Konsep Amr dalam Ushul Fiqh

Amr


Konsep Amr dalam Ushul Fiqh

1.      Pengertian Amr

Secara etimologi amr berarti perintah. Sedangkan secara terminologi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan kapada bawahannya utuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalimat amr dalam Alquran ditandai dengan beberapa macam kalimat, diantaranya mengunakan fi’il amr, lam amr, kalimat yang menunjukkan perintah amara, farada, dan perintah dengan kata (ikhbar).

Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafazh yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi di atas tidak hanya ditujukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi (samar). Namun yang paling penting dalam amr adalah bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu.

 

2.      Bentuk-Bentuk Amr dan Hakikatnya

Para ulama ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini digunakan untuk berbagai macam arti. Diantaranya adalah Al-Amidi yang menyebutkan sebanyak 15 macam makna (Al-Amidi, 1968: 11). Sedangkan Al-Mahalli dalam Syarah Jamu’ al-Jawami’ menyebutkan sebanyak 26 makna.  Demikian pula mereka bersepakat bahwa bentuk amr secara hakikat digunakan untuk thalab (tuntutan). Namun, mereka juga berbeda pendapat mengenai thalab ini. Apakah dengan sendirinya menunjukkan wajib ataukah diperlukan adanya qarinah.

Menurut jumhur ulama, amr itu secara hakikat menunjukkan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain, kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Amidi, Asy-Syafi’i, para fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husen, Al-Basri, dan Al-Juba’i (Al-Amidi, 1968: 92). Golongan kedua, yaitu madzhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr itu adalah nadb. Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi. Pendapat keempat, Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukkan maksudnya.

Berikut beberapa bentuk-bentuk amr, yaitu:

a.         Dengan menggunakan fi’il amr yaitu kata kerja bentuk perintah, seperti dalam firman Allah Swt. Sebagai berikut:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Artinya:

”Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”. (Q.S Al -Baqarah: 238)

b.         Kalimat amr menggunakan lam amr, seperti dalam firman Allah Swt. Sebagai berikut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.....”.  (Q.S. Al-Baqarah: 282).

c.         Kalimat amr menggunakan kata amara dan farida, seperti dalam firman Allah Swt. Sebagai berikut.

قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Artinya:

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S At-Tahrim: 2)

d.         Kalimat amr menggunakan kata ikhbar, seperti dalam firman Allah Swt sebagai berikut.

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya:

“…padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(Q.S Al-Imran: 97)

 

Baca juga: Berlakunya Hukum Adat di Indonesia

 

3.      Kaidah-Kaidah Amr

Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti yang dikemukakan Muhammad Abid Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan, yaitu:

a.       Al-ashlu fil amri lil-wujuubi (الأصل قى الأمر للوجوب), meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut.

b.      Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.

c.       Suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang di maksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amr yaitu apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut. Maka suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut.

 

4.      Keadaan Amr Bila Disertai Qarinah

Makna hakiki amr yang diperselisihkan di atas ialah apabila amr itu tidak disertai suatu qarinah. Golongan Zahiriyah, antara lain Ibnu Hazm berpendapat bahwa amr yang tedapat dalam Alquran, sungguh pun disertai qarinah tetap menunjukkan wajib, kecuali kalau ada nash lain atau ijma’ yang memalingkan pengertian amr dari wajib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak adanya qarinah menunjukkan wujub. Sebaliknya ada suatu qarinah sudah cukup dapat mengubah hakikat arti amr itu.

Dari kedua sikap ulama di atas, ada dampak luas pada penetapan hukum. Contoh yang dapat dikemukakan di sini ialah masalah pencacatan dan persaksian dalam utang-piutang. Menurut Zahiriyah, pencatatan dan persaksian dalam utang-piutang ini adalah wajib, berdasarkan ayat 282 surat Al-Baqarah. Bentuk amr pada ayat tersebut, menunjukkan wajib dan tidak bisa mneyimpang dari arti zahir kecuali dengan nash atau ijma’ (Ibnu Hazm: 80).

Menurut jumhur ulama, amr pada ayat tersebut adalah nadb. Alasannya, mayoritas kaum muslimin dalam melakukan jual beli yang tidak kontan itu tidak dicatat dan dipersaksikan. Oleh karena itu, dipandang ijma’ di kalangan kaum muslimin, bahwa amr pada ayat tersebut bukan untuk menunjukkan wujub.

Bagi ulama yang berpendapat bahwa amr itu pada prinsipnya menunjukkan wajib dan tidak bisa berubah, kecuali ada qarinah, mereka sendiri sebenarnya berbeda pendapat dalam menentukan sesuatu yang dipandang sebagai qarinah. Perbedaan tersebut otomatis berpengaruh pada penetapan hukum. Misalnya masalah mut’ah bagi wanita yang telah dicerai. Menurut Asy-Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, mut’ah tersebut adalah wajib dengan mendasarkan pada muthlaq amr. Demikian pula menurut pendapat Ibnu Umar dari kalangan sahabat, Sa’id Ibnu Al-Musayyaab, dan Mujtahid dari kalangan tabi’in.

Jika ditemukan suatu qarinah yang dapat memalingkan sighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu seperti ibahah.

 

5.      Perintah Setelah Adanya Kejadian

Para ulama telah sepakat tentang amr terhadap sesuatu dari yang tidak ada sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum amr yang setelah adanya larangan atau setelah timbulnya kejadian. Dalam hal itu para ulama terbagi pada tiga golongan:

a.       Menunjukkan mubah, karena amr yang belum ada sebelumnya secara bahasa juga menunjukkan wajib. Namun jika adanya setelah kejadian maka dianggap qarinah yang menunjukkan mubah kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan wajib. Alasannya karena para ulama ushul telah memakainya untuk arti mubah. Dan hal itu, sudah menjadi kebiasaan.

b.      Menunjukkan wajib, karena suatu kalimat yang menggunakan kata amr itu menunjukkan wajib. Selain itu, tidak boleh dipisahkan antara amr yang berkaitan dalam rangka menetapkan hukum syara’ atau amr yang ada setelah adanya larangan.

c.       Perintah setelah adanya kejadian telah menghilangkan kejadian tersebut. Adapun hukumnya bergantung pada ashl sebelum adanya kejadian, apakah wajib, sunah, atau mubah.

Pendapat yang terakhir dianggap paling kuat, karena disebutkan dalam Alquran, di antaranya firman Allah Swt, dalam Surah At-Taubah ayat 5:

فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡهُرُ ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Artinya:

“Apabila telah berakhir bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik”.

Dalam ayat tersebut, diharamkan berperang pada bulan haram. Namun setelah itu ada perintah untuk berperang, maka kembalilah hukum asal perang tersebut, yaitu menunjukkan wajib.

 

6.      Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan Terus Menerus

a.         Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan Terus Menerus

Sighat amr menunjukkan adanya tuntutan mengerjakan sesuatu pada masa yang akan datang. Amr berdasarkan konteks bahasanya membutuhkan kesinambungan yang dalam hal ini, terbagi dalam dua pendapat yaitu:

1)      Menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dan berulang-ulang selama masih hidup.

2)      Hal itu tidak menunjukkan kepada mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja karena hakikat dari perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.

Perlu diingat bahwa apabila perintah tersebut tidak mungkin dilaksanakan kecuali satu kali, maka yang sekali itu merupakan hal pokok dalam melaksanakan hakikat perintah. Namun yang sekali bukan berarti petunjuk dari shighat amr, melainkan untuk melaksanakan hakikat dari amr tersebut.

Di antara argumen yang dikemukakan oleh golongan pertama, yaitu:

Pemahaman para ahli bahasa dari hadis Rasulullah saw bahwa Aqra ibn Hadis bertanya kepada Rasulullah saw tentang salah satu isi khutbahnya, “Sesungguhnya Allah Swt telah mewajibkan kepada kami semua untuk melaksanakan haji, maka tunaikanlah oleh kamu semua ibadah haji”. Dia bertanya kepada Rasulullah saw. “Apakah pada tiap-tiap tahun, Ya Rasulullah?”, Rasulullah diam, sehingga ia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Jika aku katakan wajib maka kamu semua tidak mungkin mampu melaksanakannya, haji itu adalah sekali, adapun selebihnya adalah sunnah.

Hadis itu menunjukkan keharusan untuk terus-menerus dalam melaksanak amr. Namun karena yang bertanya itu adalah ahli bahasa, sehingga jika tidak memahaminya sebagai keharusan melaksanakan haji berulang kali, ia tidak mungkin bertanya.

Namun hal itu dibantah oleh golongan kedua, bahwa adanya pengulangan pertanyaan itu karena dia menyangka bahwa haji itu seperti ibadah-ibadah lainnya yang memerlukan pengulangan. Itu sebabnya dijelaskan oleh Rasulullah saw bahwa haji itu hanya diwajibkan sekali saja:

1)      Amr itu seperti nahyi yang mengharuskan pengekangan untuk tidak melaksanakan sesuatu secara terus-menerus.

2)      Amr mengandung makna perwujudan sesuatu yang positif, yakni mewujudkan suatu pekerjaan pada waktu yang akan datang, yang sebelumnya tidak ada. Hal itu bisa terpenuhi dengan sekali melaksanakan, namun harus diulangi sebagai perwujudan melaksanakan kewajiban.

Hal itu tidak berbeda dengan nahi yang mengandung makna peniadaan yang sesuatu yang negatif, yaitu mengekang dan menghindari dari larangan. Hal itu tentu saja memerlukan waktu yang panjang dan terus-menerus.

Adapun argumen yang dikemukakan oleh golongan kedua adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya hakikat tuntutan itu tidak bisa dipahami dengan sekali atau berulang-ulang. Hal itu telah disepakati oleh ahli bahasa. Namun, adanya pengulangan itu didasarkan pada berulangnya perintah dan sighat amr, atau adanya illat yang mengharuskan untuk diulangi.

Jadi, adanya pengulangan dalam amr itu apabila adanya qarinah-qarinah seperti firman Allah Swt, dalam surat Al-Baqarah, ayat 185:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ

“Barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan maka berpuasalah”.

Berdasarkan dalil di atas, puasa wajib dilaksanakan berulang-ulang seiring dengan bulan yang berulang-ulang pula. Pendapat yang dipandang shahih adalah yang kedua. Karena hakikat melaksanakan perintah itu adalah sekali dan itu dipandang cukup, kecuali ada qarinah yang menunjukkan keharusan untuk melaksankannya berulang-ulang.

b.      Amr Tidak Menuntut Agar Dilaksanakan Secara Langsung

Sesungguhnya amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung atau ditunda-tunda, karena :

1)      Pelaksanaan dengan segera atau menunda-nunda adalah tambahan dari sighat amr yang mutlak secara bahasa.

2)      Sesungguhnya yang dituntut oleh amr itu pelaksanaannya, tidak memandang apakah dilaksanakan secara langsung atau ditunda-tunda

3)      Jika amr diiringi qarinah yang menuntut agar dilaksankan secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung berdasarkan ijma’.

4)      Bila amr itu dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila habis waktunya, seperti ibadah puasa.

5)      Bila amr memerlukan pelaksanaan secara langsung maka harus dillaksanakan secara langsung seperti menolong yang kebakaran atau orang tenggelam.

6)      Bersegera dalam melaksanakan amr adalah sunnah seperti firman Allah Swt dalam Surah Al-Baqarah dalam 148:

ۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ

 Artinya:

“maka Berlomba-lomba kamu semua dalam kebaikan (yakni bersegeralah)”. (QS Al-Baqarah:148)

 


 



Referensi

Bakry, Mazar. 1996. Fiqih dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Efendi, M. Zein Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta: Zikrul Hakim.

Khalaf, Abdul Wahab. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Gema Insani Risalah.

Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syafe’i,  Rahmat. 2010. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.

Usman, Muchlis. 1999. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami.

Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jawa Timur: Darul Hikmah.

Zuhri, Mohd dan Ahmad Qarib. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Toha Putra Group.

 

Baca juga: Pelaksanaan Pranata Kesehatan di Indonesia (Perspektif Hukum Islam)

Post a Comment

Previous Post Next Post