Teori-Teori Sosiologi Hukum
Pendahuluan
Fenomena sosial
dalam masyarakat banyak ragamnya. Kadangkala fenomena sosial tersebut berkembang
menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai fenomena
tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sosial tentunya dibutuhkan suatu teori
untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman-pengalaman
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dikarenakan setiap individu mengalami
pengalaman yang berbeda, maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara
satu individu dengan individu lainnya. Sehingga tidak ada teori yang dapat
menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu
dibutuhkan adanya teori sosiologi hukum untuk mengatur fenomena sosial yang
terjadi dalam masyarakat.
Teori sosiologi hukum termasuk dalam kategori
teori hukum empirik. Penjelasan yang diberikan oleh teori tersebut senantiasa
dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, apakah itu
berupa kondisi-kondisi sosial ataupun historis. Teori-teori sosiologi hukum
berangkat dari pengamatan yang mendalam terhadap fakta atau kenyataan yang
dilihat. Teori-teori dalam sosiologi hukum bersifat komprehensif, yaitu
memberikan penjelasan yang lebih luas dan menyeluruh terhadap suatu fakta atau
kenyataan yang terjadi dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang ada. Teori-teori
tersebut dibangun untuk memberikan penjelasan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan, seperti sebab-musabab, asal-usul sosial, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah rangkaian pertanyaan sosiologis yang tidak
dapat dijawab dengan hanya berdasarkan pada dogma-dogma atau doktrin-doktrin
yang dibangun untuk menguatkan aspek legal formal yang ada, yaitu
perundang-undangan.
Definisi Teori
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang
berarti perenungan, yang apabila dikaji lebih jauh lagi berasal dari kata thea
dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau hasil pandang suatu konstruksi di
alam ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam
pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya
pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang
indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya
dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Apapun
sumbernya, teori itu adalah suatu himpunan konstruksi yang dibangun oleh
konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia. Sehingga dapat
dikatakan bahwa teori adalah gambaran atau hasil penggambaran secara reflektif
fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, yang dibangun
dengan bahan-bahan pembangun yang disebut konsep.
Baca juga: Tokoh-Tokoh Sosiologi Hukum
Teori-Teori Sosiologi Hukum
1.
Teori Klasik
Eugen
Ehrlich merupakan seorang professor Austria. Ia termasuk ahli sosiologi hukum
pada era klasik, bersama-sama dengan Durkheim dan Max Weber. Pada tahun 1913,
Ehrlich menulis buku berjudul (diterjemahkan) “Fundamental Principles of
Sociology of Law.” Ia menjadi terkenal dengan konsep “Living Law” yang
pengertian lengkapnya terdapat pada pendahuluan dari buku tersebut, “It is
often said that a book must be written in a manner that permits of summing up
its content in a single sentence. If the present volume were to be subjected to
this test, the sentence nigh be the following: At the present as well as at any
other time, the centre of the gravity of legal development lies no in
legislation, no in juristic perhaps, contains the substance of every attempt to
state the fundamental principles of the sociology of law”.(Raharjo, 2010:
107-108)
Eugen
Ehrlich, meninggal pada tahun 1923 dengan meninggalkan beberapa karya utama seperti
Beitrage Zur Teorie der Rechtsquellen (1902) dan Grundlegung der
Sosiologi des Rechts (1919). Ia dianggap sebagai pembentuk atau pelopor
ilmu hukum sosiologis (sociology jurisprudence).
Teori
Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan lebih memahami hukum dalam konteks
sosial dan meneliti latar belakang aturan formal yang dianggap sebagai hukum.
Aturan tersebut merupakan norma sosial yang aktual yang mengatur semua aspek
kemasyarakatan dan disebut sebagai hukum yang hidup (Living Law), yaitu
hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai lawan dari hukum yang
diterapkan negara. Hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.
Teori Ehrlich berisikan tentang:
1) Membedakan hukum positif dengan hukum yang hidup atau suatu
perbedaan antara kaidah-kaidah sosial.
2) Hukum positif akan efektif apabila selaras dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat, atau apa yang disebut antropolog sebagai pola
kebudayaan (culture patterns).
3) Pusat perkembangan hukum bukan pada legislatif, keputusan
yudikatif ataupun ilmu hukum, tetapi justru terletak pada masyarakat itu
sendiri.
4) Hukum tunduk pada kekuatan sosial, hukum tidak mungkin efektif oleh
karena keterlibatan masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial pada hukum,
bukan penerapannya secara resmi oleh negara.
5) Tertib sosial berdasarkan fakta diterimanya hukum yang
didasarkan pada aturan atau norma sosial yang tercantum dalam sistem hukum.
