Kaidah-kaidah Sosial dan Hukum
Pergaulan hidup manusia diatur oleh pelbagai macam kaidah atau
norma yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang
tertib dan tentram. Di dalam pergaulan hidup tersebut manusia mendapatkan
pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok (premary
needs) yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa
dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih sayang. Pengalaman-pengalaman
tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif sehingga manusia
mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus diamati
dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut sangat
berpengaruh terhadap pola berpikir manusia dan merupakan suatu pedoman mental
baginya.
Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya yang merupakan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
terhadap manusia, benda, maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian
membentuk kaidah-kaidah oleh karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan
pantas. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia berbeda-beda.
Oleh karena itu, diperlukan patokan-patokan yang berupa kaidah-kaidah. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa kaidah merupakan patokan-patokan atau
pedoman-pedoman perihal tingkah laku atau perikelakuan yang diharapkan.
Di satu pihak kaidah-kaidah tersebut ada yang mengatur pribadi
manusia dan terdiri dari kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah
kepercayaan bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang beriman, sedangkan
kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidupnya berakhlak atau mempunyai hati
nurani bersih. Di lain pihak ada kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan antar
manusia atau antar pribadi yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaidah
hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan
menyenangkan sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
pergaulan antar manusia. Kedamaian tersebut akan tercapai dengan menciptakan
suatu keserasian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman
(yang bersifat batiniah). Kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dan
ketentraman merupakan suatu ciri yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial
lainnya.
Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada
perbedaan antara kaidah-kaidah hukum di satu pihak dengan perikelakuan yang
nyata. Hal ini terutama disebabkan oleh karena kaidah hukum merupakan
patokan-patokan tentang perikelakuan yang diharapkan yang dalam hal-hal
tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola perikelakuan. Namun demikian ada
baiknya untuk mengemukakan beberapa pendapat dari para ahli ilmu-ilmu sosial
mengenai masalah ini yaitu perbedaan antara perikelakuan sosial yang nyata
dengan perikelakuan sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. Sehingga akan terungkap beberapa dasar sosial
dan hukum pokok-pokok sosiologi hukum.
Baca juga: Syarat
Wajibnya Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial
agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksudkan dengan
mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah
segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan
maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa
para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan
nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Namun, permasalahannya di
sini adalah bagaimana untuk menemukan salah satu tipe pengendalian sosial
tersebut dapat dinamakan hukum. Dengan kata lain, persoalannya
kembali pada masalah membedakan hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya,
persoalan yang telah lama membingungkan para antropolog dan para sosiolog. Walaupun
kesulitan-kesulitan tetap ada, namun ada suatu konsensus bahwa semua masyarakat
mempunyai suatu perangkat kaidah-kaidah yang dapat dinamakan hukum.
Salah satu hasil karya yang baik tentang hukum masyarakat sederhana
adalah hasil penelitian Bronislaw Malinowski terhadap penduduk Pulau Trobiand
dan Melanesia yang kemudian ditulisnya dalam satu buku yang berjudul Crime
and Customs in Savage Society (1962). Malinowski berpendapat bahwa intisari hukum terjalin dalam prinsip
resiprositas.
Analisis dari Malinowski sangat berguna, karena berkat
penelitiannya dia telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan dalam
keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga
berperan pada aktivitas sehari-hari. Dengan kata
lain, Malinowski berusaha untuk menghilangkan kesan bahwa hukum semata-mata terdiri
dari paksaan dengan jalan mengemukakan suatu sistem yang sangat luas dari
pengendalian sosial. Akan tetapi, dia kurang berhasil
untuk membedakan hukum dari kebiasaan. Apabila asas
resiprositas terdapat pada kebanyakan hubungan-hubungan hukum atau memperkuat
pengendalian hukum, namun hal itu bukanlah berarti bahwa semua yang merupakan
hukum dapat digolongkan pada asas resiprositas. Dalam menelaah
hubungan-hubungan sosial pada masyarakat Trobiand, Malinowski terlalu
memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang mendukung terjadinya hubungan-hubungan
sosial yang harmonis. Dengan demikian, dia agak kurang
memperhatikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan keguncangan-keguncangan
dalam masyarakat. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian Malinowski berpendapat, bahwa
ada beberapa kaidah yang penerapannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan
yang terpusat. Kaidah-kaidah itulah yang dinamakan hukum yang berbeda dengan
kaidah-kaidah lainnya.
