Persangkaan dan Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata

 

Hukum Acara Perdata

Alat Bukti Persangkaan dan Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata

Persangkaan Undang-undang

Terdiri dari presumptions juris tattum yang memungkinkan adanya bukti lawan sebagaimana dimaksud Pasal 1921 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Ketentuan yang terkait misalnya Pasal 633, 658,  dan 1394 KUH Perdata. Dan presumptions juris et de jure yang memungkinkan adanya bukti lawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1921 ayat (1) KUH Perdata. Ketentuan yang terkait misalnya Pasal 184, 911, 1681, 1917, dan 1439 KUH Perdata.

Persangkaan undang-undang timbul dari terbuktinya suatu peristiwa oleh undang-undang sehingga dapat disimpulkan terbuktinya suatu peristiwa lain. Salah satu persangkaan undang-undang yang disebut dalam ketentuan Pasal 196 KUH Perdata adalah pengakuan di muka sidang. Menurut Pasal 1921 alinea 2 KUH Perdata, pembuktian melawan persangkaan dikemukakan pihak lawan yang membawa arti bahwa kebenaran gugatan berdasarkan dalil yang telah diakui itu seketika menjadi terbukti dan oleh karena itu gugatan harus dikabulkan. Dalam hukum pembuktian hukum acara perdata, pengakuan dan tidak disangkalnya dalil-dalil pihak lawan mempunyai kekuatan bukti yang sama artinya dengan dalil tersebut dianggap terbukti sehingga gugatan harus dikabulkan oleh hakim.

“Tiap-tiap pengakuan harus diterima seluruhnya dan hakim tidak leluasa untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku itu, kecuali jika orang yang berutang bermaksud untuk melepaskan dirinya dengan menyebutkan bersama pengakuan itu beberapa perbuatan yang nyata palsu.”

Pasal 196 HIR mengatur tentang pengakuan yang tidak dapat dipisahkan (onsplitsbare bekentenis) karena itu pembuktian harus diterima dengan bulat. Persangkaan sangat berguna apabila dalam satu perkara sangat sulit diperoleh saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang dibuktikan.

 

Pengakuan (Bekentenis Confession)

Pasal 174, 175, dan 176 HIR mengatur perihal pengakuan. Terdapat dua macam pengakuan yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang. Dalam Pasal 174 HIR, disebutkan bahwa pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku itu. Pengakuan itu diucapkan sendiri atau oleh orang istimewa yang dikuasakan untuk melakukannya. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.

Pasal 175 HIR mengatur perihal pengakuan yang dilakukan di luar sidang yang menyebutkan bahwa diserahkan kepada pertimbangan hakim dan wawasan hakim akan menentukan kekuatan mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang diperbuat di luar hukum kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim atau pengakuan di luar pengadilan merupakan bukti bebas yang berarti bahwa hakim leluasa untuk memberikan kekuatan pembuktian atau hanya menganggap sebagai bukti permulaan.

Pasal 165 HIR menyebutkan apabila tergugat mengajukan sesuatu hal untuk melepaskan diri dari tuntutan itu, maka ia diwajibkan membuktikan apa yang ia ajukan itu.

Pasal 176 HIR menyimpang dari Pasal 165 HIR yang menetapkan bahwa tiap-tiap penyangkalan atas gugatan, penggugat dapat mengajukan lagi bukti-bukti untuk memperkuat gugatannya penggugat dapat mengajukan bukti yang menyatakan bahwa keterangan atas pengakuan diajukan tergugat tidak benar. Apabila penggugat berhasil dalam pembuktiannya, maka ia dapat meminta kepada hakim agar diadakan pemisahan terhadap pernyataan tergugat. Dapat disimpulkan bahwa Pasal 176 HIR dan Pasal 1924 KUH Perdata mengatur tentang:

·         Pembagian bahan pembuktian;

·         Pengakuan dengan kualifikasi disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari lawan;

·         Pengakuan dengan klausul disertai dengan keterangan tambahan yang  sifatnya membebaskan.

 

 

Sumber: Kuliah mingguan Hukum Acara Perdata Bersama Agus Salide, SH., M.H. (14 Mei 2018)


Post a Comment

Previous Post Next Post