Kaidah-Kaidah Sosial dan Hukum

 

Hukum

Kaidah-kaidah Sosial dan Hukum

Pergaulan hidup manusia diatur oleh pelbagai macam kaidah atau norma yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Di dalam pergaulan hidup tersebut manusia mendapatkan pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok (premary needs) yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih sayang. Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus diamati dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola berpikir manusia dan merupakan suatu pedoman mental baginya.

Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda, maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah oleh karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan patokan-patokan yang berupa kaidah-kaidah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kaidah merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah laku atau perikelakuan yang diharapkan.

Di satu pihak kaidah-kaidah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia dan terdiri dari kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang beriman, sedangkan kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidupnya berakhlak atau mempunyai hati nurani bersih. Di lain pihak ada kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan antar manusia atau antar pribadi yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan menyenangkan sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan antar manusia. Kedamaian tersebut akan tercapai dengan menciptakan suatu keserasian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman (yang bersifat batiniah). Kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dan ketentraman merupakan suatu ciri yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.

Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada perbedaan antara kaidah-kaidah hukum di satu pihak dengan perikelakuan yang nyata. Hal ini terutama disebabkan oleh karena kaidah hukum merupakan patokan-patokan tentang perikelakuan yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola perikelakuan. Namun demikian ada baiknya untuk mengemukakan beberapa pendapat dari para ahli ilmu-ilmu sosial mengenai masalah ini yaitu perbedaan antara perikelakuan sosial yang nyata dengan perikelakuan sebagaimana yang diharapkan oleh hukum.  Sehingga akan terungkap beberapa dasar sosial dan hukum pokok-pokok sosiologi hukum.

 

Baca juga: Syarat Wajibnya Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

 

Setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksudkan dengan mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Namun, permasalahannya di sini adalah bagaimana untuk menemukan salah satu tipe pengendalian sosial tersebut dapat dinamakan hukum. Dengan kata lain, persoalannya kembali pada masalah membedakan hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya, persoalan yang telah lama membingungkan para antropolog dan para sosiolog. Walaupun kesulitan-kesulitan tetap ada, namun ada suatu konsensus bahwa semua masyarakat mempunyai suatu perangkat kaidah-kaidah yang dapat dinamakan hukum.

Salah satu hasil karya yang baik tentang hukum masyarakat sederhana adalah hasil penelitian Bronislaw Malinowski terhadap penduduk Pulau Trobiand dan Melanesia yang kemudian ditulisnya dalam satu buku yang berjudul Crime and Customs in Savage Society (1962). Malinowski berpendapat bahwa intisari hukum terjalin dalam prinsip resiprositas.

Analisis dari Malinowski sangat berguna, karena berkat penelitiannya dia telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, Malinowski berusaha untuk menghilangkan kesan bahwa hukum semata-mata terdiri dari paksaan dengan jalan mengemukakan suatu sistem yang sangat luas dari pengendalian sosial. Akan tetapi, dia kurang berhasil untuk membedakan hukum dari kebiasaan. Apabila asas resiprositas terdapat pada kebanyakan hubungan-hubungan hukum atau memperkuat pengendalian hukum, namun hal itu bukanlah berarti bahwa semua yang merupakan hukum dapat digolongkan pada asas resiprositas. Dalam menelaah hubungan-hubungan sosial pada masyarakat Trobiand, Malinowski terlalu memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang mendukung terjadinya hubungan-hubungan sosial yang harmonis. Dengan demikian, dia agak kurang memperhatikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan keguncangan-keguncangan dalam masyarakat. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian Malinowski berpendapat, bahwa ada beberapa kaidah yang penerapannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat. Kaidah-kaidah itulah yang dinamakan hukum yang berbeda dengan kaidah-kaidah lainnya.

Kemungkinan besar pendapat Malinowski yang membedakan hukum dengan kebiasaan, berpengaruh terhadap pendapat-pendapat para sarjana. Kemudian pada umumnya, berusaha untuk mempertemukan kedua pengertian tersebut. Kedua pengertian biasanya dibedakan atas dasar dua kriteria, yaitu sumber sanksinya dan pelaksanaannya. Adat kebiasaan sumber sanksi dan pelaksanaannya adalah para individu atau kelompok, sedangkan hukum didukung oleh suatu kekuasaan yang terpusat pada bagian-bagian tertentu dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, hukum dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang kedaulatan.  Hal ini dengan jelas tampak pada pendapat Radcliffe Brown yang menyatakan bahwa hukum merupakan:

A Social norm is legal if it's neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact by the application of physical force by an individual or group possessing the socially recognuzed of so acting.

Batasan-batasan tersebut diatas mengidentikkan hukum dengan negara sehingga menyulitkan analisis terhadap masing-masing unsur. Dengan demikian arti negara hukum menjadi pudar, hukum yang mengatur negara menjadi tidak berarti.

Max Weber juga menekankan pada pelaksanaan hukum oleh suatu kekuasaan yang terpusat. Dikatakannya kemudian bahwa seorang sosiolog tugasnya bukan untuk menilai suatu sistem hukum, akan tetapi hanya memahami saja. Konsepsi Max Weber tentang hukum memungkinkan usaha-usaha untuk menemukan kelompok kecil sampai dengan kelompok-kelompok besar seperti negara.  Lagipula Weber sebetulnya tidak menganggap hukum sebagai perintah (command), akan tetapi sebagai suatu ketertiban (order). Dengan demikian, dia tidaklah memandang hukum semata-mata sebagai pelaksanaan suatu kekuasaan yang terpusat.  Weber sebetulnya lebih mengutamakan pengertian wewenang (authority) sebagai intisari dari hukum.

Seorang tokoh lain, yaitu H.L.A. Hart berusaha untuk mengembangkan suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuatan yang terpusat dan maupun kewajiban-kewajiban tertentu secara intrinsik yang terdapat di dalam gejala hukum. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan sekunder (primary and secondary rules). Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Adalah mungkin untuk hidup dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang sangat stabil di mana warganya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya. Tetapi semakin kompleks suatu masyarakat semakin pudar kekuatan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:

1)      Rules of recognition, aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dan di mana perlu menyusun aturan-aturan tadi secara hirarkis menurut urutan-urutan kepentingannya;

2)      Rules of Change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru dan;

3)     Rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak kepada orang perorangan untuk menentukan apakah peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.

Walaupun Hart menyamakan hukum dengan serangkaian aturan-aturan, hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu.

 Paul Bohannan, seorang antropolog, berpendapat sejalan dengan Hart. Bohannan terkenal dengan konsepsi reinstitutionalization of norms atau pelembagaan kembali dari norma-norma. Dia menyatakan bahwa suatu lembaga hukum merupakan alat yang dipergunakan oleh warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi dan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan daripada aturan yang terhimpun dalam berbagai lembaga kemasyarakatan. Setiap masyarakat mempunyai lembaga-lembaga hukum dalam arti ini dan juga lembaga-lembaga non hukum lainnya. Bohannan selanjutnya mengatakan, bahwa hukum terdiri dari aturan-aturan atau kebiasaan yang telah mengalami proses pelembagaan kembali (reinstitutionalized),  artinya kebiasaan-kebiasaan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa, sehingga dapat dipergunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memang dibentuk untuk maksud tersebut. Lembaga-lembaga hukum berbeda dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya atas dasar dua kriteria yaitu, pertama, lembaga hukum memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam hubungannya dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya. Selain itu lembaga-lembaga hukum mencakup dua jenis aturan, yakni penetapan kembali dari pada aturan-aturan lembaga-lembaga non hukum yaitu hukum substantif dan aturan yang mengatur aktivitas dari pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri yaitu hukum ajektif. Pendapat Bohannan sangat penting untuk diperhatikan karena dengan pernyataan itu dia berpendapat, sifat yang paling penting dari gejala hukum adalah fakta bahwa aturan dan lembaga-lembaga hukum mengatur hampir seluruh perikelakuan sosial dalam masyarakat.

 Suatu pendekatan lain terhadap arti hukum dilakukan dengan menelaah fungsi yang harus dipenuhi oleh hukum. Adamson Hobble dan Karl Llewellyn menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi yang penting demi keutuhan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut:

1)      Menetapkan hubungan antara warga masyarakat dengan menetapkan perilaku mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang;

2)      Membuat alokasi wewenang atau authority dan menentukan dengan saksama pihak-pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif;

3)      Disposisi masalah-masalah sengketa;

4)     Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.

Pada umumnya terdapat suatu kesepakatan antara para antropolog, ahli filsafat hukum, maupun para sosiolog walaupun masing-masing mempergunakan istilah-istilah yang berbeda. Kesepakatan tadi adalah tentang fungsi-fungsi suatu sistem hukum yang secara menyeluruh, menyangkut pengesahan wewenang, cara-cara menyelesaikan perselisihan, dan mekanisme yang mempermudah hubungan antara para warga masyarakat dari adanya penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan.

 Pendapat lain pernah dikemukakan oleh antropolog L. Pospisil ( 1958) yang menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:

Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial. Agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya dikenal adanya empat tanda (atributte of law) agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya sebagai berikut:

1)      Tanda yang pertama dinamakan attribute of authority, yaitu hukum merupakan keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam masyarakat.

2)      Tanda yang kedua disebut atributte of intention of universal application, yang artinya adalah bahwa keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa-masa mendatang.

3)       Attribute of obligation merupakan tanda keempat yang berarti bahwa keputusan-keputusan penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan sebaliknya. Dalam hal ini, semua pihak harus masih di dalam kaidah hukum.

4)     Tanda keempat disebut sebagai atributte of sanction yang menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.

Memang perlu diakui, bahwa merupakan hal yang sulit untuk membedakan hukum dan kaidah-kaidah lainnya secara tegas. Hal ini disebabkan karena baik hukum maupun kaidah-kaidah lainnya, merupakan unsur-unsur yang membentuk mekanisme pengendalian sosial. Pada masyarakat tertentu, kaidah-kaidah non hukum berlaku lebih kuat daripada kaidah-kaidah hukum, lebih-lebih pada masyarakat sederhana, di mana interaksi sosial lebih banyak dilakukan atas dasar hubungan-hubungan pribadi. Adalah keliru untuk selalu mengkaitkan hukum dengan suatu kekuasaan terpusat yang mempunyai wewenang tunggal untuk menerapkan hukum. Apabila pendapat terakhir tersebut dianut, berarti masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan terpusat sama sekali tidak mempunyai hukum (hal ini adalah mustahil).

Walaupun kesulitan-kesulitan tersebut diatas timbul, akan tetapi dapat dikatakan bahwa hukum mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dengan kaidah-kaidah lain. Ada suatu kecenderungan untuk menganggap ciri-ciri tersebut adalah bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan; hukum mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah; dan hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan-badan pelaksana hukum. Khususnya tentang hal yang terakhir ini, perlu ditegaskan bahwa badan-badan tersebut mungkin merupakan orang-orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai pejabat pelaksana hukum (misalnya kepala adat atau dewan sesepuh pada masyarakat yang masih sederhana sistem sosialnya). Yang terpenting adalah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian yang berarti suatu keserasian antara ketertiban dan ketentraman.

Kaidah sosial adalah ketentuan yang memberi batasan dalam hubungan antarmanusia atau warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya tanpa melanggar kepentingan yang lainnya. Kaidah atau norma merupakan tata tertib yang berwujud kumpulan aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang tumbuh dalam hubungan antar manusia. Kaidah atau norma merupakan peraturan hidup tentang bagaimana manusia selaku individu bertindak dalam kehidupan sosialnya serta bagaimana manusia menghindari perbuatan yang akan menimbulkan gangguan terhadap kepentingan manusia lainnya. Kaidah atau norma berarti aturan atau ukuran atau penilaian.

Ketika kaidah sosial menuntun manusia hidup dalam hubungan antar individu, ketika itulah manusia sebagai pribadi tidak boleh berbuat sekehendak hatinya. Setiap kontak sosial manusia dibatasi oleh kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana bersikap dan bertingkah laku baik dalam kehidupan sosialnya, sebab jika tidak diatur demikian akan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat. Kaidah-kaidah sosial yang mengatur sikap dan perilaku manusia pada hakikatnya untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan kepentingan dalam masyarakat yang disebut kaidah sosial.

Keberadaan kaidah atau norma berawal sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat. Perkembangan dan pertumbuhan kehidupan masyarakat jelas memerlukan kaidah atau norma sesuai dengan sumbernya, baik yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, maupun yang berasal dari luar ruang lingkup kehidupan masyarakat. Oleh karena ia lahir bersamaan dengan adanya masyarakat, maka kaidah dalam kehidupan manusia dianggap sebagai hal yang sangat urgen untuk diketahui, dipahami dan dihayati sekaligus dilaksanakan atau dipatuhi.

Algra mengartikan kaidah sebagai siku-siku yang mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pembantu untuk mengonstruksi sudut 90°, serta alat yang dapat dipergunakan untuk memeriksa bahwa suatu sudut betul-betul 90°. Algra uraikan mengenai arti kaidah berkaitan dengan aturan hukum yaitu sebagai berikut.

Untuk itu maka aturan hukum merupakan suatu alat bantu. Tetapi masih ada alat bantu lain yang dapat dikemukakan dan dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut seperti berbagai macam metode uraian dan penafsiran yang dipergunakan oleh para hakim untuk mendapatkan penyelesaian yang dapat diterima.”

