kitab
Hanya
saja hukum yang berlaku bagi seorang muslim tidak bersifat mutlak. Seorang
muslim memiliki peluang boleh menikahi perempuan yang bukan beragama Islam
selama agamanya merupakan agama ahli kitab. Yang termasuk ke dalam ahli kitab
sebagaimana disebutkan dalam banyak tafsir, termasuk tafsir Jalalain dan Ibnu
Katsir adalah yang beragama Yahudi dan Nasrani. Sehingga seorang muslim
memiliki peluang kebolehan untuk menikahi wanita yang beragama Nasrani atau
Yahudi. Firman Allah Swt dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 5:
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ
وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ
لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ
أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ
فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.”
Pendapat Empat Imam Mazhab Perihal Muslim Menikahi Ahli Kitab
Dari
penjelasan di atas terdapat beberapa persoalan yang mesti diperjelas. Pertama
perihal Nasrani dan Yahudi yang dimaksud dan kedua perihal pendapat keempat
Imam mazhab fikih dalam ahlu sunah. Kedua hal tersebut dapat sekaligus
diperjelas dengan penjelasan berikut ini.
Sebagaimana
telah diketahui oleh banyak orang, baik agama Yahudi dan agama Nasrani memiliki
banyak aliran di dalamnya. Perempuan Yahudi yang berpeluang boleh dinikahi oleh
seorang muslim adalah perempuan Yahudi pengikut ajaran Kitab Taurat yang
diwahyukan kepada Nabi Musa as. Sedangkan perempuan Nasrani yang berpeluang
boleh dinikahi oleh seorang muslim adalah perempuan Nasrani yang beriman kepada
Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as.
Terdapat
perbedaan pendapat di antara keempat Imam mazhab perihal ahli kitab yang
dimaksud. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal serta
pengikutnya berpendapat bahwa perempuan ahli kitab yang boleh dinikahi oleh
seorang muslim adalah yang beriman kepada Taurat atau Injil baik sebelum diubah
maupun setelah diubah. Hal ini mengandung arti bahwa semua perempuan Yahudi dan
Nasrani yang masuk ke dalam kategori tersebut boleh dinikahi.
Imam
Syafi’i dan pengikutnya memberikan pendapat lain. Syafi’iyah (sebutan untuk Imam
Syafi’i dan pengikutnya) berpendapat bahwa perempuan Yahudi dan Nasrani yang
boleh dinikahi oleh seorang muslim adalah mereka yang beriman kepada Taurat
atau Injil sebelum keduanya diubah. Sehingga perempuan Yahudi atau Nasrani yang
beriman kepada Taurat atau Injil yang sudah diubah tidak boleh dinikahi oleh
seorang muslim dan hukumnya haram.
Apabila
melihat pendapat Syafi’iyah, maka sangat kecil peluang seorang muslim dapat
menikahi seorang perempuan Yahudi atau Nasrani. Hal ini dikarenakan sulit untuk
menemukan kriteria yang disebutkan. Selain itu, ada pula yang menambahkan syarat
lain selain harus beriman kepada Taurat atau Injil yang belum diubah. Syarat
tersebut adalah besar harapan dengan dinikahi oleh seorang muslim, perempuan
ahli kitab itu akan mendapat hidayah dan masuk Islam. Dari sini kita dapat memahami
bahwa peluang seorang muslim menikahi perempuan ahli kitab sangat kecil menurut
pendapat Syafi’iyah dibandingkan dengan pendapat ketiga Imam mazhab fikih
lainnya.
Jika
anda merupakan seorang muslim pengikut mazhab selain Syafi’iyah, tentu peluang anda
untuk dapat menikahi perempuan ahli kitab cukup besar, baik ahli kitab Yahudi
maupun Nasrani. Baik Nasrani Katolik yang sebagian besar tinggal di Vatikan
maupun Nasrani Ortodoks yang sebagian besar tinggal di wilayah Asia Tengah dan
Eropa Timur termasuk Rusia.
Untuk
menjaga kehati-hatian terjatuh ke dalam perzinaan dalam kacamata hukum Islam,
alangkah bijaknya apabila seorang muslim terutama yang mengaku pengikut Syafi’iyah
untuk menghindari pernikahan beda agama. Lagi pula, pernikahan beda agama di
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar tidak diakomodir secara
eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Penjelasan
dari Pasal tersebut yakni: “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.”
Wallāhu a’lamu bis-shawāb.