Kemungkinan besar pendapat Malinowski yang membedakan hukum dengan
kebiasaan, berpengaruh terhadap pendapat-pendapat para sarjana. Kemudian pada
umumnya, berusaha untuk mempertemukan kedua pengertian tersebut. Kedua
pengertian biasanya dibedakan atas dasar dua kriteria, yaitu sumber sanksinya
dan pelaksanaannya. Adat kebiasaan sumber sanksi dan pelaksanaannya adalah para
individu atau kelompok, sedangkan hukum didukung oleh suatu kekuasaan yang
terpusat pada bagian-bagian tertentu dalam masyarakat. Atau dengan kata lain,
hukum dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini dengan jelas tampak pada pendapat
Radcliffe Brown yang menyatakan bahwa hukum merupakan:
A Social norm is legal if it's neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact by the application of physical force by an individual or group possessing
the socially recognuzed of so acting.
Batasan-batasan tersebut diatas mengidentikkan hukum dengan negara
sehingga menyulitkan analisis terhadap masing-masing unsur. Dengan demikian
arti negara hukum menjadi pudar, hukum yang mengatur negara menjadi tidak
berarti.
Max Weber juga menekankan pada pelaksanaan hukum oleh suatu
kekuasaan yang terpusat. Dikatakannya kemudian bahwa seorang sosiolog tugasnya
bukan untuk menilai suatu sistem hukum, akan tetapi hanya memahami saja. Konsepsi
Max Weber tentang hukum memungkinkan usaha-usaha untuk menemukan kelompok kecil
sampai dengan kelompok-kelompok besar seperti negara. Lagipula Weber sebetulnya tidak menganggap
hukum sebagai perintah (command), akan tetapi sebagai suatu ketertiban (order).
Dengan demikian, dia tidaklah memandang hukum semata-mata sebagai pelaksanaan
suatu kekuasaan yang terpusat. Weber
sebetulnya lebih mengutamakan pengertian wewenang (authority) sebagai
intisari dari hukum.
Seorang tokoh lain, yaitu H.L.A. Hart berusaha untuk
mengembangkan suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuatan
yang terpusat dan maupun kewajiban-kewajiban tertentu secara intrinsik yang terdapat
di dalam gejala hukum. Menurut Hart, inti
dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan
aturan-aturan sekunder (primary and secondary rules). Aturan-aturan
utama merupakan ketentuan-ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Adalah
mungkin untuk hidup dengan aturan-aturan utama saja di dalam
masyarakat yang sangat stabil di mana warganya saling mengenal serta mempunyai
hubungan yang erat satu dengan lainnya. Tetapi semakin
kompleks suatu masyarakat semakin pudar kekuatan aturan-aturan sekunder yang terdiri
dari:
1)
Rules of recognition,
aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama
dan di mana perlu menyusun aturan-aturan tadi secara hirarkis menurut urutan-urutan
kepentingannya;
2)
Rules of Change, yaitu aturan
yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru dan;
3)
Rules of adjudication,
yaitu aturan-aturan yang memberikan hak kepada orang perorangan untuk
menentukan apakah peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.
Walaupun Hart menyamakan hukum dengan serangkaian aturan-aturan,
hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah lembaga-lembaga
kemasyarakatan tertentu.
