Asal Usul Kaidah Hukum dan Sifat dari Isi Kaidah Hukum
Mengenai proses lahirnya, kaidah hukum tidak terlepas dari mana
hukum bersumber. Pengujian asal usul untuk membedakan kaidah hukum dengan
kaidah kaidah sosial lainnya. Kaidah-kaidah sosial, hal ini sebenarnya bukan
hukum melainkan kaidah yang pada umumnya merupakan bagian dari aturan-aturan
moral sebagaimana dikatakan oleh Dworkin. Kaidah sosial lain yang bukan hukum
adalah kaidah yang diikuti sebagai sistem nilai yang dianut oleh warga
masyarakat secara umum dan tidak dijalankan oleh kekuasaan publik atau penguasa
negara. Asal usul kaidah hukum pada pokoknya dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu sebagai berikut.
Baca juga: Peradaban
Islam pada Masa Dinasti Mughal
1.
Kaidah hukum yang berasal dari kaidah-kaidah sosial lain di dalam
masyarakat, yang dalam istilah Paul Bohannan sebagai kaidah hukum yang berasal
dari proses double legitimacy atau pemberian ulang legitimasi dari suatu
kaidah sosial dan hukum (moral agama dan kesopanan) menjadi suatu kaidah hukum.
2.
Kaidah hukum yang diturunkan oleh otoritas tertinggi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat pada saat itu dan langsung terwujud dalam wujud kaidah
hukumnya serta sama sekali tidak berasal dari kaidah sosial lain sebelumnya.
Misalnya Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Untuk
memperkuat asal usul kaidah umum Paul Bohannan secara tegas menyatakan:
“Hukum sebaiknya dipikirkan sebagai
perangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak oleh
suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain yang telah
dikembangkan lagi dalam lembaga-lembaga hukum supaya masyarakat dapat berfungsi
dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui
cara demikian.”
Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa kaidah-kaidah hukum itu
merupakan double legitimacy. Artinya, kaidah hukum merupakan pelembagaan
ganda yang diambil dari kaidah-kaidah sosial lainnya (agama, kesopanan, dan
kesusilaan) agar warga masyarakat dapat terus berfungsi. Misalnya, larangan
mencuri yang diatur dalam pasal 362 KUH Pidana pada dasarnya juga merupakan
perbuatan yang tercela atau perbuatan tidak terpuji atau dosa menurut kaidah
agama, kaidah kesopanan dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit.
Menurut Paul Bohannan, asal usul kaidah hukum adalah dari
kaidah-kaidah sosial lainnya. Namun apabila dikaji lebih mendalam, sebetulnya kaidah
hukum itu selain berasal dari kaidah-kaidah sosial lainnya juga berasal dari
otoritas tertinggi atau kekuasaan negara. Pandangan Paul Bohannan dikenal pula
sebagai teori institutionalization of norm yang memandang keberadaan
suatu lembaga hukum sebagai alat yang digunakan oleh warga masyarakat untuk
menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di lembaga-lembaga masyarakat.
Keberadaan hukum yang terdiri atas kebiasaan-kebiasaan yang
kemudian mengalami proses perlembagaan kembali menjadi kaidah hukum, pada
akhirnya digunakan oleh masyarakat sebagai aturan untuk menata kehidupannya.
Inilah yang dinilai oleh Satjipto Rahardjo sebagai pelembagaan dari konflik
yang terdapat di dalam masyarakat. Artinya, kaidah hukum yang merupakan
pembagian kembali dari kebiasaan-kebiasaan menurut Paul Bohannan dapat
dipandang sebagai mekanisme untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi dalam
kehidupan sosial masyarakat. Akan tetapi, Ahmad Ali menilai bahwa konsep yang
dikemukakan memiliki kelemahan. Memang diakui untuk sebagian kaidah-kaidah
hukum berasal dari kaidah-kaidah non hukum namun juga ada kaidah-kaidah hukum
tidak dikenal dalam kaidah-kaidah non hukum yang ada sebelumnya.
