Kekuasaan Pengadilan Agama

 

Pengadilan Agama

Kekuasaan Pengadilan Agama

Pendahuluan

Kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 adalah kekuasaan negara yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan lehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan empat badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Salah satu dari empat badan peradilan atau pengadilan  yang ada dibawah Mahkamah Agung adalah pengadilan agama. Pada mulanya, pengadilan agama tidak berada di bawah Mahkamah Agung, baru setalah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 tentang Sistem Peradilan Satu Atap pengadilan agama menjadi di bawah Mahkamah Agung.

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Kekuasaan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang mengadili pada tingkat pertama.

Dalam melaksanakan tugas dan wewnangnya, pengadilan agama memiliki kekuasaan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yang mengaturnya. Kekuasaan itu baik yang berhubungan dengan kekuasaan mutlak (absolute competentie) maupun kekuasaan relatif (relative competentie).

 

Dasar Hukum Kekuasaan Pengadilan Agama

Dasar hukum kekuasaan pengadilan agama di atur dalam Bab III Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 49 adalah sebagai berikut:

(1)   Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a.       perkawinan;

b.      kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;

c.       wakaf dan shadaqah.

(2)   Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

(3)   Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50 mengatur:

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 52 mengatur:

(1)   Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tetang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.

(2)   Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

Ketentuan Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 52 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama di atas kemudian diubah oleh ketentuan Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut.

Pasal 49 mengatur:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a.       perkawinan;

b.      waris;

c.       wasiat;

d.      hibah;

e.       wakaf;

f.        zakat;

g.      infaq;

h.      shadaqah; dan

i.        ekonomi syari’ah.

Pasal 50 mengatur:

(1)   Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2)   Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 52A mengatur:

Pengadilan Agama memberikan istbat rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.

 

Kekuasaan Pengadilan Agama

1.      Kekuasaan Mutlak

Kekuasaan mutlak (absolute competentie) pengadilan berhubungan dengan jenis pekara dan sengketa pengadilan. Pengadilan Agama memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan orang-orang yang bergama Islam. Kekuasaan Pengadilan Agama telah mengalami perluasan atau penambahan, terutama sejak berlakunya Undang-Undangn Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian mengalami penyeragaman sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Setelah reformasi, perluasan terjadi lagi sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terdapat dua pasal yang diubah dan satu pasal tambahan dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yang berhubungan dengan kekuasaan Pengadilan Agama, yaitu Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52A.

Hingga saat ini Pengadilan Agama memiliki kekuasaan yang pada pokoknya meliputi sembilan bidang, yaitu:

a.       perkawinan;

b.      waris;

c.       wasiat;

d.      hibah;

e.       wakaf;

f.        zakat;

g.      infaq;

h.      shadaqah; dan

i.        ekonomi syari’ah.

2.       Kekuasaan Relatif

Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan.  Maksudnya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan meliputi daerah hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Daerah hukum pengadilan agama meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Ketentuan tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal itu disebutkan, “Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamdya atau di ibu kota kabupaten,  dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.”

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut, tidak menutup adanya kekecualian (exeption).  Karena  proses pengembangan dan pemecahan wilayah kotamadya dan kabupaten terjadi terus menerus seiring dengan pertumbuhan dan penyebaran penduduk di wilayah yang bersangkutan, selain terjadinya perubahan dari kawasan pedesaan (rural area) menuju kawasan perkotaan (urban area). Perubahan daerah hukum pengadilan pernah  terjadi secara besar-besaran ketka keluar Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1983.

Contoh dari adanya ‘kekecualian’ yang terjadi karena Keputusan Menteri Agama tersebut antara lain Pengadilan Agama Kalianda di Provinsi Lampung, yang daerah hukumnya adalah Kabupaten Lampung Selatan, kecuali Kecamatan Pring Sewu, Kota Agung dan Talang Padang. Demikian pula daerah hukum Pengadilan Agama Janthoi meliputi wilayah Kabupaten Aceh Besar, kecuali Kecamatan Masjid Raya, Kopelma Darussalam, dan Kampung Jawa. Kedua Pengadilan itu daerah hukumnya lebih kecil daripada wilayah kabupaten.

 

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa dasar hukum kekuasaan pengadilan agama terdapat dalam Bab III Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49, Pasal 50, dan tambahan pasal baru yakni Pasal 52A.

Adapun kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata antara orang-orang yang beragama Islam yang pada pokoknya meliputi sembilan bidang, yaitu:

a.       perkawinan;

b.      waris;

c.       wasiat;

d.      hibah;

e.       wakaf;

f.        zakat;

g.      infaq;

h.      shadaqah; dan

i.        ekonomi syari’ah.

 



Referensi

Bisri, Cik Hasan. 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rosadi, Aden dan Fadhil Muhammad. 2019. Kekuasaan Pengadilan. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Rosadi, Aden. 2015. Peradilan Agama di Indonesia, Dinamika Pembentukan Hukum. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

___________. 2018. Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400).

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post