A. Definisi Hukum Adat
Kata
adat dalam dalam pengertian secara bahasa adalah aturan, baik berupa perbuatan
ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Kata adat
ini sering disebut beriringan dengan kata istiadat, sehingga menjadi adat
istiadat. Adat istiadat berarti tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari
generasi ke generasi sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan
pola-pola perilaku masyarakat. Dalam praktiknya, istilah adat istiadat
mengandung arti yang cukup luas, mencakup semua hal dimana suatu masyarakat
atau seseoang menjadi terbiasa untuk melakukannya.
Menurut
R. Seopomo hukum adat adalah hukum yang menjelmakan perasaan hukum yang nyata
dari rakyat dan sebagai hukum rakyat, hukum adat terus menerus dalam keadaan
tumbuh dan berkembang seperti hidup rakyat itu sendiri. Sedangkan
menurut Moh. Koesnoe Hukum adat adalah
suatu hukum yang berurat dan berakar pada nilai-nilai budaya rumpun bangsa ini
yang sepanjang perjalanan sejarah selalu mengalami penyesuaian dengan keadaan.
B. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat di
Indonesia
Dasar hukum berlakunya hukum adat :
1. Pasal 11 AB Burgerlijk Wetboek (BW)
“Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, berlaku hukum adat mereka (disebut godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken, yaitu UU Agama, lembaga kebudayaan rakyat dan kebiasaan) asal hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diterima hukum.”
2. Pasal 75 (3) redaksi lama Regelings Reglement (RR) 1857 1 jo. pasal 31 ayat 2 sub (b):
"Golongan hukum Indonesia (asli) dan golongan Timur asing berlaku hukum adat mereka."
3. Pasal 104 (1) UUDS 1950 :
"Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukum. Masyarakat menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu."
4. Pasal 11 AP UUD 1945
5. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
C. Bentuk-bentuk Hukum Adat
1.
Masyarakat Hukum Teritorial
Masyarakat hukum teritorial
adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya
terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai
tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap
roh-roh leluhur.
Para anggota masyarakatnya merupakan
anggota-anggota yang terikat dalam kesatuan yang teratur baik ke luar maupun ke
dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu sementara masih tetap
merupakan anggota kesatuan teritorial itu. Begitu pula orang yang datang
dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat
setempat.
2.
Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat atau persekutuan hukum
yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur,
di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu
leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara
tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Menurut para
ahli hukum adat, di masa Hindia-Belanda masyarakat yang genealogis itu
dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrilinial, matrilinial
dan bilateral atau parental.
3.
Masyarakat
Teritorial-Genealogis
Masyarakat
hukum teritorial-genealogis adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan
teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada
suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan
pertalian darah dan atau kekerabatan.
4.
Masyarakat
Adat Keagamaan
Di antara
berbagai kesatuan masyarakat adat akan terdapat kesatuan masyarakat adat yang
khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan
masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat
yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen/Katolik, dan ada yang sifatnya
campuran.
Di
lingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama tertentu, maka para
anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut perundangan, tetapi
juga juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga keagamaan yang
dianutnya masing-masing. Tetapi ada kalanya kita melihat adanya suatu desa atau
suatu daerah kecamatan yang tidak terdiri dari suatu kesatuan masyarakat adat
atau masyarakat agama tertentu, melainkan berbeda-beda, sehingga karena adanya
perbedaan itu maka diantara masyarakat itu di samping sebagai anggota
kemasyarakatan yang resmi, ada pula yang membentuk kesatuan masyarakat adat
keagamaan yang khusus sesuai dengan kepentingan adat keagamaaan mereka. Jadi
ada masyarakat yang merupakan kesatuan masyarakat “desa umum” berdasarkan
ketentuan perundangan dan ada “desa adat” yang khusus.
5.
Masyarakat
Adat Perantauan
Masyarakat
desa adat keagamaan Sadwirama tersebut merupakan suatu bentuk baru bagi
orang-orang Bali untuk tetap mempertahankan eksistensi adat dan agama Hindunya
di daerah perantauan. Lain halnya dengan masyarakat adat Melayu, seperti orang
Aceh, Batak, Minangkabau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan lainnya, yang berada di daerah perantauan cenderung membentuk
kelompok-kelompok kumpulan kekeluargaan seperti “rukun kematian”, atau
membentuk sebagai “kesatuan masyarakat adat” yang berfungsi sebagai pengganti
kerapatan adat di kampung asalnya.
Di dalam
organisasi perkumpulan tersebut duduk para tetua adat dari masyarakat adat
bersangkutan, dengan susunan pengurus: Ketua, Sekretaris, Bendahara dan para
anggota. Susunan kepengurusan itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang
ada di perantauan. Jadi tidak lagi tersusun sebagaimana susunan asli di daerah
asalnya, begitu pula hukum adat yang diterapkan tidak lagi sempurna sebagaimana
di daerah asalnya.
6.
Masyarakat
Adat Lainnya
Di dalam kehidupan
masyarakat kita dapat menjumpai pula bentuk-bentuk kumpulan organisasi yang
ikatan anggota-anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang tidak
berdasarkan pada hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan
pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa dan
berbeda agama. Bentuk masyarakat adat ini kita temukan di berbagai instansi
pemerintah atau swasta, atau di berbagai lapangan kehidupan sosial ekonomi yang
lain. Kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama
melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang baru.
D. Unsur-unsur Hukum Adat
Menurut Soerjono dalam
bukunya Hukum Adat memiliki dua unsur, yaitu:
1. Unsur Kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat.
2. Unsur Psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban
hukum (opinio yuris necessitatis). Selain itu Soerjono Soekanto dalam
bukunya juga menyebutkan unsur-unsur hukum adat sebagai berikut
:
1. Hukum asli Indonesia;
2. Hukum agama;
3. Kenyataan walaupun hukum adat ini tidak tertulis tapi dipatuhi oleh masyarakat;
4. Punya kekuatan hukum;
5. Bidang-bidang hukum adat.
Adapun unsur
lainnya dari unsur- unsur hukum adat terdiri dari:
1. Unsur Asli
a. Perbuatan tingkah laku masyarakat
b. Keputusan- keputusan para tokoh adat/para yg berwibawa
c. unsur Agama
2. Unsur Asing
Terbentuknya hukum adat melalui unsur asing, itu dikarenakan hukum adat bersifat terbuka, ia tidak menolak unsur-unsur yang datang dari luar, asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Contoh : terjadinya perkawinan di antara dua orang yang berbeda adat.
E. Ciri-ciri Masyarakat Hukum Adat
1. Magis-religius: setiap perbuatan dilandasi oleh agama dan kepercayaan. Alam pikiran masyarakat adat dipengaruhi berdasarkan atas azas-azas ilmu gaib yang mereka percayai seperti pada kehidupan dewa-dewa.
2. Komunal: setiap orang merasa benar-benar menjadi anggota masyarakat dan bukan sebagai oknum yang hidup mandiri. Hal itu dilandasi oleh:
a. Kepentingan pribadi selalu terkait dengan kepentingan umum.
b. Gotong royong, sambat sinambat.
3. Participle-cosmis: masyarakat adat tidak dapat melepaskan dirinya dari perasaan, persatuan, kebatinan dari anggota masyarakat yang lain. Jadi di antara mereka terdapat ikatan yang kuat satu sama lain. Anggota masyarakat itu benar-benar merupakan bagian dari anggota masyarakat yang lain selain sebagai individu yang berdiri sendiri.
4. Konkrit: alam pikiran anggota masyarakat berdasarkan hal-hal yang nyata. Contoh: Panjar dalam rangka akan melaksanakan jual beli.
5. Tunai/kontan: suatu prestasi yang harus dibayar dengan prestasi pada waktu yang bersamaan. Contoh : jual lepas.
6. Tradisional: artinya turun-temurun berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
F. Susunan Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan geneologis
(keturunan), susunan masyarakat hukum adat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Struktur masyarakat matrilineal
Yaitu struktur masyarakat dimana orang menarik garis
hukum dengan menggabungkan diri dengan orang lain melalui garis perempuan.
Contohnya perkawinan semendo. Ciri-ciri perkawinan semendo adalah endogami dan
matrilokal.
a.
Endogami, berarti bahwa menurut hukum adat perkawianan yang
ideal dalam sistem perkawinan semendo adalah apabila jodoh diambil dikalangan
sukunya sendiri.
b.
Matrilokal, mengandung arti bahwa menurut hukum adat semendo,
tempat tinggal bersama dalam perkawinan adalah ditempat tinggal istri.
Contoh masyarakat perkawinan semendo
adalah masyarakat Minangkabau.