Panduan ini menggambarkan bahwa tidak semua kaidah hukum itu
berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat atau non hukum. Itulah yang sering
disebut “hukum dari atas” yang berasal dari atas atau pemerintah yang umumnya
tanpa menghitung apakah sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Begitu banyak kaidah hukum seperti itu, yang tidak
lagi berasal dari aspek non hukum yang memuat kaidah tersebut tertolak secara
sosiologis sehingga tidak memiliki efektivitas dalam pemberlakuannya.
Kaidah hukum dikaji dari sifatnya dibedakan atas kaidah hukum yang
bersifat imperatif dan kaidah hukum yang bersifat fakultatif. Dikatakan
bersifat imperatif, karena sifatnya mengikat dan memaksa yang harus ditaati,
sehingga mengikat bagi setiap orang yang ditetapkan dalam kaidah hukum yang dimaksud.
Contoh kaidah hukum yang bersifat imperatif terdapat dalam lapangan hukum
publik, seperti hukum pidana dan hukum tata negara. Kaidah hukum yang bersifat
fakultatif adalah kaidah hukum yang sifatnya tidak serta merta harus ditaati
karena sifatnya hanya merupakan pelengkap. Contoh kaidah hukum yang bersifat
fakultatif terdapat pada ketentuan hukum waris yang diatur di dalam KUH Perdata.
Isi kaidah hukum dibedakan atas tiga jenis. Pertama, kaidah
hukum yang berisi perintah (gebod) yaitu kaidah hukum yang berisi perintah harus ditaati, misalnya perintah
bagi kedua orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan
sebaik-baiknya (Pasal 45 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan). Kedua, kaidah hukum yang berisi larangan (verbod) yaitu kaidah hukum yang memuat larangan untuk melakukan
sesuatu dengan ancaman sanksi apabila melanggarnya seperti larangan mencuri di
dalam Pasal 362 KUH Pidana. Ketiga, kaidah hukum yang isinya membolehkan (mogen), yaitu kaidah hukum yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan tetapi
boleh pula tidak dilakukan. Misalnya, suami istri yang akan
menikah dapat mengadakan perjanjian tertulis baik sebelum maupun setelah pernikahan
asalkan tidak melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Sikap warga masyarakat terhadap kaidah hukum juga dapat
berbeda-beda, misalnya terhadap hukum publik kemungkinan sikap warga masyarakat
menaatinya, melanggarnya bahkan ada yang mengelaknya. Begitu pula
pada kaidah hukum privat, ada kemungkinan yang betul-betul menggunakannya, ada
yang tidak menggunakan tetapi mungkin juga dia yang menyalahgunakan.
Roscoe Pound dalam bukunya Law and Society menanggapi sikap
warga masyarakat terhadap kaidah hukum sebagai berikut.
“Tidaklah cukup
hanya membandingkan antara teks undang-undang yang satu dengan yang lainnya,
juga tidaklah cukup hanya dengan memperhatikan keadilan abstrak dari isi
perundang-undangan itu. Hal yang jauh lebih penting adalah
mempelajari bagaimana hukum itu bekerja di dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruh
yang ditimbulkannya di dalam pelaksanaannya.”
Terkesan Roscoe Pound tidak
mempersoalkan bagaimana sikap warga masyarakat terhadap kaidah hukum dengan
cara membandingkan teks undang-undang yang satu dengan yang lain, karena
yang lebih penting adalah pelaksanaannya. Akan
tetapi, hukum sebagai ilmu khususnya sosiologi hukum, perlu
mengkaji masyarakat agar diketahui mengapa warga masyarakat tidak menaati hukum
atau mengelak dari aturan hukum dan sebagainya. Hal
ini bukan hanya berguna bagi pelaksanaan hukum tetapi juga bagi pembuat
undang-undang agar pembentukan suatu peraturan perundang-undangan memperhatikan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan pelaksanaan hukum dapat pula
mengantisipasinya.
Referensi
Mas, Marwan. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan 2. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sani, Abdul. 2012. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 1991. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Cetakan ke-6. Jakarta: Rajawali.
________________. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Edisi Baru.
________________. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan 23. Edisi 1.
Syarbaini, Syahrial dan Fatkhuri. 2016. Teori Sosiologi Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Baca juga: Implikasi Akhlak Baik dan Buruk dalam Kehidupan