Gustav Radbruch membedakan kaidah dalam dua macam yaitu sebagai berikut.

1)        Kaidah alam, yaitu kaidah yang menyatakan tentang apa yang pasti akan terjadi. Contohnya, Semua manusia pasti meninggal. Jadi, kaidah ini merupakan ketidaksesuaian dengan kenyataan dan mengemukakan sesuatu yang memang telah demikian.

2)        Kaidah kesusilaan, merupakan kaidah yang menyatakan tentang sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Contoh manusia dilarang mencuri. Jadi, manusia ada kemungkinan menjadi pencuri tetapi ada kemungkinan juga tidak.

Gustav Radbruch juga menganggap kaidah kesusilaan atau kaidah sosial termasuk ke dalam golongan kaidah ideal, sedangkan kaidah hukum termasuk kaidah kultur. Pembagian kaidah yang dikemukakan Gustav Radbruch merupakan pembagian kaidah secara luas. Akan tetapi, sebetulnya kaidah hukum terserap masuk pada keduanya baik pada kaidah ideal maupun pada kaidah kultur. Kaidah hukum menunjukkan ciri-ciri kaidah kesusilaan (dalam arti luas) yang mengatur tentang apa yang seharusnya (das sollen) dilakukan, bukan apa yang pasti akan dilakukan (das sein).

Beberapa pakar hukum menilai lebih tepat, jika menyebutkan kaidah kesusilaan sebagai kaidah sosial. Alasannya, di dalam kaidah kesusilaan telah tercampur kaidah hukum, kaidah kesusilaan (dalam arti sempit), kaidah agama, dan kaidah kesopanan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaidah atau norma adalah aturan tingkah laku atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sosialnya. Kaidah sosial harus senantiasa menjadi pedoman manusia dalam berperilaku baik dalam hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, maupun antara individu dengan kekuasaan negara.

 Grossman menilai bahwa kaidah-kaidah sosial sewaktu-waktu dapat berubah terutama pada hal-hal berikut.

1.        Perubahan pada kaidah-kaidah individual, yaitu perubahan tingkah laku individu dalam kehidupan sehari-harinya, tetapi belum dapat dianggap sebagai perubahan tingkah laku.

2.        Perubahan pada kaidah-kaidah kelompok, yaitu perubahan yang terjadi dalam satuan-satuan kelompok yang tergolong pada sub sistem politik.

3.        Perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat, yaitu perubahan yang paling fundamental sifatnya karena meliputi perubahan nilai-nilai pada kaidah-kaidah dasar suatu masyarakat.

Beberapa ahli sosiologi juga berpendapat bahwa kaidah-kaidah sosial itu selalu dapat berubah seperti Max Weber dengan teori perubahan nilai-nilai sosial, menyatakan bahwa perubahan sosial terjadi apabila telah berubah nilai-nilai tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. William F. Ogburn dengan teori perubahan sosial, berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi apabila kondisi teknologi dan ekonomi suatu masyarakat telah berubah. Begitu pula Auguste Comte yang terkenal dengan teori pertambahan penduduk, menganggap perubahan sosial dalam suatu masyarakat terjadi disebabkan oleh bertambahnya penduduk secara alamiah. Sementara Herbert Spencer melalui teori evolusinya, berpendapat bahwa perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat selalu berlangsung secara evolusi dari yang sederhana sampai pada yang kompleks atau modern dan terjadi sambung menyambung.

Betapa pentingnya kaidah atau norma di dalam pergaulan hidup manusia, sehingga kaidah harus dijadikan acuan berinteraksi oleh setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial masyarakat, banyak sekali perbedaan kepentingan nasional dan kepentingan yang selaras dengan kepentingan warga masyarakat lainnya, tetapi ada pula kepentingan yang berbeda dan memungkinkan timbulnya konflik. Dalam kondisi demikianlah, kaidah memerankan fungsinya untuk mengeliminasi setiap potensi konflik tadi.

 



Referensi

Mas, Marwan. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan 2. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sani, Abdul. 2012. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.

Soekanto, Soerjono. 1991. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Cetakan ke-6. Jakarta: Rajawali.

________________. 2007. Sosiologi Suatu PengantarJakarta: Raja Grafindo Persada. Edisi Baru.

________________. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan 23. Edisi 1.

Syarbaini, Syahrial dan Fatkhuri. 2016.  Teori Sosiologi Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.

 

Baca juga: Contoh Latihan Ulangan Bahasa Arab untuk Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi




Post a Comment

Previous Post Next Post