Paul Bohannan, seorang antropolog, berpendapat sejalan dengan Hart. Bohannan
terkenal dengan konsepsi reinstitutionalization of norms atau
pelembagaan kembali dari norma-norma. Dia menyatakan
bahwa suatu lembaga hukum merupakan alat yang dipergunakan oleh warga
masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi dan untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan daripada aturan yang terhimpun dalam
berbagai lembaga kemasyarakatan. Setiap masyarakat mempunyai lembaga-lembaga hukum dalam arti ini
dan juga lembaga-lembaga non hukum lainnya. Bohannan selanjutnya mengatakan,
bahwa hukum terdiri dari aturan-aturan atau kebiasaan yang telah mengalami
proses pelembagaan kembali (reinstitutionalized), artinya kebiasaan-kebiasaan dari
lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa, sehingga dapat
dipergunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memang dibentuk
untuk maksud tersebut. Lembaga-lembaga hukum berbeda dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya atas dasar dua kriteria yaitu, pertama, lembaga
hukum memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara menyelesaikan perselisihan
yang timbul dalam hubungannya dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya. Selain
itu lembaga-lembaga hukum mencakup dua jenis aturan, yakni penetapan kembali
dari pada aturan-aturan lembaga-lembaga non hukum yaitu hukum substantif dan
aturan yang mengatur aktivitas dari pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri
yaitu hukum ajektif. Pendapat Bohannan sangat penting untuk diperhatikan karena
dengan pernyataan itu dia berpendapat, sifat yang paling penting dari gejala
hukum adalah fakta bahwa aturan dan lembaga-lembaga hukum mengatur hampir
seluruh perikelakuan sosial dalam masyarakat.
Suatu pendekatan lain
terhadap arti hukum dilakukan dengan menelaah fungsi yang harus dipenuhi oleh
hukum. Adamson Hobble dan Karl Llewellyn menyatakan bahwa hukum mempunyai
fungsi yang penting demi keutuhan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah
sebagai berikut:
1)
Menetapkan hubungan antara warga masyarakat dengan menetapkan
perilaku mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang;
2)
Membuat alokasi wewenang atau authority dan menentukan dengan
saksama pihak-pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus
memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif;
3)
Disposisi masalah-masalah sengketa;
4)
Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi
kehidupan.
Pada umumnya terdapat suatu kesepakatan antara para antropolog,
ahli filsafat hukum, maupun para sosiolog walaupun masing-masing mempergunakan
istilah-istilah yang berbeda. Kesepakatan tadi adalah tentang
fungsi-fungsi suatu sistem hukum yang secara menyeluruh, menyangkut pengesahan
wewenang, cara-cara menyelesaikan perselisihan, dan mekanisme yang mempermudah
hubungan antara para warga masyarakat dari adanya penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan.
Pendapat lain pernah dikemukakan oleh antropolog L. Pospisil (
1958) yang menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:
Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana
pengendalian sosial. Agar dapat dibedakan antara hukum
dengan kaidah-kaidah lainnya dikenal adanya empat tanda (atributte of law)
agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya sebagai berikut:
1)
Tanda yang pertama dinamakan attribute of authority, yaitu
hukum merupakan keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam
masyarakat, keputusan-keputusan ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan
yang terjadi dalam masyarakat.
2)
Tanda yang kedua disebut atributte of intention of universal
application, yang artinya adalah bahwa keputusan-keputusan yang mempunyai
daya jangkau yang panjang untuk masa-masa mendatang.
3)
Attribute of obligation merupakan
tanda keempat yang berarti bahwa keputusan-keputusan penguasa harus berisikan
kewajiban-kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan sebaliknya.
Dalam hal ini, semua pihak harus masih di dalam kaidah hukum.
4)
Tanda keempat disebut sebagai atributte of sanction yang menentukan
bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan
sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
Memang perlu diakui, bahwa merupakan hal yang sulit untuk
membedakan hukum dan kaidah-kaidah lainnya secara tegas. Hal ini disebabkan
karena baik hukum maupun kaidah-kaidah lainnya, merupakan unsur-unsur yang
membentuk mekanisme pengendalian sosial. Pada masyarakat tertentu,
kaidah-kaidah non hukum berlaku lebih kuat daripada kaidah-kaidah hukum, lebih-lebih
pada masyarakat sederhana, di mana interaksi sosial lebih banyak dilakukan atas
dasar hubungan-hubungan pribadi. Adalah keliru untuk selalu mengkaitkan hukum
dengan suatu kekuasaan terpusat yang mempunyai wewenang tunggal untuk menerapkan
hukum. Apabila pendapat terakhir tersebut dianut, berarti masyarakat yang tidak
mempunyai kekuasaan terpusat sama sekali tidak mempunyai hukum (hal ini adalah
mustahil).
Walaupun kesulitan-kesulitan tersebut diatas timbul, akan tetapi
dapat dikatakan bahwa hukum mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan
dengan kaidah-kaidah lain. Ada suatu kecenderungan untuk menganggap ciri-ciri
tersebut adalah bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan; hukum mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang
bersifat lahiriyah; dan hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh
masyarakat sebagai badan-badan pelaksana hukum. Khususnya tentang hal yang
terakhir ini, perlu ditegaskan bahwa badan-badan tersebut mungkin merupakan orang-orang
yang oleh masyarakat dianggap sebagai pejabat pelaksana hukum (misalnya kepala
adat atau dewan sesepuh pada masyarakat yang masih sederhana sistem sosialnya). Yang terpenting adalah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian
yang berarti suatu keserasian antara ketertiban dan ketentraman.
Kaidah sosial adalah ketentuan yang memberi batasan dalam hubungan
antarmanusia atau warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya
tanpa melanggar kepentingan yang lainnya. Kaidah atau norma merupakan tata
tertib yang berwujud kumpulan aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, yang tumbuh dalam hubungan antar manusia. Kaidah atau norma merupakan
peraturan hidup tentang bagaimana manusia selaku individu bertindak dalam
kehidupan sosialnya serta bagaimana manusia menghindari perbuatan yang akan
menimbulkan gangguan terhadap kepentingan manusia lainnya. Kaidah atau norma berarti
aturan atau ukuran atau penilaian.
Ketika kaidah sosial menuntun manusia hidup dalam hubungan antar
individu, ketika itulah manusia sebagai pribadi tidak boleh berbuat sekehendak
hatinya. Setiap kontak sosial manusia dibatasi oleh kaidah-kaidah yang mengatur
bagaimana bersikap dan bertingkah laku baik dalam kehidupan sosialnya, sebab
jika tidak diatur demikian akan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah sosial yang mengatur sikap dan perilaku manusia pada hakikatnya
untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan kepentingan dalam masyarakat yang
disebut kaidah sosial.
Keberadaan kaidah atau norma berawal sejak manusia mengenal hidup
bermasyarakat. Perkembangan dan pertumbuhan kehidupan masyarakat jelas memerlukan
kaidah atau norma sesuai dengan sumbernya, baik yang berasal dari dalam
masyarakat itu sendiri, maupun yang berasal dari luar ruang lingkup kehidupan
masyarakat. Oleh karena ia lahir bersamaan dengan adanya masyarakat, maka
kaidah dalam kehidupan manusia dianggap sebagai hal yang sangat urgen untuk
diketahui, dipahami dan dihayati sekaligus dilaksanakan atau dipatuhi.
Algra mengartikan kaidah sebagai siku-siku yang mempunyai dua fungsi,
yaitu sebagai pembantu untuk mengonstruksi sudut 90°, serta alat yang dapat
dipergunakan untuk memeriksa bahwa suatu sudut betul-betul 90°. Algra uraikan
mengenai arti kaidah berkaitan dengan aturan hukum yaitu sebagai berikut.
“ Untuk itu maka
aturan hukum merupakan suatu alat bantu. Tetapi masih
ada alat bantu lain yang dapat dikemukakan dan dipergunakan untuk mencapai
tujuan tersebut seperti berbagai macam metode uraian dan penafsiran yang
dipergunakan oleh para hakim untuk mendapatkan penyelesaian yang dapat diterima.”
Gustav Radbruch membedakan kaidah dalam dua macam yaitu sebagai
berikut.
1)
Kaidah alam, yaitu kaidah yang menyatakan tentang apa yang pasti
akan terjadi. Contohnya, Semua manusia pasti meninggal. Jadi, kaidah
ini merupakan ketidaksesuaian dengan kenyataan dan mengemukakan sesuatu yang
memang telah demikian.
2)
Kaidah kesusilaan, merupakan kaidah yang menyatakan tentang sesuatu
yang belum tentu akan terjadi. Contoh manusia dilarang mencuri. Jadi, manusia
ada kemungkinan menjadi pencuri tetapi ada kemungkinan juga tidak.
Gustav Radbruch juga menganggap kaidah kesusilaan atau kaidah
sosial termasuk ke dalam golongan kaidah ideal, sedangkan kaidah hukum termasuk
kaidah kultur. Pembagian kaidah yang dikemukakan Gustav Radbruch merupakan pembagian
kaidah secara luas. Akan tetapi, sebetulnya kaidah hukum
terserap masuk pada keduanya baik pada kaidah ideal maupun pada kaidah kultur.
Kaidah hukum menunjukkan ciri-ciri kaidah kesusilaan (dalam arti luas) yang
mengatur tentang apa yang seharusnya (das sollen) dilakukan, bukan apa
yang pasti akan dilakukan (das sein).
Beberapa pakar hukum menilai lebih tepat, jika menyebutkan kaidah
kesusilaan sebagai kaidah sosial. Alasannya, di dalam kaidah kesusilaan telah
tercampur kaidah hukum, kaidah kesusilaan (dalam arti sempit), kaidah agama, dan
kaidah kesopanan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaidah atau norma
adalah aturan tingkah laku atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam kehidupan sosialnya. Kaidah sosial harus senantiasa menjadi pedoman
manusia dalam berperilaku baik dalam hubungan antar individu, individu dengan
masyarakat, maupun antara individu dengan kekuasaan negara.
Grossman menilai bahwa
kaidah-kaidah sosial sewaktu-waktu dapat berubah terutama pada hal-hal berikut.
1.
Perubahan pada kaidah-kaidah individual, yaitu perubahan tingkah
laku individu dalam kehidupan sehari-harinya, tetapi belum dapat dianggap
sebagai perubahan tingkah laku.
2.
Perubahan pada kaidah-kaidah kelompok, yaitu perubahan yang terjadi
dalam satuan-satuan kelompok yang tergolong pada sub sistem politik.
3.
Perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat, yaitu perubahan yang
paling fundamental sifatnya karena meliputi perubahan nilai-nilai pada
kaidah-kaidah dasar suatu masyarakat.
Beberapa ahli sosiologi juga berpendapat bahwa kaidah-kaidah sosial
itu selalu dapat berubah seperti Max Weber dengan teori perubahan
nilai-nilai sosial, menyatakan bahwa perubahan sosial terjadi apabila telah
berubah nilai-nilai tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. William F.
Ogburn dengan teori perubahan sosial, berpendapat bahwa perubahan sosial
terjadi apabila kondisi teknologi dan ekonomi suatu masyarakat telah berubah.
Begitu pula Auguste Comte yang terkenal dengan teori pertambahan penduduk,
menganggap perubahan sosial dalam suatu masyarakat terjadi disebabkan oleh
bertambahnya penduduk secara alamiah. Sementara Herbert Spencer melalui teori
evolusinya, berpendapat bahwa perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat
selalu berlangsung secara evolusi dari yang sederhana sampai pada yang kompleks
atau modern dan terjadi sambung menyambung.
Betapa pentingnya kaidah atau norma di dalam pergaulan hidup
manusia, sehingga kaidah harus dijadikan acuan berinteraksi oleh setiap orang
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial masyarakat, banyak sekali
perbedaan kepentingan nasional dan kepentingan yang selaras dengan kepentingan
warga masyarakat lainnya, tetapi ada pula kepentingan yang berbeda dan
memungkinkan timbulnya konflik. Dalam kondisi demikianlah, kaidah memerankan
fungsinya untuk mengeliminasi setiap potensi konflik tadi.
Referensi
Mas, Marwan. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan 2. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sani, Abdul. 2012. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 1991. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Cetakan ke-6. Jakarta: Rajawali.
________________. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Edisi Baru.
________________. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan 23. Edisi 1.
Syarbaini, Syahrial dan Fatkhuri. 2016. Teori Sosiologi Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Baca juga: Contoh Latihan Ulangan Bahasa Arab untuk Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi