Perkembangan Sosiologi Hukum
Pendahuluan
Sosiologi
hukum memadukan dua istilah yang awalnya digunakan secara terpisah, yakni
sosiologi dan hukum. Secara terminologis yang dimaksudkan dengan hukum di sini
bukan ilmu hukum, melainkan berbagai bentuk kaidah sosial atau norma, etika
berperilaku, peraturan, undang-undang, kebijakan, dan sebagainya yang berfungsi
mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, bertindak untuk dirinya atau
orang lain, dan perilaku atau tingkah polah lainnya yang berhubungan dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan
demikian, sosiologi hukum lebih tepat merupakan kajian ilmu sosial terhadap
hukum yang berlaku di masyarakat dan perilaku serta gejala sosial yang menjadi
penyebab lahirnya hukum di masyarakat. Kehadirannya dapat didahului oleh hukum
dan sebaliknya oleh masyarakat, yang secara substansial gejala sosial menjadi
bagian penting dari gejala hukum di masyarakat, sebagaimana gejala hukum
merupakan gejala sosial. Hubungan timbal balik inilah yang penting untuk
dipelajari secara sosiologis dan filosofis.
Apa Itu Sosiologi Hukum?
Dari sudut sejarah, Sosiologi Hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang berkebangsaan Itali yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat hukum, ilmu hukum, maupun sosiologi. Hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari individu-individu tetapi mungkin juga berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir, yang secara garis besar mempunyai pendapat yang berbeda.
Sosiologi hukum saat ini sedang
berkembang sangat pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif
yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan
tempat), dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan.
Pemikiran sosiologi hukum lebih berfokus
kepada keberlakuan empirik atau faktual dari hukum. Hal ini memperlihatkan
bahwa sosiologi hukum tidak secara langsung diarahkan pada hukum sebagai sistem
konseptual, melainkan pada kenyataan sistem kemasyarakatan, yang di dalamnya
hukum hadir sebagai pemeran utama. Objek utama sosiologi hukum adalah
masyarakat dan pada tingkatan kedua adalah kaidah-kaidah hukum.
Alvin S Johnson mengemukakan bahwa
sosiologi hukum adalah bagian dari sosiologi jiwa manusia, yang menelaah
sepenuhnya realitas sosial hukum, dimulai dari hal-hal yang nyata, seperti
observasi perwujudan lahiriah dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif
(organisasi-organisasi yang baku, adat istiadat sehari-hari dan tradisi-tradisi
atau kebiasaan inovatif) dan juga dalam materi dasarnya (struktur ruang dan kedekatan
lembaga-lembaga hukumnya secara demografis).
Sosiologi hukum menafsirkan kebiasaan-kebiasaan dan perwujudan-perwujudan materi hukum berdasarkan pengertian intinya. Sosiologi hukum memulai dari pola-pola perlambangan hukum, mengorganisasi prosedur-prosedur hukum dan sanksi-sanksinya sampai pada simbol-simbol hukum yang sesuai, seperti kefleksibelan peraturan-peraturan dan kespontanan hukum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi. Sebagai cabang kajian sosiologi, sosiologi hukum banyak memusatkan perhatiannya pada ihwal hukum, sebagaimana terwujud dari pengalaman kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Berbeda dengan kajian-kajian ilmu hukum murni, yang sering disebut dengan Jurisprudence (Inggris) atau Reine Rechtslehre (Jerman), sosiologi hukum tidak hendak membatasi kajian-kajian pada ikhwal kandungan normatif peraturan perundangan berikut sistematikanya dan doktrin-doktrin yang mendasarinya. Sosiologi hukum dapat dikatakan sebagai suatu cabang kajian khusus dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial yang disebut sosiologi. Kalaupun sosiologi hukum juga mempelajari hukum sebagai perangkat kaidah khusus, yang dikaji bukanlah kaidah-kaidah itu sendiri, melainkan kaidah-kaidah positif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca juga:
Teori-Teori Sosiologi Hukum
Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum
Orang yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejak itu mulai diperkenalkan ruang lingkup dan objek kajian sosiologi hukum. Namum demikian, sosiologi hukum dipengaruhi oleh disiplin ilmu: filsafat hukum, ilmu hukum, dan sosiologi yang kajiannya berorientasi pada hukum. Ketiga disiplin ilmu yang dimaksud diuraikan sebagai berikut:
1. Filsafat Hukum
Di dalam kajian filsafat
hukum, salah satu pokok bahasannya adalah aliran-aliran filsafat hukum.
Aliran-aliran filsafat hukum yang menjadi penyebab lahirnya sosiologi hukum
adalah aliran positivisme. Aliran yang dimaksud, dikemukakan oleh Hans Kelsen
melalui teori Strufenbau des Recht-nya.
Menurut Hans Kelsen “Hukum itu bersifat
hierarkis”. Artinya: “hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
yang lebih atas derajatnya.” Stratifikasi derajat hukum yang dimaksud adalah
sebagai berikut: yang paling bawah itu adalah putusan badan pengadilan, atasnya
adalah undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi adalah konstitusi, dan yang
paling atas adalah Grundnorm. Kelsen
sendiri tidak menyebutkan/menjelaskan apa itu Grundnorm, ia hanya menyebutkan bahwa hal itu merupakan penafsiran
yuridis dan menyangkut hal-hal yang bersifat metayuridis. Dengan demikian,
hanya sosiologi hukum yang dapat mengungkapkan jawaban dari pertanyaan: apa itu
Grundnorm? Grundnorm adalah dasar
atau basis sosial dari hukum itu yang merupakan salah satu objek pembahasan di
dalam sosiologi hukum.
Aliran-aliran filsafat hukum yang mendorong tumbuh dan berkembangnya sosiologi hukum adalah sebagai berikut:
a. Mazhab sejarah, yang dipelopori oleh
Carl von Savigny. Savigny mengungkapkan bahwa hukum itu tidak dibuat, akan
tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volksgeist).
b. Aliran Utility, yang diungkapkan oleh
Jeremy Bentham. Bentham mengungkapkan bahwa: “Hukum itu harus bermanfaat bagi
masyarakat, guna mencapai hidup bahagia.”
c. Aliran Sociological
Jurisprudence dari Eugen Ehrlich, yang konsepsinya: “Hukum yang dibuat
harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law).”
d. Aliran Pragmatic Legal
Realism dari Roscoe Pound, konsepsinya: “Law as a tool of social engineering.”
2. Ilmu Hukum
Kajian ilmu hukum yang
menganggap bahwa “hukum sebagai gejala sosial”, banyak mendorong pertumbuhan
sosiologi hukum. Jadi, tidak seperti teori yang diungkapkan oleh Hans Kelsen.
Hans Kelsen menganggap hukum sebagai gejala normatif, dan selanjutnya harus
dibersihkan dari anasir-anasir sosiologis (nonyuridis).
3. Sosiologi yang Berorientasi pada Hukum
Para sosiolog yang
berorientasi pada hukum antara lain adalah Emile Durkheim, Max Weber, dan Roscoe
Pound. Emile Durkheim mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada
solidaritas, ada solidaritas organis dan ada pula solidaritas mekanis.
Solidaritas mekanis, yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana, hukumnya
bersifat represif yang diasosiasikan seperti dalam hukum pidana. Lain halnya
solidaritas organis, yaitu terdapat dalam masyarakat modern, hukumnya bersifat
restitutif yang diasosiasikan seperti dalam hukum perdata.
Max Weber, yang terkenal
dengan teori ideal type-nya
mengatakan bahwa dalam hukum ada empat tipe ideal, yaitu irasional formal,
irasional material, rasional formal (dalam masyarakat modern dengan mendasarkan
konsep-konsep ilmu hukum), dan rasional material.
Perkembangan Sosiologi Hukum di Eropa dan Amerika
Semua sosiolog hampir tak membantah
jika disebutkan bahwa Comte adalah yang mengenalkan sosiologi sebagai ilmu di
Perancis dan mungkin yang pertama juga di muka bumi. Namun sebelum itu John
Lewis Gillin pada awal abad ke 20, menyebutkan sebuah istilah sociological
attitude, yakni sikap sosiologis yang ditunjukkan oleh para tokoh atau
ilmuwan yang sedang menerangkan persoalan masyarakat atau kemanusiaan. Jadi,
maksudnya, ada tanda atau clues dimana orang mengemukakan analisisnya
yang menunjukkan ciri-ciri sosiologis. Pemecahan masalah sosial juga menunjukkan
ciri-ciri yang sama dengan pendekatan yang bertipologi sama. Oleh sebab itu,
Gillin menyebutkan pendekatan demikian itu sebagai presociological approach
to sociology. Tentu saja bahwa terminologi sosiologi belum ada
kala itu, sebelum kemudian Comte mengemukakannya secara eksplisit.
Metodologi selalu lahir kemudian, ia
merupakan barang baru yang modern dan bergengsi. Pada masa-masa awal, yang
penting adalah ‘analisis menerangkan’ (explanating analysis) dengan
mengutamakan berpikir dan berpikir, merenungkan dan merenungkan. Oleh sebab itu
ilmu pengetahuan modern yang kemudian bermetode modern itu semuanya bermula
dari pemikiran filsafat. Sosiologi sendiri bermula dari 'sikap berpikir
sosiologis' yang mulai populer akibat adanya revolusi politik di Perancis (1792-1802)
dan revolusi industri di Inggris (berawal di pertengahan abad 19). Jika di
Perancis muncul tokoh Auguste Comte dan Emile Durkheim, di Inggris muncul lebih
kemudian adalah Herbert Spencer dan Radcliffe Brown, dan jangan lupa pada awal
abad ke 19 juga telah muncul Max Weber di Jerman. Mengapa kedua revolusi itu,
terutama revolusi Perancis mampu menggerakkan orang untuk berpikir sosiologis?
Karena revolusi Perancis telah mengakibatkan kerusakan pada struktur sosial
yang luar biasa pada masyarakat Perancis dan dampaknya yang meluas ke seluruh
daratan Eropa. Ekonomi sulit bangkit kembali dan tidak ada satupun para pemikir
ekonomi yang mampu memberi jalan agar ekonomi bisa bangkit, semua orang
mengalami jalan buntu. Situasi dan kondisi yang demikian mendorong para pemikir
sosial memutar otak mereka dan kemudian menjadi berkah kepada sosiologi di
kemudian hari. Berkah dari pemikiran sosiologi yang spektakuler adalah lahirnya
demokrasi di Perancis dan kemudian menjalar di Eropa, dan kemudian di Amerika
menemui lahan suburnya.
Sejarah ini mengajarkan satu hal
penting bahwa sosiologi lahir di Eropa ketika masyarakatnya bereaksi terhadap
suatu fenomena sosial yang luar biasa. Peristiwa ini akan menjadi perbandingan
di kala meninjau kelahiran sosiologi di Indonesia nantinya. Sebelumnya diamati
dulu sekilas bagaimana perkembangan awal sosiologi di Amerika. Sebagaimana di
Perancis dan daratan Eropa lainnya, di Amerika, sosiologi juga ternyata muncul
ke permukaan didahului oleh Civil War (1861-1865). Apalagi pengaruh pemikir
Jerman, Inggris dan Perancis sangat kuat terhadap para pemikir muda Amerika
saat itu. Di antara yang paling berpengaruh adalah tulisan Comte mengenai Course
of Positive Philosophydan System of Positive Polity. Sementara dua tulisan
Spencer sangat berpengaruh di Amerika pada masa awal adalah Study of
Sociology dan Principles of Sociology. Kemajuan sosiologi di Amerika
demikian pesatnya karena setelah itu tokoh-tokoh besar yang lebih modern lahir
dan besar di Amerika. Mereka antara lain, Talcott Parsons, Robert K. Merton,
Lewis A. Coser, dan bahkan Bronislaw Malinowski yang berdarah Rusia. Sebelum
itu terdapat pionir awal seperti, Charles Horton Cooley, Albion Small, William
Graham Sumner, Edward A. Ross, Lester F. Ward, Franklin Henry Giddings dan
lain-lain nama yang mungkin agak kurang akrab di telinga akademisi Indonesia.
Tentu saja perlu disinggung bahwa di Jerman ada Ralph Dahrendorf dan di
Perancis bercokol Claude Levi Strauss yang juga sangat dikenal di daratan
Amerika. Banyak sekali tokoh dan pemikir sosiologi yang berpengaruh sejak abad
ke-19 sampai awal abad 21 ini yang tak mungkin untuk dibahas satu per satu.
Adalah menarik apabila kejadian
sejarah mulai berkembangnya sosiologi di Amerika itu dikaitkan dengan karakter
sosiologi yang terbentuk melalui tokoh-tokoh pemikir mereka pada masa itu.
Melihat latar belakang mereka, misalnya Albion Small dari Colby University
berlatar belakang sebagai seorang pendeta. Cooley dari Michigan dan Sumner dari
Yale berlatar belakang sebagai ahli ekonomi, Edward Ross merupakan ahli bahasa,
Lester Ward yang menulis buku terkenal berjudul Dynamic Sociology ternyata
adalah sarjana Biologi. Latar belakang ini membentuk karakter yang unik bagi
masing-masing sosiolog itu dan keunikan itu menjadi ciri khas dan kekuatan
masing-masing tokohnya. Latar belakang yang beragam itu menunjukkan bahwa
sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang masih muda dibandingkan dengan yang
lain. Mereka itulah yang kemudian membuka kelas pertama dan membuat pembelajaran
yang lebih bersistem tentang sosiologi di kampus-kampus Amerika. Perkembangan
sosiologi yang pesat itu selain ditopang oleh situasi kontemporer, juga karena
mentalitas profesional berkarya dalam ilmu demikian seriusnya. Bayangkan saja,
sebagai contoh dua buah jurnal sosiologi yang sangat terkenal: American
Sociological Society dan American Journal of Sociology yang lahir
pada akhir abad 19 dan awal abad 20 masih eksis sampai hari ini.
Perkembangan Sosiologi Hukum di Indonesia
Tesis tentang perubahan
masyarakat sebagai penggerak sosiologi hukum juga memperoleh kebenarannya di Indonesia.
Perkembangan sosiologi hukum di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari
perubahan-perubahan yang terjadi secara susul menyusul sejak revolusi
kemerdekaan. Pencapaian kemerdekaan negera Indonesia tidak berlangsung secara yuridis
tradisional, melainkan secara politik sosiologis.
Perubahan yang secara yuridis “tidak
normal” itu menimbulkan situasi-situasi konflik sehingga mendorong orang untuk
melihat kembali kepada hakikat fungsi hukum, batas-batas kemampuan hukum, dan
lain-lain atau yang tidak lazim dibicarakan dalam wacan hukum tradisional yang
didominasi oleh pemikiran analistis-positivisme.
Pada hakikatnya sosiologi hukum secara
relatif masih muda usianya dan masih baru bagi Indonesia sehingga belum
tercipta lapangan kerja yang jelas dan tertentu. Apa yang yang telah dicapai
sekarang ini pada umumnya merupakan pencerminan daripada hasil-hasil karya dan
pemikiran para ahli yang memusatkan perhatiannya pada sosiologi hukum.
Mereka memusatkan perhatiannya pada sosiologi
hukum oleh karena kepentingan-kepentingan yang bersifat teoritis atau karena
mereka mendapatkan pendidikan baik dalam bidang sosiologi maupun ilmu hukum,
atau oleh karena mereka memang mengkhususkan diri dalam penelitian sosiologis
terhadap hukum. Namun pada perkembangannya sosiolog kurang memeperhatikan bidang
hukum. Ada beberapa faktor sebagai penyebab kurangnya perhatian para sosiolog terhadap
hukum:
Pertama:
Para sosiolog mengalami kesulitan
untuk menyoroti sistem hukum semata-mata sebagai himpunan kaedah-kaedah yang
bersifat normatif sebagimana halnya dengan para yuris. Para sosiolog sulit
menempatkan diri dialam normatif karena sosiologi merupkan suatu disiplin yang
kategoris.
Kedua:
Pada umumnya para sosiolog
dengan begitu saja menerima pendapat bahwa hukum merupakan himpunan
peratuaran-peraturan yang statis. Hal ini tercermin pada pertanyaan-pertanyaan
yang biasanya diajukan para ahli.
Ketiga
: Sosiolog sering mengalami
kesulitan untuk menguasai keseluruhan data tentang hukum yang demikian
banyaknya yang pernah dihasilkan oleh beberapa generasi ahli-ahli hukum.
Keempat:
Lambatnya perkembangan sosiologi hukum
dikarenakan kesulitan-kesulitan terjadinya hubungan antara para sosiolog dengan
para ahli hukum karena kedua belah pihak tidak mempergunakan bahasa dan
kerangka pemikiran yang sama.
Seperti juga halnya di negara-negara
lain, munculnya sosiologi hukum di Indonesia masih tergolong cukup baru. Namun
demikian sebagaimana juga telah dibicarakan sebelumnya bahwa sebagai suatu
pendekatan (approach) ia sudah hampir sama tuanya dengan ilmu hukum itu
sendiri. Kalau dikatakan bahwa sosiologi hukum itu merupakan disiplin yang
relatif baru di Indonesia, maka hal itu tidak mengurangi kenyataan, bahwa Van
Vollenhoven sudah sejak semula menggunakan pendekatan sosial dan sosiologis terhadap
hukum. Untuk kesimpulan awal, wacana hukum yang melibatkan pendekatan sosiologis
sudah dimulai sejak sebelum didirikan lembaga pendidikan tinggi.
Keadaan dan perubahan yang demikian
itu pada gilirannya menimbulkan dampak terhadap pemikiran mengenai hukum. Demikian
juga perilaku hukum yang berubah sangat mempengaruhi hukum di Indonesia.
Sebagai mata kuliah, Sosiologi Hukum memasuki kurikulum fakultas hukum di
Indonesia dengan nama “Hukum dan Masyarakat”. Pada tahun 1980 terbit buku
dengan nama yang sama, yang merupakan karya pertama yang agak lengkap mengenai
filsafat, pendekatan, dan analisis sosiologis terhadap hukum. Di tahun 90-an,
mata kuliah tersebut sudah makin biasa diberikan di fakultas hukum serta
menggunakan nama “Sosiologi Hukum”.
Keterasingan para mahasiswa dan para
sarjana hukum dari paradigma, teori dan metode sosiologi (hukum) itu lebih
diperkuat lagi tatkala pendidikan hukum di Indonesia hingga kini masih saja
dimaksudkan secara kurang realistis sebagai studi profesi yang monolitik
semata, yang meyakini bahwa kehidupan bermasyarakat yang kompleks ini dapat
begitu saja diatur secara apriori menurut model-modelnya yang normatif-positif,
yang ditegakkan berdasarkan prosedur-prosedur bersanksi.
Pendidikan hukum di Indonesia
menganut tradisi Civil Law dari Eropa Kontinental lalu cenderung
memperlakukan hukum sebagai kaidah-kaidah positif (yang terumus secara eksplisit
dan terinterpretasi secara konsisten) yang terorganisasi di dalam suatu sistem
normatif yang tertutup, dengan metodenya yang ternyata dimaksudkan untuk hanya
bisa mengenali prosedur-prosedur penalaran yang formal-deduktif saja. Karena metode
deduksi ini hanya bermanfaat untuk menemukan dasar pembenaran atau dasar
legitimasi (itu pun hanya yang formal saja), dan tidak sekali-kali mampu
menemukan hubungan antarvariabel di alam amatan sebagaimana halnya metode
induksi. Maka tak dapat dipungkiri bahwa ilmu ini sulit digolongkan ke dalam
bilangan ilmu; yaitu ilmu dalam artinya yang khusus sebagai empirical science.
Referensi
Anwar dan Adang. 2015. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana.
Basrum, M. Chairul. 2016.
Sosiologi Hukum. FAM Publishing.
Saebani, Beni Ahmad. 2007.
Sosiologi Hukum. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Soekanto, Soerjono. 2001.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
________________. 2014. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Zainuddin Ali, 2014, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
https://media.neliti.com/media/publications/130652-ID-perkembangan-sosiologi-di-indonesia.pdf
Baca juga: Peran Hakim (Pidana) dalam
Pemeriksaan Perkara