Aliran dan Madzhab dalam Sosiologi Hukum

 

Sosiologi Hukum

Aliran dan Madzhab dalam Sosiologi Hukum

Pendahuluan

Pada hakikanya dalam berbagai disiplin ilmu yang ada sudah barang tentu terdapat pendekatan yang dipakai guna mencapai tujuan dari disiplin ilmu tersebut. Pendekatan dipergunakan untuk mempermudah mengonstruksi struktur pemahaman, dengan memperhatikan ruang lingkup serta objek yang ingin dipahami. Aliran Sosiologis dalam ilmu hukum – yang karena berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound yang dalam bahasa asalnya disebut The Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an.

Aliran dalam ilmu hukum ini disebut sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum yang mengatakan bahwa “sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperatif-imperatif logika, namun the life of law has not been logic, it is experience”. Adapun yang dimaksudkan dengan experience oleh Holmes di sini tak lain adalah the social atau mungkin pula the socio-psychological experience.

Maka dapatlah dimengerti mengapa dalam sociological jurisprudence ini sekalipun fokus kajian tetap dalam persoalan kaidah positif (berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normatif hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik profesional) faktor-faktor sosiologis lalu secara realistis (dan tak selalu harus secara normatif-positvistik) mesti senantiasa ikut diperhatikan di dalam setiap kajian.

 

Baca juga: Kesadaran Hukum Masyarakat, Penerapan Hukum, dan Efektifitas Hukum

 

Mazhab Aliran Sosilogi Hukum

Sekalipun kehadiran sosiologi hukum sangat menjanjikan untuk menghadapi masalah hukum dan sosial memasuki abad kedua puluh, namun sosiologi hukum merupakan disiplin yang masih muda. Biasanya tingkat kematangan suatu ilmu ditandai oleh tingginya sumbangan teori. Alasannya karena teori melampaui pengamatan dan pengumpulan bahan sehingga memang pantas untuk dijadikan ukuran kematangan suatu disiplin ilmu.

Kita dapat membedakan beberapa aliran dalam sosiologi hukum. Aliran tersebut muncul karena paradigma yang digunakan. Maka kendatipun pada dasarnya sama-sama berbagi pendekatan dan metode yang dipakai, yaitu optik sosiologis, tetapi aliran yang satu melakukan studi secara berbeda daripada yang lain. Terdapat dua aliran yang mengembangkan sosiologi hukum yaitu :

 

1. Aliran Positif

Aliran positif hanya membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau sedikitpun memasukkan ke dalam kajiannya hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud dan sebagainya. Pada tahun 1972, Black menulis artikel “The Boundaries of Legal Sociology”. Tulisan tersebut menelaah apa yang sampai saat itu dilakukan dalam bidang sosiologi hukum di Amerika dan sekaligus menyatakan bagaimana hendaknya studi dalam bidang tersebut dilakukan. Artikel tersebut dapat dicatat sebagai pengumuman kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain.

Black mengatakan perihal terjadinya kekaburan antara ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum. Kendati para ahli sosiologi hukum saling mengritik satu sama lain dalam penggunaan standar ilmu dan ketepatan metodologi serta validitas teori, tetapi menurut Black, itu semua dilakukan dalam kerangka mendiskusikan atau meneliti masalah-masalah kebijaksanaan (policy implications). Cara kerja seperti tersebut di atas sama sekali ditolak oleh Black, oleh karena telah memasukkan dan melibatkan (imparting) aspek-aspek yang bersifat kejiwaan, seperti “emotion”, “indignation” dan “personal involvement”. Seorang ahli sosiologi hukum tidak pantas berbicara mengenai sosiologi hukum sebagai seorang borjuis, liberalis, pluralis atau melioris. Hal yang penting bukan pemihakkan terhadap semua “isme” tersebut, melainkan berkonsentrasi kepada apa yang disebut Black sebagai “style of discourse”.

Salah satu sasaran kritik Black terhadap wacana tematis dalam sosiologi hukum di Amerika pada waktu itu adalah keefektifan hukum. Dalam wacana tersebut sesuatu perumusan masalah yang umum dilakukan dengan membandingkan realitas hukum dengan suatu ideal hukum tertentu. Suatu kesenjangan khas telah terjadi antara hukum dalam teori dan hukum dalam bekerjanya. Keadaan tersebut di atas dapat dinilai bukan sebagai kerja sosiologi hukum yang seharusnya. Disiplin tersebut mesti membedakan antara ranah ilmu dan nilai-nilai. Suatu titik rawan dalam sosiologi hukum adalah pada waktu ia harus menegaskan secara jernih, bahwa hukum muncul dari fakta-fakta yang teramati dan bukan dalam konsep peraturan atau kaedah sebagaimana lazim terjadi pada ilmu hukum (jurisprudence).

Menurut Black, dalam ilmu hukum atau penggunaannya sehari-hari, hukum dilihat  sebagai keharusan-keharusan yang mengikat. Sosiologi hukum harus membebaskan dirinya dari pemahaman seperti itu dan hanya melihat fakta, seperti putusan hakim, polisi, jaksa dan pejabat administratif. Hanya fakta-fakta inilah yang menjadi urusan sosiologi hukum dan bukan bagaimana seharusnya suatu perilaku itu dijalankan menurut hukum. Suatu pendekatan sosiologi hukum yang murni terhadap hukum tidak melibatkan suatu penilaian terhadap kebijaksanaan hukum, melainkan pada analisis ilmiah kehidupan hukum sebagai suatu sistem perilaku (behavior). Menurutnya, sosiologi hukum hanya berurusan dengan fakta yang dapat diamati (observable fact). Sosiologi hukum tidak memikiran tentang adanya tujuan hukum, maksud hukum dan nilai hukum. Baginya, hukum adalah apa yang kita lihat dan terjadi dalam masyarakat. Sosiologi hukum bertolak dari amatan yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga hukum menurut aliran sosiologi positif merupakan variabel kuantitatif.

 

2. Aliran Normatif

Aliran normatif pada dasarnya menyatakan bahwa hukum itu bukan hanya fakta yang teramati, tetapi juga suatu institusi nilai. Hukum mengandung nilai-nilai dan hukum bekerja untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam masyarakat. Maka menjadi hilanglah dasar atau landasan yang hakiki bagi kehadiran hukum dalam masyarakat, apabila hukum itu tidak dapat dilihat sebagai institusi yang demikian itu.

Philip Selznick, Jeromi Skolnick, Philippe Nonet dan Charlin adalah tokoh-tokoh yang mengembangkan apa yang akan disebut sebagai “The Berkeley Perspective”. Menurut mereka, sosiologi hukum hendaknya mempelajari landasan sosial (social foundations) yang ada dalam ideal legalitas. Dengan demikian, sikap yang diambil oleh aliran ini berbeda dengan aliran positif yang berpendapat bahwa penilaian (value judgement) tidak dapat ditemukan dalam dunia empirik. Berbeda dengan itu, program Berkeley justru menekankan agar sosiologi hukum memikirkan tentang ide-ide hukum (legal ideas) dengan bersungguh-sungguh.

Menurut aliran normatif, hukum bukan merupakan fakta yang teramati tetapi merupakan suatu institusi nilai. Hukum mengandung nilai-nilai dan bekerja untuk mengekspresikan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Menurut aliran ini, sosiologi hukum bersifat derivatif, karena itu tidak dapat dipisahkan dari institusi primer seperti politik dan ekonomi.

Aliran normatif berpendapat bahwa kajian sosiologis memperkaya pemahaman kita terhadap kondisi dan biaya dalam usaha mencapai berbagai aspirasi manusia seperti demokrasi, keadilan, efisiensi, dan keakraban (intimacy). Di sini sosiologi datang memperkaya pemahaman dengan memperluas cakrawala pengetahuan kita, yaitu memberikan pemaparan mengenai struktur sosiologis dari demokrasi, keadilan dan sebagainya. Maka sosiologi hukum yang dilepaskan dari normatifitas hukum hanya akan menimbulkan ketidaktahuan (ignorancy) mengenai hakikat hukum. Sosiologi hukum yang hanya berhenti sebatas pengamatan dari luar sebagaimana dipujikan oleh Black akan menghasilkan orang-orang yang buta huruf (to graduate illiterates).

Menurut Nonet, keterlibatan antara ilmu hukum dan sosiologi begitu dalam, sehingga apabila sosiologi mengabaikan aspek normatif dari hukum, maka itu dapat disamakan dengan falsafah hukum buta terhadap analisis ide-ide normatif. Tugas sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan Nonet hanya akan terwujud apabila bersedia kembali kepada tugas intelektualnya yang sudah tertanam secara historis. Tugas tersebut adalah pendalaman dan pencerdasan pemikiran normatif serta perluasan dan pengayaan ilmu hukum yang tidak boleh berhenti hanya sebagai suatu institusi yang spesialistis.

 

Hasil Pemikiran Filsafat dan Ilmu Hukum

Ada berbagai faktor yang menyebabkan para ahli hukum kemudian menerjunkan diri dalam bidang filsafat hukum. Pertama-tama dapat dikemukakan satu sebab, yaitu timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan keadilan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku. Lagi pula timbul pendapat-pendapat yang berisikan ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku, oleh karena hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat yang diaturnya.

Ketidakpuasan tersebut dapat dikembalikan pada beberapa faktor, antara lain ketegangan-ketegangan yang timbul antara kepercayaan (khususnya agama) dan hukum yang sedang berlaku. Hal ini disebabkan karena tidak jarang peraturan-peraturan kepercayaan atau agama yang dianut tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, atau sebaliknya. Dengan demikian, maka timbul usaha-usaha untuk mengatasi kepincangan yang ada dengan jalan mencari pengertian-pengertian tentang dasar-dasar hukum yang berlaku untuk disesuaikan dengan dasar-dasar agama.

Di samping gejala tersebut, timbul pula ketegangan antara hukum yang berlaku dengan filsafat, yang disebabkan karena perbedaan antara dasar-dasar hukum yang berlaku, dengan pemikiran orang di bidang filsafat. Kesangsian akan kebenaran serta keadilan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku timbul pula, terlepas dari sistem suatu agama maupun filsafat. Kesangsian terutama ditujukan terhadap nilai peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Artinya adalah isi dari peraturan-peraturan yang berlaku tidak dianggap adil dan dianggap pula sebagai yang tak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menilai perilaku orang.

Dalam hal ini terdapat suatu ketegangan antara peraturan-peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dengan pendirian mengenai isi peraturan-peraturan tersebut. Lagi pula perlu dicatat, bahwa setiap pemikiran sistematis terhadap disiplin hukum senantiasa berhubungan dengan filsafat politik. Dengan demikian, maka filsafat hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil pemikiran para ahli filsafat hukum tersebut terhimpun dalam berbagai mazhab atau aliran.

 

Baca juga: Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Fungsi Hukum

 

Macam-macam Aliran Mazhab yang Memengaruhi Sosiologi Hukum

1. Mazhab Formalistis

Beberapa ahli filsafat hukum menekankan betapa pentingnya hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral (yaitu etika dalam arti sempit) yang berlaku umum. Ahli filsafat hukum yang biasanya disebut kaum positivis, sebaliknya berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah serta harus dipisahkan. Salah satu cabang dari aliran tersebut adalah mazhab formalistis yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence.

Salah seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah ahli filsafat hukum dari Inggris John Austin (1790-1859). Austin terkenal dengan pahamnya yang menyatakan, bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan.

Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup, dan oleh karena itu, ajarannya dinamakan analytical jurisprudence. Inti dari pada formalisme dalam ajaran Austin, terletak pada “treating law as an isolated block of concepts that it have no relevant characteristics of functions a part from their possible validity or invalidity within a hypothetical system”. Austin menganggap bahwa hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik dan buruk.

 Jadi, hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan (dalam arti kesebandingan) dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk, melainkan didasarkan pada kekuasaan dari penguasa. Menurut Austin, hukum dibagi dalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang disusun oleh umat manusia. Hukum yang dibuat oleh umat manusia dapat dibedakan dalam hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum yang tepat untuk disebut hukum. Jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif.

Hukum yang sesungguhnya terdiri dari: hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Sedangkan hukum dalam arti tidak sebenar-benarnya adalah hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang.

Austin beranggapan bahwa hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum merupakan hasil dari perintah-perintah yang artinya bahwa ada satu pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan dan penderitaan tersebut merupakan sanksi. Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembebanan kewajiban kepada pihak lain apabila yang memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Ajaran-ajaran Austin tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar bidang hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang mempengaruhi warga masyarakat, akan tetapi hal itu secara yuridis tidak penting bagi hukum.

Kelemahan-kelemahan ajaran analytical jurisprudence tersebut di atas adalah antara lain bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup secara mutlak akan menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru (yang kemudian menghasilkan kepentingankepentingan baru). Lagi pula suatu sistem hukum tak akan mungkin hidup lama apabila tidak mendapat dukungan sosial yang luas.

Tokoh lain dari mazhab formalistis adalah Hans Kelsen (1881) yang terkenal dengan teori murni tentang hukum (pure theory of law). Hans Kelsen menganggap suatu sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggaan dari kaidah-kaidah di mana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggaan tadi dinamakannya sebagai kaidah dasar atau ground norm.

Jadi, menurut Kelsen setiap sistem hukum merupakan stufenbau (piramida) daripada kaidah-kaidah. Di puncak stufenbau tersebut terdapatlah ground norm yang merupakan kaidah dasar daripada ketertiban tata hukum nasional. Kaidah dasar tersebut menurut Kelsen merupakan dasar dari segenap penilaian yang bersifat yuridis yang dimungkinkan di dalam suatu tertib hukum dari negara-negara tertentu. Jadi, perumusan kaidah dasar dari suatu negara dapat berbeda dari negara lainnya, karena itu tergantung dari sifat negara masing-masing. Sahnya suatu kaidah hukum dapat dikembalikan pada kaidah-kaidah hukum yang lebih tinggi dan akhirnya pada kaidah dasar.

Penamaan teori murni tentang hukum murni mempunyai makna tersendiri, karena penamaan tersebut menunjukkan maksud utama dari Kelsen untuk menyatakan, bahwa hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Kelsen bermaksud untuk menunjukkan bagaimana hukum itu sebenamya tanpa memberikan penilaian apakah hukum tadi cukup adil atau kurang adil. Teorinya bertujuan untuk menunjukkan apakah hukum positif dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar. Kelemahan utama dari teori Kelsen tersebut terletak pada kaidah dasar.

 Kelsen menganggap persoalan tadi tidak penting karena pertanyaan tadi bersifat meta yuridis. Secara apriori dia menganggap bahwa kaidah dasar adalah sah. Pengaruh dari mazhab formalitas terlihat pada sikap beberapa ahli-ahli teori hukum yang berorientasi pada sosiologi dan sosiolog-sosiolog yang menaruh perhatian pada hukum. Mereka berpegang teguh pada pemisahan antara hukum dengan moral atau berpegang pada batas yang memisahkan apa yang ada dewasa ini dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Selain itu, tampak pula adanya usaha untuk mengidentifikasikan hukum dan membedakannya dengan kebiasaan, terutama dengan menekankan pada kekuasaan negara yang dapat memaksakan berlakunya hukum.

Di samping itu, formalisme berpengaruh pula terhadap pemikiran dan tingkah laku hukum, dan bahkan terhadap penentuan bidang-bidang penelitian oleh sarjana-sarjana ilmu sosial, terutama di Amerika Serikat. Tindakan-tindakan hukum dari para hakim mempunyai kecenderungan untuk mengarah ke usaha-usaha untuk mempertahankan pola-pola yang tetap dalam sistem hukum. Pendidikan hukum di Amerika Serikat selama bertahun-tahun sangat memperhatikan usaha-usaha untuk menemukan prinsip-prinsip hukum dalam keputusan-keputusan pengadilan, dengan tekanan pada sistem preseden dan dengan analisis-analisis formal tentang garis-garis perkembangan doktrin. Para sarjana ilmu sosial yang ingin menentukan bagaimana suatu keputusan pengadilan bekerja, bagaimanapun juga harus memperhitungkan, bahwa para hakim mungkin terikat oleh analisis-analisis formal mengenai konsep-konsep dan masalah-masalah hukum.

 

2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan

Mazhab sejarah dan kebudayaan, mempunyai pendirian yang sangat berlawanan dengan mazhab formalistis. Mazhab ini justru menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul. Seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah Friedrich Karl Von Savigny (1779-1861) yang dianggap sebagai pemuka ilmu sejarah hukum. Von Savigny berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (volfsgeist). Dia berpendapat, bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan, bukan berasal dari pembentuk undang-undang. Von Savigny seorang Jerman, waktu itu ia menentang kondisi hukum Jerman. Keputusan-keputusan badan legislatif dapat membahayakan masyarakat karena tidak selalu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.

Kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, kepatuhan, atau ketaatan kepada hukum. Dengan demikian kesadaran hukum itu sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Penekannan aliran ini adalah nilai-nilai masyarakat yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Jadi nilai-nilai itu merupakan konsepsi mengenai hal yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Dengan perkataan lain, hukum adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara keterkaitan dengan ketentraman yang dikehendaki dengan melihat indikator-indikator tertentu. Indikator-indikator ini dapat dijadikan ukuran atau patokan dalam menyususn atau pembentukan hukum baru yang hendak dilakukan.

Indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Buktinya adalah bahwa yang bersangkutan patuh dan taat pada hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan dapat dilihat dari derajat kepatuhan yang terwujud di dalam pola perilaku manusia yang nyata. Von Savigny selanjutnya mengemukakan, betapa pentingnya untuk meneliti hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilai-nilainya.

Pendapat tersebut dewasa ini hampir selalu menjadi pegangan bagi para sosiolog dalam arti, bahwa suatu sistem hukum sebenarnya merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas dan antara sistem hukum dengan aspek-aspek sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal-balik yang saling pengaruh-mempengaruhi. Hal lain yang menjadi salah satu pokok ajaran Von Savigny yang menekankan pada aspek dinamis dari hukum yang didasarkan pada sejarah hukum tersebut.

Kelemahan pokok dari teori Von Savigny terletak pada konsepnya mengenai kesadaran hukum yang sangat abstrak. Walaupun mengandung beberapa kelemahan, namun teori Von Savigny dapat dianggap sebagai langkah utama ke arah pengembangan konsep-konsep sosial mengenai sistem hukum.

Seorang tokoh lain dari mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888) yang terkenal sebagai penulis buku Ancient Law. Teorinya yang terkenal adalah perihal perkembangan hukum dari status kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang modern dan kompleks. Menurut Maine, hubungan-hubungan hukum yang didasarkan pada status warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat modern dan kompleks. Pada masyarakat-masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan hukum didasarkan pada sistem hak dan kewajiban berdasarkan kontrak yang secara sukarela dibuat dan dilakukan oleh para pihak.

Pembedaan antara masyarakat-masyarakat sederhana dengan yang modern dan kompleks adalah sejalan dengan pembedaan yang dilakukan oleh para sosiolog atas masyarakat-masyarakat sederhana yang secara relatif bersifat statis dan homogen, dengan masyarakat-masyarakat yang kompleks, dinamis, dan heterogen. Kiranya telah jelas, betapa pentingnya hasil-hasil pemikiran tokoh-tokoh mazhab sejarah dan kebudayaan tersebut bagi perkembangan sosiologi hukum. Hal ini pun diakui oleh tokoh-tokoh teori sosiologi seperti Emile Durkheim dan Max Weber yang menyadari betapa pentingnya aspek-aspek kebudayaan dan sejarah untuk memahami gejala hukum dalam masyarakat.

 

3. Aliran Utilitarianisme

Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebenar-benarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian dengan undang-undang, baik buruknya ditentukan pula oleh hukum tersebut. Jadi undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual. Aliran utilitarianisme menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.

Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya. Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang terbesar untuk banyak orang). Menurutnya, adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.

Bentham banyak mengembangkan pikirannya untuk bidang pidana dan hukuman terhadap tindak pidana. Menurut dia, setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Ajaran ini didasarkan pada hedonistic utilitarianism. Bentham mengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual. Kelemahan dari teori Bentham terletak pada kenyataan bahwa tidak setiap manusia mempunyai ukuran yang sama mengenai keadilan, kebahagiaan, dan penderitaan.

Tokoh lain dari aliran ini adalah Rudolph von Jhering (1818- 1892) yang ajarannya biasa disebut sebagai social utilitarianism. Von Jhering menganggap bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Dia menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Bagi Jhering, hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. Ajaran-ajaran Jhering banyak mempengaruhi jalan pikiran para sarjana sosiologi hukum Amerika, antara lain Roscoe Pound.

 

4. Aliran Sociological Jurisprudence

Seorang ahli hukum dari Austria yaitu Eugen Ehrlich (1826- 1922) dianggap sebagai pelopor dari aliran sociological juriprudence, berdasarkan hasil karyanya yang berjudul Fundamental Principles of the Sociolologi of Law. Ajaran Ehrlich berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law), atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.

Dia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebagai pola-pola kebudayaan (culture patterns). Ehrlich mengatakan, bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif, ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.

Kelebihan dari analisa Ehrlich terletak pada usahanya untuk mengarahkan perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem sosial, di mana akan dapat ditemukan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan hukum. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan untuk lebih memahami hukum dalam konteks sosial. Akan tetapi, kekurangannya adalah kesulitan untuk menentukan ukuran-ukuran apakah yang dapat dipakai untuk menentukan suatu kaidah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup (dan dianggap adil).

Ajaran-ajaran aliran sociological jurisprudence berkembang dan menjadi populer di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-1964). Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum tertulis (law in the books).

Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum adjektif. Ajarannya tersebut menonjolkan masalah, apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Ajarannya tersebut dapat diperluas lagi sehingga mencakup masalah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata. Kiranya sudah jelas betapa tekanan pada kenyataan hukum merupakan suatu objek yang sangat penting bagi para sosiolog yang menaruh perhatian pada gejala-gejala hukum sebagai gejala sosial.

Dalam hal ini, baik sociological jurisprudence dan sosiologi hukum mempunyai pokok perhatian yang sama. Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu pengendalian sosial (social control), bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan. Kecuali, dia berusaha untuk menyusun suatu kerangka dari nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan hukum di dalam menghadapi pertentangan kepentingan-kepentingan.

Pound juga menekankan betapa pentingnya penelitian dan perlunya dipakai alat pembuktian-pembuktian yang berasal dari ilmu-ilmu sosial di dalam proses pengadilan. Aliran sociological jurisprudence telah meninggalkan pengaruh yang mendalam, terutama pada pemikiran hukum di Amerika Serikat. Walaupun aliran tersebut belum sepenuhnya dapat dinamakan sosiologi hukum, karena usahanya untuk menetapkan kerangka normatif bagi ketertiban hukum belum tercapai, akan tetapi aliran tersebut memperkenalkan teori-teori dan metode-metode sosiologi pada ilmu hukum.

 

5. Aliran Realisme Hukum

Aliran Realisme Hukum diprakarsai oleh Karl Llewellyn (1893-1962), Jerome Frank (1889-1957), dan Justice Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ketiga-tiganya orang Amerika. Mereka terkenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, akan tetapi membentuk hukum.

Menurut Jerome Frank, seorang modern tidak mau ditipu lagi oleh ilusi-ilusi. Manusia sekarang tahu bahwa hukum sebenarnya hanya terdiri dari putusan-putusan pengadilan, dan bahwa putusan-putusan itu tergantung dari banyak faktor. Disetujuinya bahwa kaidah-kaidah hukum yang berlaku mempengaruhi putusan seorang hakim, akan tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan.

Di samping itu prasangka politik, ekonomi, dan moral ikut menentukan putusan para hakim. Bahkan juga simpati dan antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut. Senada dengan apa yang dikemukakan Frank, Holmes mengatakan bahwa kelakuan para hakim pertama-tama ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum. Berdasarkan tafsiran lazim kaidah-kaidah hukum itu dapat diramalkan, bagaimana kelakuan para hakim di kemudian hari. Di samping kaidah-kaidah hukum bersama tafsirannya, moral hidup pribadi dan kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim. Seorang hakim harus selalu memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dan pihak-pihak mana yang akan menang.

Keputusan-keputusan hakim seringkali mendahului penggunaan prinsip-prinsip hukum formal. Keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Suatu keputusan pengadilan biasanya dibuat atas dasar konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan yang dirasionalisasikan di dalam suatu pendapat tertulis. Ahli-ahli pemikir dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keadilan, walaupun mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil.

Dalam ilmu hukum berbicara tentang pelaksanaan keadilan (administration of justice) yang berarti mengatur hubungan-hubungan dan menertibkan kelakuan manusia melalui pengadilan-pengadilan dari masyarakat yang berorganisasi politik. Sedangkan sekarang oleh penulis-penulis tentang filsafat hukum keadilan itu diartikan sebagai hubungan yang ideal antara manusia. Pokok-pokok pikiran dari aliran ini banyak dikemukakan oleh Justice Holmes dalam hasil karyanya yang berjudul The Path of the Law. Di dalam buku tersebut, Holmes antara lain menyatakan, bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.

Karl Llewellyn mengembangkan teori tentang hubungan antara peraturan-peraturan hukum dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam teorinya itu, Llewellyn menekankan pada fungsi hukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta dan rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan. Aliran realisme hukum dengan buah pikirannya mengembangkan pokok-pokok pikiran yang sangat berguna bagi penelitian-penelitian yang bersifat interdisipliner, terutama dalam penelitian-penelitian yang memerlukan kerja sama antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial.

 



Referensi

Basrun, M. Chairul. 2016. Sosiologi Hukum. Maluku: Fam Publishing.

Laksana, I Gusti Ngurah Dharma dkk. 2017. Sosiologi Hukum. Denpasar: Pustaka Ekspresi.

Soekanto, Soerjono. 2003. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

 

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post