Konsep Nahyi dalam Ushul Fiqh
Pendahuluan
Dalam matematika, kita
mengenal theorema phytagoras. Dalam fisika, lebih banyak lagi hukum yang
kita kenal dan diakui sebagai kaidah umum yang berlaku dalam suatu bidang
tertentu dari cabang ilmu fisika. Dalam kimia pun demikian, kita mengenal
adanya hukum kekekalan massa dan masih banyak hukum atau teori lain yang
berlaku. Hukum atau teori tadi dikembangkan oleh para ilmuwan melalui
serangkaian percobaan dan pengujian sehingga diperoleh kesimpulan umum yang
kemudian diakui sebagai kaidah dalam ilmu tersebut. Sampai adanya teori baru
yang lebih kuat, teori-teori tersebut akan tetap digunakan sebagai kaidah yang
diakui dan dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari situ kita bisa melihat
betapa kaidah/teori/hukum dalam suatu bidang keilmuan tertentu memiliki peran
yang sangat penting bagi manusia, dalam hal-hal duniawi tentunya. Lalu, apakah
Islam juga memiliki kaidah-kaidah seperti itu? Kaidah-kaidah atau hukum-hukum
yang menjadi dasar bagi pengamalan syariat Islam? Nabi Muhammad saw bersabda:
“Tinggalkanlah sesuatu yang
aku tidak anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka
banyak bertanya dan selalu menyelisihi nabi mereka. Jadi, apabila aku
melarangmu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu
kepadamu, lakukanlah semampumu” (HR Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).
Oleh karena itu, agama Islam
juga mempunyai kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang menjadi dasar bagi
pengamalan syariat Islam, dan semua itu terkandung dalam ilmu ushul fiqih.
Ilmu ushul fiqh menyajikan
berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung
dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Secara garis besar, metode istinbath
dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid
(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan.
Ayat-ayat hukum dalam Alquran dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga
Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr (perintah), nahyi
(larangan), dan takhyir (pilihan). Dari tiga kategori ayat-ayat hukum
itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
Baca juga: Konsep
Amr dalam Ushul Fiqh
Pengertian Nahyi
Nahyi secara etimologi artinya
larangan. Sedangkan secara terminologi ialah tuntutan untuk meninggalkan
perbuatan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih
rendah tingkatannya. Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari
amr, yakni lafaz yang menunjukkan tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (tuntunan
yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul
sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
Bentuk-Bentuk Nahyi
Nahyi itu merupakan tuntutan
yang berisi larangan. Adapun bentuk larangannya diantaranya sebagai berikut:
a.
Larangan secara tegas
dengan menggunakan kata nahyi (نهى ) atau yang
seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya firman Allah swt
dalam QS an-Nahl: 90.
۞ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ
ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
b.
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan
diharamkan. misalnya firman Allah swt dalam QS al-A’raf: 33.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ
تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.
c.
Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’
(kata kerja untuk sekarang/ mendatang) yang disertai la yang menunjukan
larangan. Misalnya firman Allah swt dalam QS al-An’am: 152.
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
d.
Kalimat nahyi menggunakan kalimat amr. Firman
Allah dalam QS al-Maidah: 90.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Beberapa kemungkinan hukum yang ditunjukkan bentuk nahyi.
1)
Untuk menunjukkan hukum haram
2)
Sebagai anjuran untuk meninggalkan
3) Penghinaan.
4)
Untuk menyatakan permohonan
Kaidah-Kaidah yang Berhubungan dengan Nahyi
a.
Al-ashlu fil nahyi lit-tahriimi ( الأصل فى النهى للتحريم), pada
dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram kecuali ada indikasi yang
menunjukkan hukum lain.
b.
Suatu larangan menunjukkan
fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan.
c.
Suatu larangan terhadap
suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa kaidah-kaidah yang berhubungan dengan nahyi (larangan) pada dasarnya
menunjukkan suatu larangan untuk melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada
indikasi yang menunjukkan suatu hukum yang lain.
Hakikat Shigat Nahyi
Para ulama ushul sepakat bahwa
hakikat nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu dan tidak bisa beralih
makna kecuali bila ada suatu qarinah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang
hakikat tuntunan untuk meninggalkan larangan.
a.
Menurut jumhur, hakikatnya itu untuk tahrim bukan
karohah;
b.
Menurut pendapat kedua, nahyi yang tidak disertai
qarinah menunjukan karahah;
c.
Menurut pendapat ketiga, musytarak antara tahrim
dan karahah baik isytirak lafazhi maupun isytirak maknawi;
d.
Hakikat tuntunan nahyi itu tawaquf.
Dari keempat pendapat di atas yang dipandang kuat adalah pendapat jumhur,
karena dapat disimpulkan dari keumuman sighat-sighat nahyi, juga didasarkan
pada argumen-argumen dibawah ini.
a.
Akal yang sehat bisa menunjukan bahwa larangan itu
menunjukkan pada haram;
b.
Para ulama salaf memakai nahyi dalil untuk
menunjukkan haram;
c.
Fiman Allah dalam QS. Al-Hasyr ayat 7:
وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
Artinya:
“Dan apa-apa yang rasul
datangkan (perintahkan) kepada kamu semua taatilah, dan apa-apa yang dilarang
pada kamu semua jauhilah”.
Nahyi Mengharuskan Meningggalkan Terus Menerus (Langsung)
Sesungguhnya nahyi itu menuntut untuk
meninggalkan apa yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam
QS. Al-An’am ayat 151:
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ
إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ
Artinya:
“Janganlah kamu semua membunuh seorang jiwa yang
diharamkan Allah kecuali dengan hak”
Dengan demikian jelas bahwa larangan itu
membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus menerus karena pelaksanaan
secara terus menerus termasuk dilalah nahyi. Hal ini merupakan ijma’ dari masa
sahabat dan tabi’in. Mereka menetapkan bahwa nahyi itu menuntut agar
meninggalkan yang dilarang secara langsung dan terus menerus.
Kaitan Nahyi dengan Fasad dan Buthlan
Ulama ushul berbeda pendapat
tentang tuntunan nahyi, dijelaskan dua hal penting yang berkaitan dengan
masalah nahyi, yaitu hal ihwal nahyi, makna sah, fasad dan buthlan.
a.
Ihwal nahyi
1)
Nahyi itu mutlak, yakni tanpa ada qarinah, menunjukan
sesuatu yang dilarang. Bentuknya ada dua macam, pertama larangan yang bersifat
indrawi dan kedua adalah tindakan syara.
2)
Menurut para ulama perbuatan indrawi ialah suatu
perbuatan yang diketahui secara indrawi yang wujudnya tidak bergantung pada
syara’. Sedangkan tindakan syara adalah segala perbuatan yang wujudnya
bergantung pada syara’, seperti puasa dan sholat. Tidak mungkin dikatakan sah sebagai
ibadah, kecuali dengan penetapan dari syara’.
3)
Nahyi itu kembali kepada dzatiyah perbuatan,
seperti larangan jual beli hashat (jual beli yang penentuan barangnya
dengan jalan melempar batu kerikil, pada masa sekarang bisa berbentuk poin).
4)
Nahyi yang melekat pada sesuatu yang dilarang, bukan
pada pokoknya, sepeti jual beli riba dan larangan puasa pada hari raya.
5)
Nahyi kembali kepada sifat yang berkaitan dengan
suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lainnya
seperti larangan salat di tempat hasil rampasan dan larangan jual beli di waktu
salat Jumat.
b.
Pengertian Sah, Batal, dan Fasad
Menurut fuqaha,
sah artinya sesuatu perbuatan itu telah gugur tuntutannya karena telah
dilakukan. Menurut ulama mutakalimin, sah berarti perbuatan yang telah
dilakukan itu sesuai perintah syara’ baik dalam keadaan wajib qada, maupun
tidak. Misalnya seseorang yang telah salat menduga bahwa ia salat dalam keadaan
suci, padahal tidak, salat tersebut menurut ulama mutakalimin tetap sah
meskipun ia tetap wajib mengulanginya. Akan tetapi menurut fuqaha salat
tersebut tidak menggugurkan qada. Adapun arti fasad, menurut jumhur sama degan batal.
c.
Pendapat Ulama Ushul tentang Tuntutan Nahyi dalam
Kaitannya dengan Fasad dan Buthlan
Para ulama
usuliyyin berbeda pendapat dalam mementukan tuntunan nahyi yang berbentuk empat
hal. Pada bentuk pertama yakni nahyi yang mutlaq, para ulama sepakat bahwa
nahyi disini menunjukan buruknya perbuatan yang dilarang itu, seperti zina,
maka larangannya menunjukan fasad dan batal. Menurut golongan lainnya yang dinisbatkan
oleh Asy-Syaukani kepada Abu Al-Hasan Al Basri, Al-Ghazali dan Ar-Razi, nahyi
itu menunjukan fasad dalam muamalah. Selanjutnya ulama Hanafiyyah beralasan,
seandainya dikatakan bahwa perbuatan itu fasad secara mutlaq berarti kita
menyamakan hakikat yang yang mengandung fasad dan yang tidak mengandung fasad.
Sebaliknya, apabila kita katakan bahwa
perbuatan itu sah secara mutlaq berarti kita menyamakan antara hakikat yang
tidak mengandung fasad pada dzat nya dan sifatnya dengan hakikat yang
mengandung fasad pada sifatnya saja. Bentuk nahyi yang keempat, menurut jumhur
tidak menujukan fasad dan batal, melainkan perbuatan yang dilarang itu tetap
sah, hanya saja orang yang melakukan itu berdosa.
Referensi
Bakry, Mazar. 1996. Fiqih dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Efendi, M. Zein, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta: Zikrul Hakim.
Khalaf, Abdul Wahab. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Gema Insani Risalah.
Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syafe’i, Rahmat. 2010. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.
Usman, Muchlis. 1999. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jawa Timur: Darul Hikmah.
Zuhri, Mohd dan Ahmad Qarib. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Toha Putra Group.
Baca juga: Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan