Tokoh-Tokoh Sosiologi Hukum
Pendahuluan
Sosiologi hukum
merupakan hasil perpaduan antara sosiologi dan ilmu hukum jika dikaji secara
mendalam. Hasil tersebut tidak hanya murni dari dua topangan ilmu itu saja,
tetapi juga dilandasi filsafat hukum seperti aspek sejarah yang terdapat dalam
pembelajaran filsafat hukum. Pada dasarnya sosiologi hukum merupakan bidang
ilmu yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu sosiologi
hukum merupakan jembatan untuk menjelaskan pada ilmu hukum bahwa persoalan
hukum bukanlah persoalan yang berhenti
hanya dengan diaturnya sesuatu objek.
Pengertian Sosiologi Hukum
Sosilogi hukum ( Rechtsociologie/rechtssoziologie)
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berusaha memahami, mempelajari, dan menjelaskan
secara analistis-empiris tentang persoalan hukum di hadapkan dengan
fenomena-fenomena lain di masyarakat. Hubungan timbal balik anatara hukum
dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam mempelajarai sosiolofi hukum.
Baca juga: Aliran
dan Madzhab dalam Sosiologi Hukum
Tokoh-tokoh Soisologi Hukum
Para pemikir sosiologi hukum merupakan sosiolog yang berminat mempelajari
hukum. Mereka banyak menyajikan pendapat tentang hukum baik itu hukum dalam
pengertian yang otonom maupun hukum dalam hubungannya dengan bidang lain di
luar hukum. Pemikiran para tokoh ini mengakibatkan timbulnya bermacam-macam
konsepsi dan teori yang dikembangkan atas dasar berbagai perspektif, yaitu
suatu kerangka konsepsi dasar, paradigma, atau model. Model tersebut sangat
tergantung pada latar belakang atau fokus perhatian dari para tokoh tersebut. Berikut beberapa tokoh yang dikenal dalam sosiologi hukum.
1. Karl Marx
(1818-1883)
Menurut Mark, hukum dan kekuasaan politik itu merupakan sarana kapitalis
yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kegunaan harta kekayaan
sebagai sarana produksi dan sarana ekploitasi. Menurut Marx hukum bukan saja
berlaku sebagai fungsi politik saja, melainkan sebagai fungsi ekonomi. Pokok pemikiran Marx dalam sosiologi hukum adalah sebagai berikut:
1) Hukum adalah alat yang menyebabkan timbulnya konflik
dan perpecahan. Hukum tidak berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi
kelompok-kelompok yang dominan.
2) Hukum bukan merupakan alat integrasi tetapi merupakan
pendukung ketidaksamaan dan ketidakseimbangan yang dapat membentuk perpecahan
kelas.
3) Hukum dan kekuasaan merupakan sarana dari kaum
kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kekuasaan.
4) Hukum bukanlah model idealis dari moral masyarakat
atau setidak-tidaknya masyarakat bukanlah manisfestasi normatif dari apa yang
telah dihukumkan.
Pada saat mengemukakan pendapatnya tentang pencurian kayu pada tahun 1842, Marx
mengatakan bahwa hukum adalah tatanan peraturan yang memenuhi kepentingan kelas
orang yang punya dalam masyarakat. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonis. Dalam
pandangannya watak dasar seperti ini ditentukan oleh hubungan konflik antar
kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat
didamaikan karena perbedaan kedudukan mereka dalam tatanan ekonomi.
2. Emile Durkheim (1858-1917)
Ia adalah seorang ahli sosiologi yang sejak semula mempunyai perhatian yang
sangat tinggi terhadap hukum. Sebagai seorang sosiolog, ia amat terikat pada
penggunaan metodologi empiris. Dalam mengungkap idenya tentang hukum, Durkheim
bertolak dari penemuan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan metode empirisnya,
ia melihat jenis-jenis hukum dengan tipe solidaritas dalam masyarakat. Ia
membuat perbedaan antara hukum yang menindak dengan hukum yang mengganti, atau Repressive
dengan Restitutive. Menurut Durkheim, hukum dirumuskan sebagai suatu
kaidah yang bersanksi. Berat ringannya suatu sanksi tergantung kepada suatu
pelanggaran dan anggapan masyarakat sendiri tentang sanksi tersebut. Durkheim
mengajukan tipologi yang membedakan secara dikotomis dua tipe solidaritas yaitu
mekanis dan organis. Masyarakat berkembang dari tipe mekanis ke tipe organis.