6) Sebagian kecil segi kehidupan yang diadili oleh pejabat-pejabat
resmi (PN) yang berfungsi menyelesaikan perkara (perselisihan).
7) Mereka yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan
dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
8) Diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai
keputusan-keputusannya jika terjadi sengketa di atas tata tertib masyarakat
yang damai dan spontan. Peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan-keputusan
menyimpulkan adanya sengketa antara kelompok atau individu yang ada pembatasan
kepentingan-kepntingan dan kompetensinya. Agar peraturan ini secara jelas dapat
terbebas dari tata tertib masyarakat yang damai dan spontan maka haruslah
terjadi perbedaan antara individu dan kelompok dan haruslah timbul berbagai
kelompok yang sama nilainya.
9) Bahwa apa yang dinamakan ilmu hukum yang diselenggarakan oleh
para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis dan sementara waktu berkat
sistematisasi khayali tidak mampu memahami apapun, kecuali kulit yang paling
luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam segala tingkat
kedalamannya. Di sini Ehrlich ingin membuktikan bahwa jikalau sosiologi hukum
hanya mengambil sistematisasi ilmu hukum sebagai titik tolak, maka sosiologi
hukum itu tidak akan memahami tujuannya yang sebenarnya, yakni kenyataan hukum
integral yang mentransendenkan semua skema “dalil hukum bersifat abstrak.”
10) Menurut Ehrlich ada suatu hukum yang menguasai masyarakat
sebagai tata tertib perdamaian. Dan hukum ini yang digunakan sebagai dasar
untuk segala peraturan hukum dan karena jauh lebih objektif daripada peraturan
manapun juga, hukum ini merupakan tata tertib langsung dari masyarakat. Jadi
menurut Ehrlich perkembangan suatu hukum tidak mesti dicari dalam
undang-undang, jurisprudensi ataupun dalam doktrin, lebih umum lagi dalam
sistem peraturan-peraturan yang manapun juga tetapi bisa dicari dalam
masyarakat itu sendiri.
11) Menurut Ehrlich, apa yang bersifat kelembagaan dalam hukum atau
spontan adalah berasal dari masyarakat yang berlawanan dengan negara dan
memiliki ciri-ciri integral law yang menguasai
perserikatan-perserikatan. Hukum kontak, hukum kekayaan, dan hukum penguasaan
sepihak hanyalah bentuk-bentuk samaran dari hukum masyarakat serta tata tertib
masyarakat, sedangkan tata tertib objektif dan spontanitas hukum dari
individual tidak ada. (Saifullah. 2007: 47-48)
2.
Teori Makro: Durkheim dan Max Weber
Teori
makro menjelaskan hubungan atau kaitan antara hukum dengan bidang-bidang lain
di luarnya, seperti budaya, politik, dan ekonomi. Dengan memberikan penjelasan
tersebut, teori makro ini memberi tahu kepada kita bahwa tempat hukum adalah
dalam konteks yang luas yaitu hukum tidak dapat dibicarakan terlepas dari
korelasi-korelasi hukum tersebut. Hukum memiliki habitat dan kenyataan ini
tidak ditinggalkan dalam kajian sosiologi hukum.
Karya-karya
Durkheim dan Weber merupakan contoh klasik makro, kedua pemikir tersebut
melihat sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan,
sehingga pengkajian mengenai hukum juga ditempatkan pada kerangka pemahaman
yang demikian itu. (Raharjo. 2010: 108-113)
a. Emile Durkheim
Durkheim
menjelaskan bahwa hukum muncul sebagai institusi yang spesial sebagai bagian
dari proses perubahan dalam masyarakat yang dipolakan sebagai proses
diferensiasi sosial. Proses pembagian kerja dalam masyarakat (division of
travail social) itu pada akhirnya memberi akibat serta cap di bidang hukum,
yang kemudian muncul sebagai institusi yang berdiri sendiri melalui semua sifat
spesial tersebut.
Durkheim
terobsesi oleh keinginan untuk menjelaskan, mengapa manusia hidup
bermasyarakat, sedang pada dasarnya dilahirkan sebagai individu. Teori Durkheim
untuk menjelaskan fenomena tersebut mengajukan konsep solidaritas yang
mendasari pembentukan masyarakat manusia. Setiap tipe masyarakat berkorespondensi
dengan hukum yang digunakan waktu itu. “Manusia hanya dapat disebut sebagai
demikian karena ia hidup dalam masyarakat”. Kehidupan-kehidupan yang kolektif
tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi justru sebaliknya yang kedua
itulah yang dilahirkan dari yang pertama.
Teori
Durkheim mengatakan, hukum yang dipakai oleh masyarakat berpadanan dengan tipe
solidaritas masyarakat. Solidaritas ada dua macam, yaitu:
1) Solidaritas mekanik
Solidaritas
mekanik mensyaratkan ada suatu ikatan yang bersifat mekanis antara para warga
masyarakat. Solidaritas ini menjadi landasan kehidupan bersama. Tanpa ada
ikatan seperti itu kehidupan bersama tidak ada, karena seperti dikatakan di
atas, yang asli adalah individu. Tipe hukum yang sesuai untuk itu adalah yang
bersifat keras, yang tidak membiarkan sama sekali terjadi perilaku menyimpang
anggota masyarakat. Hukum disini bekerja sebagai alat pidana.
2) Solidaritas organik
Solidaritas
organik memberikan kelonggaran terhadap masing-masing anggota masyarakat untuk
menjalin hubungan satu sama lain, tanpa ada campur tangan. Pikiran dasar di
situ mengatakan, kehidupan bersama akan terbina dengan memberikan kebebasan
terhadap para anggota untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan orang lain.
Hukum baru turut campur apabila terjadi ketidakadilan dalam hubungan tersebut.
Sifat pengaturan adalah perdata.
b. Max Weber
Karya
terpenting Max Weber tentang sosiologi hukum tertuang dalam bukunya “Wirtschaft
und Gesellschaft” (1925). Pikiran Weber di bidang sosiologi hukum sampai
sekarang masih sering menjadi acuan. Pikiran tersebut merupakan hal yang
sentral dalam sosiologi Weber.
Sosiologi
hukum Weber dimulai dengan menghadapkan atau mempertentangkan “Orde Ekonomi”
dengan “Orde Hukum”. Perbedaan antara keduanya menjadi landasan bagi Weber
untuk memasuki sosiologi hukum sebagai suatu pembicaraan hukum dalam realitas
tatanan ekonomi. Oleh Weber hukum dikonsepkan secara positivitis, yaitu sebagai
sistem peraturan. Optik yuridis atau dogmatik hukum ini memikirkan tentang
hukum sebagai bangunan peraturan yang memiliki koherensi logis, bebas dari
kontradiksi internal. Yang dilakukan adalah mencari arti yang tepat dari
peraturan yang berisi patokan bagi perilaku tertentu. Ia memeriksa apakah fakta
hukum sudah tepat secara peraturan. Optik yuridis tidak merisaukan validitas
empirik dari peraturan hukum. Ideal dari tatanan hukum seperti itu tidak ada
urusan dan tidak ingin berurusan dengan kenyataan perilaku yang
menjadi landasan tatanan ekonomi.
3.
Teori Empirik
Hukum
adalah sesuatu yang dapat diamati secara eksternal. Dalam posisi seperti itu,
yaitu seorang positivis-empirisis, Black, harus membangun dari bawah dimulai
dengan konsepnya mengenai hukum. Misalnya ia mengatakan, hukum dilihat dari
persfektif kuantitatif menjadi lebih banyak atau lebih sedikit hukum. Lebih
sering orang mengangkat telepon berarti lebih banyak hukum daripada sebaliknya.
Pikiran dan pendekatan tersebut dipraktekkan lebih lanjut pada waktu Black
membangun postulat yang diangkat dari pengamatan empirik.
Pendapat
Black mengenai teori adalah, bahwa teori menjelaskan fakta itu saja yang boleh
menjadi bahan penyusun proposisi. Proposisi menegaskan hubungan antara hukum
dan aspek kemasyarakatan, yaitu stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi,
dan kontrol sosial.
Berikut
ini beberapa proposisi yang dibangun oleh Black berdasarkan pengamatan dan
kuantifikasi data empirik:
1) Hukum akan lebih beraksi apabila seseorang dengan status tinggi
memperkarakan orang lain dari status yang lebih rendah, daripada sebaliknya.
2) Hukum berbeda-beda menurut jarak sosial. Hukum makin berperan
dalam masyarakat dengan tingkat keintiman yang lemah dibanding sebaliknya.
3) Apakah seorang polisi akan melakukan penahanan ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu ras tersangka, berat ringanya kejadian, barang bukti yang
didapat, sikap terhadap polisi dan lain-lain.
4) Jumlah peraturan bagi golongan dengan status tinggi lebih besar
daripada bagi golongan lebih rendah.
Referensi
Anto, Rusdi. 2018. Artikel Teori-Teori Sosiologi Hukum. Researchgate.net
Paul Johnson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.
Jakarta: PT. Gramedia.
Raharjo, Satjipto. 2010. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode
dan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung:
PT. Raja Refika Aditama.
Soetomo. 2008. Hukum Sosiologi: Hukum Pemikiran, Teori, dan
Masalah. Surakarta: UNS PERS.
http://ozhyrosita.blogspot.com/2012/05/sejarah-dan-teoriteori-sosiologi
hukum.html?m=1#!
Baca juga: Hukum dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial