Hubungan Antropologi dengan Hukum

 

Hukum dan Antropologi

Hubungan Antropologi dengan Hukum

Pendahuluan

Antropologi memiliki hubungan dengan hukum yang tak dapat dipisahkan. Hukum yang memiliki hubngan dengan antropologi adalah hukum kebiasaan yang dikenal dengan hukum adat. Hubungan tersebut baru disadari oleh para pakar ilmu hukum adat, terutama yang ada di Indonesia di permulaan abad kedua puluh. Saat itu para pakar ilmu hukum adat mulai menyadari arti pentingnya antropologi bagi hukum adat. Antropologi dirasa memiliki peran yang besar dalam berbagai penelitian hukum adat.

Banyak dari pakar ilmu hukum adat yang menggunakan metode-metode yang biasa digunakan dalam penelitian antropologi dalam penelitian hukum adat. Antropologi banyak digunakan oleh para pakar ilmu hukum adat untuk menyelami latar belakang kehidupan hukum adat di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Antropologi menjadi penting dalam penelitian hukum adat dikarenakan hukum adat bukan merupakan sistem hukum yang telah diabstraksikan dalam peraturan perundang-undangan, melainkan timbul dan hidup langsung dari masalah-masalah perdata yang berasal dari aktivitas masyarakat. (Beni, 2012: 37)

 

Hubungan Antropologi dengan Hukum Dilihat dari Segi Norma

Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Dewi A.A., norma atau kaidah adalah suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak atau berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan tersebut merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Dewi, tt: 7).

Terdapat dua macam norma menurut isinya, yaitu:

1.      Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik.

2.      Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang tidak baik.

Setiap masyarakat, dari yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks memiliki aktivitas-aktivitas yang berfungsi dalam lapangan pengendalian sosial atau social control. Pengendalian tersebut dijalankan oleh suatu norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut kemudian diresepsi ke dalam sutau hukum yang mengikat dan mesti dijalankan. Proses pembentukan hukum yang berisi norma tersebut tidak dapat mengabaikan antropologi. Dengan bantuan antropologi, hukum yang dibuat dapat sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Dalam hal ini antropologi berfungsi mencari bahan hukum dari adat-istiadat, susunan dan organisasi kemasyarakatan, dan sebagainya yang dapat ditemukan baik dari hukum adat yang telah ada dan tertulis atau dari penelitian terhadap masyarakat itu sendiri.

 

Hubungan Antropologi dengan Hukum Dilihat dari Segi Etika

Etika merpakan salah satu cabang dari filsafat yang membahas tentang tindakan selain dari estetika. The Liang Gie memberikan definisi etika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang pertimbangan moral (Lubis, 2015: 14). Oleh karena itu, etika juga sering disebut sebagai filsafat moral. Secara etimologi etika berasal dari kata ethos (bentuk jamaknya ta etha) berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti karakter, watak kesusilaan atau adat (Ali Mashar, 2015: 1). Etika berkaitan dengan kebiasaan yang baik, baik pada individu maupun pada masyarakat.

Suatu kebiasaan yang baik dalam masyarakat yang dilakukan oleh individu adalah bagian dari etika. Etika sebagai suatu kebiasaan yang baik dapat diteliti dengan antropologi. Hal itu dikarenakan etika merupakan bagian dari budaya yang dijalankan oleh suatu individu dalam msyarakat. Agar suatu etika dapat dijalankan dengan baik, maka diperlukan adanya suatu aturan hukum yang mengaturnya dan disepakati bersama oleh masyarakatnya.

Etika adalah bagian dari norma kesopanan yang memiliki sanksi pengucilan dan cemoohan apabila dilanggar. Adanya sanksi tersebut merupakan salah satu ciri hukum. Dari sini dapat terlihat bahwa antropologi memiliki hubungan dengan hukum ditinjau dari segi etika. Dalam hal ini, antropologi berperan memahami etika agar dapat dijalankan oleh hukum yang berlaku.

 

Hubungan Antropologi dengan Hukum Dilihat dari Segi Budaya

Berbicara antropologi sama dengan berbicara tentang manusia dan budayanya. Karena antropologi adalah ilmu yang mengkaji perihal manusia baik sebagai makhluk biologis maupun makhluk sosial (Beni, 2012: 13). Pembahasan tentang manusia akan menjadi hal yang sangat kompleks mengingat bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan rohani atau sebagai hewan dan manusia yang berfikir.

Dalam hubungan antropologi dengan hukum, budaya menjadi objek dari antropologi yang dapat dijadikan bahan dalam pembentukan hukum. Tetapi perlu diingat bahwa hukum sendiri merupakan salah satu produk dari budaya. Hukum dibuat sebagai usaha dalam mempertahankan bagian dari budaya yang lain agar dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karen itu, hukum bersifat mengikat. Hal ini dapat dilihat dari adanya perintah dan larangan dalam hukum serta sanksi terhadap setiap pelanggaran ynag dilakukan.

 

Hubungan Antropologi dengan Hukum Dilihat dari Segi Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia

Antropologi memiliki pengaruh besar terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hukum adat yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode yang biasa digunakan dalam penelitian antropologi telah diresepsi ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam peraturan perundang-undangan bahwa sebagian dari isinya merupakan hasil dari penelitian antropologi, tetapi secara implisit dapat dipahami bahwa peraturan perundang-undangan tersebut merupakan salah satu hasil penelitian antropologi yang telah diabstraksikan.

Contohnya saja dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu.” Dari sini jelas terlihat bahwa dalam urusan perkawinan, tehadap sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan merupakan wilayah dari kewenangan suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sah atau tidaknya suatu perkawinan didasarkan pada agama dan kepercayaan yang dianut oleh orang yang melaksanakan perkawinan itu.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa agama merupakan suatu wilayah kajian dalam antropologi. Hal tersebut dikarenakan agama adalah salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari suatu masyarakat beragama. Agama memiliki kedudukan paling tinggi untuk sebagian masyarakat yang perwujudannya dapat terlihat dari rangkaian ritual kegamaan yang dijalankan oleh setiap individu yang menganutnya.

 

Referensi

Ahmad Saebani, Beni. 2012. Pengantar Antropologi, Cetakan I. Bandung: Pustaka Setia.

Dewi A. A. (tt). Modul Etika, Nilai, Moral dan Norma. Tidak diterbitkan.

Lubis, Nur A. Fadhil. 2015. Pengantar Filsafat Umum. Medan: Perdana Publishing.

Mashar, Ali. 2015. Buku Ajar Etika Profesi. Bandung: Departemen Teknik Konversi Energi Politeknik Bandung.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post