Adapun rinciannya sebagai berikut:
1) Hukum dan Solidaritas Mekanis
Dikatakan oleh Dukheim,
ketika masyarakat masih berada pada tahap diferensiasi segmental,
masyarakat tampak sebagai himpunan sekian banyak satuan pilihan, yang
masing-masing berformat kecil dan antara satu dengan yang lain seragam. Dalam solidaritas ini, seorang warga masyarakat
secara langsung terikat kepada masyarakat. Hal ini dapat terjadi dengan
indikasi cita-cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara
kolektif lebih kuat serta lebih insentif daripada cita-cita masing-masing warga secara
individual.
2) Hukum dan Solidaritas Organis
Hukum yang menidak mencerminkan masyarakat yang
bersifat kolektif, sedangkan hukum yang mengganti merupakan cerminan masyarakat
yang telah terdiferensiasi dan terspesialisasi ke dalam fungsi-fungsi. Keadaan ini menciptakan perbedaan-perbedaan dalam
pengalaman dan pandangan. Tipe inilah yang dinamakan oleh Durkheim dengan tipe
solidaritas organis. Dalam masyarakat yang berkembang secara modern, heterogen
dan penuh dengan diferensiasi, solidaritas organik dapat mengatasi solidaritas
mekanis. Hukum represif tak lagi berfungsi secara dominan. Hukum represif akan
digantikan oleh hukum restitutif, yang lebih menekankan arti pentingnya
restitusi atau pemulihan serta kompensasi untuk menjaga kelestarian masyarakat.
Hukum ini konkretnya
adalah tampak dalam hukum pidana. Hukum seperti ini menurut Durkheim, berfungsi
untuk menanggulangi apa yang disebut dengan nurani kolektif.
3. Max Weber (1864-1920)
Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan-aturan
yang dikelompokkan dan dikombinasikan dengan konsensus, menggunakan alat
kekerasan sebagai daya paksaan. Ia
menganggap bahwa hukum adalah kespakatan yang valid dalam suatu kelompok
tertentu. Weber disebut sebagai bapak sosilogi hukum modern, yang menggarap
hukum secara komprehensif dengan metode sosiologis. Usaha Weber untuk
menyingkap ciri yang menonjol dari masyarakat barat, membawanya kepada
rasionalitas sebagai kuncinya.
Tipologinya yang disusun melalui
sumbu formal-subtantif dan sumbu irasional-rasional, yaitu sebagai berikut:
1) Menyangkut perbedaan bagaimana suatu sistem hukum itu
disusun, sehingga merupakan suatu sistem yang mampu menentukan sendiri
peraturan dan prosedur yang dipakai untuk mengambil suatu keputusan.
2) Subtantif, bersifat eksternal, dan merujuk kepada
ukuran di luarnya, terutama kepada nilai-nilai agama, etika serta politik.
Weber berpendapat, hukum memiliki rasionalitasnya yang subtantif ketika
subtansi hukum itu memang terdiri dari aturan-aturan umum in abstracto,
yang siap dideduksikan guna menangani kasus konkret. Ada tiga tipe dalam penyelenggaran pengadilan
menurut Weber yaitu:
1) Tipe perdilan kadi atau peradilan
dengan fungsi perdamaian atas dasar kearifan dan kebijaksanaan sang pengadil;
2) Tipe peradilan empiris; dan
3) Tipe peradilan yang rasional.
Peradilan Kadi, menurut Weber adalah perdilan yang sangat arbitrer dan
karenanya dinilai sebagai pengadilan yang tidak rasional. Keputusan peradilan
ini dipercayakan sepenuhnya kepada sang pengadil, tanpa diperlukan adanya
kontrol oleh sistem lainnya. Tipe empiris adalah tipe pradilan yang lebih
rasional, sekalipun belum sepenuhnya. Dalam peradilan empiris ini, sang hakim
memutuskan perkara-perkara sepenuhnya dengan cara beranalogi. Peradilan ini
dilakukan oleh mereka yang bernaung di bawah filsafat positivisme.
Baca juga: Hubungan
Antropologi dengan Hukum
Referensi
Saefullah.
2013. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: PT Refika Aditama.
Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta:
PT. Grasindo.