Syarat Wajibnya Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

amar ma'ruf nahi munkar


Konsep Dasar Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Amar (أمر) dan nahi (نهي) berasal dari bahasa Arab yang artinya memerintah dan melarang. Kata ma’ruf (معروف) dan munkar (منكر) keduanya juga berasal dari bahasa Arab. Ma’ruf secara etimologi diartikan sebagai segala sesuatu yang dinilai baik oleh syariat agama yang terdiri dari wajib (واجب) dan sunah (مندوب). Sedangkan kata mungkar secara etimologi adalah segala sesuatu yang dinilai tidak baik oleh syariat agama yang terdiri dari haram (حرام) dan makruh (مكروه). Amar ma’ruf wajib hukumnya terhadap hal-hal yang diwajibkan dan nahi munkar hukumnya wajib terhadap hal-hal yang diharamkan. Begitupun sebaliknya, amar ma’ruf disunahkan kepada hal-hal yang disunahkan dan nahi munkar disunahkan kepada hal-hal yang dimakruhkan.

Kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban kifayah/kewajiban komunal (وجوب كفائي). Oleh karena kewajiban kifayah, maka apabila telah dilakukan oleh sebagian orang, tidak lagi menjadi kewajiban bagi sebagian orang yang lain. Tetapi tidak ada larangan bagi sebagian orang yang lain itu untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar jika memang dirasa masih perlu. Selain merupakan kewajiban kifayah, kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan kewajiban fauriy (وجوب فوري), yakni kewajiban yang harus disegerakan sehingga tidak boleh ditunda-tunda. Misalnya si A melihat si B belum melaksanakan salat ashar. Sedangkan si B ini adalah mukallaf (orang yang dibebani dengan aturan syariat) dan kala itu waktu salat ashar hampir habis. Maka si A harus segera memerintahkan si B agar segera salat dan tidak boleh menunda-nunda untuk memerintahkannya. Jika ditunda-tunda maka akan timbul suatu kemunkaran, yakni si B tidak melaksanakan salat ashar pada waktu yang telah ditentukan padahal ia adalah seorang mukallaf. Si A pun akan berdosa karena membiarkan si B yang berada dalam pengawasannya meninggalkan kewajiban.

Kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar tidak ditentukan kepada orang yang tidak melakukannya saja, tetapi kepada setiap orang yang melihat kemungkaran walaupun ia juga sedang melakukan kemungkaran yang sejenis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Haramain bahwa wajib kepada seseorang yang sedang mabuk untuk mengingkari seorang pemabuk yang lain. Imam Ghazali juga pernah berkata bahwa diwajibkan kepada seorang laki-laki yang menzinai seorang perempuan agar memerintahkan perempuan tersebut untuk menutupi wajahnya dari laki-laki yang menzinainya.

 

Dalil tentang Kewajiban Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Landasan hukum atau dalil tentang kewajiban amar ma’ruf dan anhi munkar dapat dalam Alquran, hadis, serta ijma’ para ulama. Dalil tentang kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar disebutkan dalam Alquran salah satunya dalam QS. Ali Imran [3] ayat 104 yang berbunyi:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤

Artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

 

Adapun dalil yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw diantaranya seperti hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Said al-Khudriy ra yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ (رواه مسلم)

Artinya:

Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu, maka (ingkarilah) dengan hatinya. Dan mengingkari dengan hati itu, adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

 

Dari hadis di atas, dapat diketahui bahwa tingkat pengingkaran terhadap perbuatan yang munkar ada tiga. Pertama, adalah tingkatan yang paling kuat yaitu dengan cara mengubahnya melalui tangan atau tindakannya. Misalnya ada orang hendak membunuh, lalu dihentikan dengan cara ditahan atau senjata yang dipegangnya diambil paksa sehingga pembunuhan tidak terjadi. Kedua adalah dengan perkataan, yakni dinasehati atau yang semisal dengannya. Ketiga yaitu dengan pengingkaran di dalam hati dengan cara tidak merestui dan membenci terhadap perilaku munkar yang disaksikan.

Jika diyakini hanya mampu mengingkari dengan cara ketiga, tidak perlu memaksakan cara kedua yang diyakini tidak akan mampu dilakukan. Begitupun seterusnya, jika diyakini hanya mampu melakukan cara yang kedua, tidak perlu memaksakan dengan cara pertama yang diyakini tidak mampu untuk dilakukan. Allah tidak pernah membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang berada di luar batas kemampuannya. Maka dari itu, diwajibkan agar selalu meminta pertolongan dan kekuatan kepada Allah. Semoga cara manapun yang dilakukan memang benar atas dasar kemampuan yang dimiliki serta tidak mengurangi keutamaannya di sisi Allah. Amin.

Sedangkan dalil yang bersumber dari ijma’ ulama adalah bahwa sesungguhnya umat Islam di masa awal dan setelahnya selalu mewasiatkan kepada amar ma’ruf dan nahi munkar dan mencela orang-orang yang meninggalkannya padahal ia mampu.

 

Syarat Wajibnya Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Amar ma’ruf dan nahi munkar diwajibkan tidak secara mutlak. Selain merupakan kewajiban kifayah dan kewajiban fauriy yang telah disebutkan sebelumnya, kewajibannya juga didasarkan atas syarat-syarat tertentu. Bilamana syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hukum amar ma’ruf dan nahi munkar dapat berubah menjadi sunah, jawaz, hingga haram. Jawaz yang dimaksud di sini merupakan hukum kebolehan yang bersifat opsional. Artinya, hukumnya ketika dilakukan dan ditinggalkan adalah bernilai sama. Adapun syarat wajibnya amar ma’ruf dan nahi munkar sebagaimana telah disinggung sebelumnya antara lain sebagai berikut.

1.      Orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang olehnya

Orang yang tidak memahami tentang hukumnya suatu hal tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atas sesuatu yang tidak dipahaminya tersebut. Misalnya seseorang tidak tahu hukumnya menggunakan penutup kepala seperti peci, maka ia tidak boleh memerintah atau melarang seseorang yang memakai peci sebelum ia tahu hukumnya. Adapun hal-hal yang sudah sama-sama diketahui oleh orang yang berilmu dan orang awam secara umum di dalamnya terdapat kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Misalnya dalam hal larangan membunuh yang sudah menjadi pengetahuan umum. Sangat kecil peluangnya seseorang saat ini tidak mengetahui larangan membunuh. Baik orang yang berilmu atau orang awam sudah sama-sama tahu larangannya, maka keduanya memikul beban sama dalam hal memiliki kewajiban nahi munkar jika mendapati ada orang yang berpotensi melakukan pembunuhan dalam jangkauannya dan dalam batas kemampuannya.

2.      Orang yang menjadi target amar ma’ruf dan nahi munkar diyakini tidak akan melakukan kemunkaran yang lebih besar jika diingatkan/dicegah

Misalnya ada seorang yang sedang mabuk. Lalu kemudian ada si A yang melihatnya. Tetapi si A meyakini jika dia mengingatkan orang yang mabuk tersebut malah si A akan terbunuh atau teraniaya. Ketiadaan kedua syarat kesatu dan kedua ini menjadikan hukum amar ma’ruf dan nahi munkarnya berubah dari wajib menjadi haram. Alasannya adalah kesatu karena menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya dan kedua dapat menimbulkan kemungkaran yang lebih besar baik bagi diri sendiri bahkan orang lain jika dimungkinkan. Haram yang dimaksud pada syarat kedua yang tidak terpenuhi tentu saja untuk tindakan-tindakan nyata, sedangkan untuk persoalan hati, tetap diwajibkan untuk mengingkari dan membenci perilaku tersebut.

3.      Terbesit di dalam hati orang yang amar ma’ruf dan nahi munkar bahwa amar ma’rufnya diduga benar (ظن) dapat berhasil dan nahi munkarnya dapat membuat orang yang akan atau sedang melakukan kemungkaran berhenti.

Jika syarat ketiga ini tidak terpenuhi, maka hukum amar ma’ruf nahi munkar tidak lagi menjadi wajib, hanya menjadi jawaz jika dipastikan tidak akan ada gunanya, tetapi menjadi sunah jika ada keraguan (شك) di antara dapat memberikan pengaruh atau tidak. Pendapat ini didasarkan salah satunya pada pendapat Imam Qarafi. Tetapi Imam Sa’ad dan Imam Amadi berpendapat bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar hukumnya tetap wajib jika terdapat sangkaan benar (ظن) atau sangkaan yang sama antara benar dan salah (شك) bahwa amar ma’ruf dan nahi munkarnya tidak akan ada gunanya. Jika diyakini (قطع) amar ma’ruf dan nahi munkarnya tidak akan berguna baru hukum wajibnya hilang. Adanya ketentuan tentang persangkaan ini dimaksudkan agar orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tidak gegabah dan tidak terfokusk pada hal-hal yang tidak penting baginya.

 

Selain hal yang telah disebutkan di atas, Imam Amadi juga menyebutkan bahwa syarat wajibnya amar ma’ruf dan nahi munkar adalah orang yang melakukannya hendaklah tidak berputus asa dari mengharapkan terkabulnya apa yang telah ia usahakan. Syarat yang diutarakan oleh Imam Amadi ini tidak lain sama dengan syarat ketiga yang telah disebutkan, yakni berkenaan dengan peluang berhasil atau tidaknya amar ma’ruf dan nahi munkar.

Sebagian besar ulama seperti Imam Syafi’i berpendapat bahwa syarat nomor tiga di atas tidaklah disyaratkan karena seseorang hanya diwajibkan untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar saja tanpa perlu melihat hasilnya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah QS. Al-Maidah [5] ayat 99 yang berbunyi:

مَّا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا تَكۡتُمُونَ ٩٩

Artinya:

Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”.

Juga firman Allah dalam QS. Az-Zariyat [51] ayat 55 yang berbunyi:

 وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٥

Artinya:

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”

 

Oleh karena hal itu, Imam Nawawi pernah mengatakan bahwa kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar seorang mukallaf tidak dapat gugur hanya karena dugaan kuatnya (ظن) mengatakan bahwa apa yang ia lakukan tidak akan berhasil.

 

Wallāhu a’lamu biṣṣawāb.

 

 

 

Referensi:

Ibrahim Al-Baijuriy, Tuḥfatul Murīd ‘alā Jauharati at-Tauḥīd

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post