2. Struktur masyarakat patrilineal
Yaitu susunan masyarakat
dimana orang menarik garis hukum dalam hubungan diri dengan orang lain melalui
garis laki-laki. Contohnya kawin jujur. Ciri-ciri perkawinan jujur adalah eksogami
dan patrilokal.
a.
Eksogami, menurut hukum adat
perkawinan jujur, perkawinan yang ideal adalah apabila jodoh diambil dari luar
marganya sendiri.
b.
Patrilokal, menurut hukum adat
perkawinan jujur, tempat tinggal bersama dalam perkawinan adalah tempat
tinggalnya suami.
Contoh :
masyarakat Gayo, Batak, Bali, serta Sumatra Selatan.
3. Struktur masyarakat patrilineal beralih-alih
Yaitu struktur masyarakat di
mana orang menarik garis hukum dengan menghubungkan diri dengan orang lain
beralih-alih antara perempuan dengan garis laki-laki, tergantung pada bentuk
perkawinan yang dipilih oleh orang tuanya.
Apabila orang tua kawin
semendo maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menarik garis
hubungan melalui orang tuanya yang perempuan, begitu juga hukum seterusnya
keatas akan beralih-alih tergantung pada bentuk perkawinan yang dilakukan orang
tuanya.
Contoh : masyarakat Rejang Lebong dan Lampung Pepadon.
4. Struktur masyarakat bilateral/parental
Yaitu struktur masyarakat dimana orang menarik garis
hukum dan hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-laki maupun perempuan.
Pada masyarakat terstruktur secara bilateral, tidak
ada bentuk perkawinan khusus, begitu juga tentang tempat tinggal bersama dalam
perkawinan, tidak ada ketentuan yang jelas.
Contoh : Aceh, Jawa, Sunda, Makasar dan Bugis.
G. Hukum Adat di Indonesia
Setiap wilayah di Indonesia tentunya tidak memiliki hukum adat yang sama. Salah
satu contohnya adalah hukum adat Minangkabau. Hukum adat tersebut mengharuskan
wanita mendapat warisan utuh dari orang tuanya, sedangkan laki-laki Minangkabau
bertugas merantau ke tanah orang untuk mencari harta kemudian ilmu yang mereka
dapatkan di tanah rantau diamalkan di kampung halaman. Berbeda dengan hukum adat
di wilayah Jawa Tengah ataupun Yogyakarta, yang mana anak laki-laki mendapat
warisan yang lebih banyak dibandingkan seorang wanita.
Selain hukum adat diatas yang membahas mengenai pembagian warisan, contoh
hukum adat di Indonesia lainnya adalah hukum adat di Papua di mana jika
seseorang mengalami kecelakaan dan menyebabkan orang lain meninggal, maka orang
tersebut harus membayar ganti rugi berupa sejumlah uang dan ternak babi dalam
jumlah yang sangat besar.
Di sisi lain juga terdapat hukum adat yang sampai saat ini masih dipatuhi
dan enggan dilanggar oleh masyarakat setempat, di mana terdapat larangan
pernikahan antara marga yang sama pada orang Batak (Tapanuli). Hal tersebut
berasalan karena dianggap perkawinan sesama saudara. Sebaliknya hal yang
berlawanan dipercayai oleh suku Dayak. Masyarakat Dayak mengharuskan perkawinan
dilaksanakan dengan sistem endogami. Sistem endogami merupakan perkawinan antar
keluarga yang masih terdapat dalam satu rumpun suku bangsa bersangkutan.
Penutup
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal,
pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya kebiasaan pribadi,
dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi
kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiasaan itu menjadi adat. Jadi adat
adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Suatu hal yang rasional apabila interaksi sosial mengambil peran
yang penting dalam kelompok masyarakat. Hukum adat sendiri tidak berlaku begitu
saja namun ada dasar hukum berupa undang-undang yang mengatur berlakunya hukum
adat di Indonesia.
Referensi
Hadikusuma, Hilman. 1992.
Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.
Bandar Lampung: CV. Mandar Maju.
Kosnoe, Moh. 1992. Hukum
Adat Sebagai Suatu Model Hukum. Bandung: Mandar Maju
Nurhayani, Neng Yani. 2013. Diktat Kuliah/Bahan Ajar Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Bandung: FSH.
R. Soepomo. 1962. Bab-bab tentang Hjukum Adat. Jakarta:
Pranadya Paramita
Soekanto, Soerjono. 2005. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syahrizal. 2004. Hukum
Adat dan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Nadia Foundation.