Seni Kaligrafi Islam: Sebuah Simbol Spiritual

 

Seni kaligrafi Islam sebagai simbol spiritual

Pendahuluan

Sebagai karya dari seni Islam, kaligrafi sering dipandang sebagai induk seni Islam. Ia bukan hanya merepresentasikan pesan agung dari teks-teks suci agama, tapi juga menunjukkan kehadiran Sang Adiluhung, Tuhan semesta alam. Beragam medium kaligrafi seperti tertulis di mushaf, dinding, dan permadani, membantu umat Islam menembus ke dalam dan sekaligus ditembusi kehadiran Ilahi itu sesuai dengan kapasitas spiritual setiap muslim.

Kesenian Islam menyahut seruan sebilangan keperluan atas masyarakatnya. Ia juga mengukuhkan persiapan individu untuk mematuhi ajaran Tuhan selaras dengan tujuan asas penciptaan mereka. Pernyataan seni ibarat kaedah di antara zat spiritual dan rangka material. Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab para seniman untuk menerjemahkan ide Islam ke dalam bahasa seni. Menurut perspektif Islam, daya kreatif seni adalah dorongan atau desakan yang diberikan oleh Allah yang perlu digunakan sebagai bantuan untuk memeriahkan kebesaran Allah.

Kaligrafi adalah suatu hasil kesenian yang terus berkembang hingga mencapai tangga tertinggi terkenalnya melebihi berbagai seni Islam lainnya. Bahkan, jika dibandingkan dengan bentuk jenis seni Islam lainnya, kaligrafi Arab tetap menduduki deretan puncak yang tidak pernah dicapai oleh seni tulis mana pun di dunia ini. Pada masa berikutnya, kaligrafi terus mengalami inovasi yang sangat pesat baik dari desain ragamnya, cara penulisannya, sampai pada inovasi model dan visualisasinya. Dan keseluruhan itu menjadi suatu simbol dari spiritualisme seniman yang membuatnya.

Seni kaligrafi Islam  menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan dimensi kehidupan masyarakat muslim, dan seni dalam beragam bentuknya merupakan upaya manusia menggambarkan dan mengekspresikan sesuatu yang ia rasakan dalam batinnya tentang berbagai bentuk ekspresi yang indah, ilustratif dan memiliki daya pengaruh yang kuat. Mikke Susanto dalam bukunya “Membongkar Seni Rupa” sebagaimana dikutip oleh Jenny Ratna Ika Setiawati menyatakan bahwa seni dan agama bertemu dalam satu jiwa. Agama memberi materi dasar bagi seniman mengenai persepsi dasar tentang Tuhan, alam, manusia dan kehidupan, dengan begitu ekspresi seniman merupakan ekspresi keimanan dan keindahan sekaligus.

Menurut Nasr sebagaimana dikutip oleh Laily Fitriani, Kaligrafi Islam adalah pengejawantahan visual dari kristalisasi realitasrealitas spiritual (al haqa'iq) yang terkandung di dalam wahyu Islam. Kaligrafi datang untuk menduduki posisi khusus yang sangat istimewa dalam Islam sehingga dapat disebut sebagai leluhur seni visual Islam tradisional dan memiliki jejak yang sangat istimewa dalam peradaban Islam.

 

Asal Mula Lahirnya Tulisan Arab

Dari catatan sejarah dapat diketahui bahwa alfabet Arab yang berjumlah 28 huruf konon berasal dari huruf Nabthiyah (Nabatea) yang sudah mulai digunakan oleh bangsa Arab di masa jahiliyah (masa pra Islam) di samping huruf/abjad Ibrani yang mereka pinjam dari orang-orang Yahudi yang di masa sebelum Islam mendiami daerah-daerah di sekitar Madinah (Yastrib) atau Mekah.

Huruf Nabthiyah sendiri ialah huruf yang digunakan oleh bangsa Nabthy yang mendiami bagian utara jazirah Arabia sejak 150 SM dan telah memiliki sebuah pemerintahan (kerajaan) yang kokoh yang wilayahnya meliputi daerah Damaskus, Madyan, Selat Aqaba, Hijaz, Palestina, dan Hirah. Tetapi kemudian kerajaan ini hancur oleh imperium Romawi pada tahun 105 M. Bangsa Nabthy yang tidak suka dengan pemerintahan Romawi banyak yang melarikan diri ke daerah pedalaman jazirah Arab seperti Hijaz dengan membawa kebudayaan mereka yang kemudian mereka kembangkan.

Penduduk pedalaman Hijaz pada saat itu belum mengenal tulisan. Hal itu dikarenakan masyarakatnya masih nomaden, yaitu sering berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sebenarnya masyarakat Nabthy juga merupakan kelompok masyarakat yang masih sering berpindah-pindah tempat, namun mereka telah mengenal tulisan. Mereka dapat dikatakan sebagai masyarakat yang telah mengalami peradaban yang cukup maju sebelum akhirnya runtuh oleh serangan imperium Romawi.

 

Awal Mula Munculnya Kaligrafi

Ungkapan kaligrafi (calligraphy) yang selama ini dipakai, berasal dari bahasa Inggris yang disederhanakan. Calligraphy diambil dari kata latin kallos yang berarti indah dan graphein yang berani tulisan atau aksara. Arti kaligrafi secara utuh adalah kepandaian menulis tulisan elok dan indah yang dalam bahasa Arab disebut khat yang berarti garis atau tulisan indah. Salah satu definisi lengkap khat antara lain dikemukakan Shekh Shamsuddin al-Akfani dalam kitab lrsyad al-Qasid, bab “Hars al-‘Ulum” sebagaimana dikutip oleh Islah Gusmian yaitu:

Khat (kaligrafi) adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun, atau apa yang ditulis di atas garis-garis; bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; menggubah ejaan yang perlu digubah serta menentukan cara menggubahnya.

Ada banyak pendapat mengenai tokoh yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Barangkali cerita-cerita keagarnaan yang berkembang, yang paling dapat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat Nabi Adam sebagai orang yang pertama kali mengenal kaligafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah sendiri melalui wahyu. Inilah barangkali yang dimaksud Alquran bahwa “Allah mengajari Adam pengetahuan tentang semua nama” seperti yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 31. Dikisahkan bahwa 300 tahun sebelum wafat, Adam menulis di atas lempengan tanah yang selanjutnya dibakar dan menjadi tembikar. Setelah air surut pasca banjir besar di zaman Nabi Nuh as, setiap bangsa atau kelompok keturunan mendapatkan tembikar bertulisan tersebut. Dari peristiwa itu kemudian dianggap bahwa setiap bangsa telah mempunyai tulisan sendiri-sendiri.

 

Pengaruh Alquran Terhadap Perkembangan Kaligrafi

Berbeda dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir Kuno, Babilonia dan Cina, yang seluk-beluk sistem tulisannya bermula ribuan tahun sebelumnya, bangsa Arab dalam hal ini merupakan pendatang yang benar-benar terlambat. Walaupun huruf Arab menempati uruan kedua sesudah huruf Latin dalam pemakaiannya sampai dewasa ini, namun sebenarnya huruf Arab baru berkembang jauh di kemudian hari.

Keterlambatan perkembangan ini karena bangsa Arab pada umumnya adalah masyarakat pengembara yang tidak begitu memperhatikan bahasa tulis. Mereka bertumpu pada tradisi lisan untuk kepentingan komunikasi dan penyebaran berita. Pada masa sebelum Islam, khususnya pada abad ke-6 M yang merupakan zaman kesusastraan yang penuh semangat kepahlawan bagi bangsa Arab, puisilah barangkali yang akrab di antara mereka, dan merupakan satu-satunya bentuk pengungkapan sastra. Akan tetapi mereka bertumpu sepenuhnya pada tradisi lisan dalam mengabadikan sajak-sajak mereka. Menurut tradisi sastra Arab, hanya tujuh buah sajak pujian yang bemama al-mu'allaqat yang dinyatakan sebagai karya agung, ditulis dengan huruf emas dan digantung di dinding Ka’bah. 4 Bahkan sesudah lahimya Islam pada awal abad ke-7, Alquran disiarkan pertama kali di kalangan orang Islam tidak melalui tulisan tetapi dengan tradisi lisan.

Sekalipun demikian, sekali mereka menyadari perlunya menyalin bahasa mereka dalam tulisan, maka segera mereka mengungguli bangsa lain di dunia dalam seni menulis indah (kaligrafi). Dalam waktu yang sangat singkat mereka menghasilkan seni kaligrafi yanng amat mengagumkan, yaitu seni mengalihkan bentuk huruf Arab ke dalam medium seni yang mencerminkan kejeniusan bakat seni mereka yang menakjubkan. Perkembangan ini sangat terkait dengan peran Alquran. Seperti dapat dilihat bahwa wahyu pertama menyinggung perintah “membaca” dan “menulis” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5), sebagai ajaran yang mendominasi tempat tertua di antara ajaran-ajaran Islam lainnya. Dapat dipastikan bahwa qalam atau pena dalam konteks ayat tersebut memiliki kaitan erat dengan seni menulis. Kekuatan magis dari ayat Alquran yang lain dapat ditemukan dalam ayat pertama surat al-Qalam, yang artinya: “Nun, perhatikanlah qalam dan apa saja yang mereka tulis!”

 

Kedudukan Kaligrafi dalam Islam

Dibandingkan dengan seni Islam yang lain, kaligrafi memperoleh kedudukan paling tinggi, dan merupakan ekspresi spirit Islam yang sangat khas. Oleh karena itu kaligrafi sering disebut sebagai “seninya seni Islam”. Kualifikasi ini memang pantas karena kaligrafi mencerminkan kedalaman makna seni, yang esensinya berasal dari nilai dan konsep keimanan. Oleh sebab itu kaligrafi berpengaruh besar terhadap bentuk ekspresi seni yang lain atau dengan kata lain, terhadap ekspresi kultural secara umum. Hal ini diakui oleh para sarjana Barat yang banyak mengkaji seni Islam, seperti Martin Lings, Titus Burckhardt, Annemarie Schimmel, dan Thomas W. Arnold.

Keistimewaan kaligrafi dalam seni Islam terlihat terutama karena merupakan suatu bentuk “pengejawantahan” firman Allah SWT yang suci. Disamping itu, kaligrafi merupakan satu-satunya seni Islam yang dihasilkan murni oleh orang Islam sendiri, tidak seperti jenis seni Islam lain (seperti arsitektur, seni lukis dan ragam hias) yang banyak mendapat pengaruh dari seni dan seniman non-muslim. Tidak mengherankan jika sepanjang sejarah, penghargaan kaum muslim terhadap kaligrafi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis seni yang lain.

 

Kaligrafi sebagai Simbol Spiritual

Dalam dunia Islam, kaligrafi tidak saja sebagai sebuah ekspresi seni, tetapi bentuk-bentuk dan irama geometri matematik yang digoreskannya yang berawal dari berbagai titik, telah menjadi suatu ekspresi dari simbol-simbol spiritual yang cukup menggetarkan jiwa. Setiap huruf mempunyai kepribadian tersendiri untuk melambangkan bentuk visual Tuhan dan sifa-Nya, ataupun melambangkan gerak-gerak hati kehambaan. Setiap karakter dari semua huruf menjadi tafsir atas kesadaran spiritual.

Secara umum bentuk-bentuk huruf kaligrafi Islam mempunyai dua karakter, yaitu: vertikal dan horizontal. Bentuk tegak alif yang kukuh misalnya, merupakan ekspresi simbolik dari pengakuan sang kaligrafer akan adanya Zat Yang Maha Tinggi. Alif dengn vertikalitasnya melambangkan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Prinsip Transenden yang dari-Nya segala sesuatu berasal. Pada nama Allah dalam tulisan Arab, kita melihat dengan jelas suatu garis horizontal, yakni gerak penulisnya, kemudian garis tegak lurus dari alif dan lam dan semacam garis melingkar yang secara simbolik dapat disamakan dengan suatu lingkaran. Tiga unsur ini seperti menunjukkan tiga dimensi yaitu: ketenangan yang “horizontal” dan tak ubahnya seperti gurun atau lapisan salju; kekuasaan yang “vertikal” bagai kekokohan gunung; dan misteri yang memanjang “ke dalam” serta berhubungan dengan Zat Allah.

Sedangkan gerakan horizontal merupakan gerakan kesetiaan pada prinsip kepenulisan dan kesesuaian serta keharmonisan antara goresan satu dengan goresan yang lain. Ini adalah simbol dari suatu masyarakat yang mampu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sehingga terbentuk pluralitas hidup yang harmonis. Bila dalam kaligrafi prinsip keseimbangan, kesamaan dan keharmonisan bentuk menjadi ciri keprimordialannya, maka dalam hidup masyarakat terdapat prinsip keadilan, kebebasan dan keamanan atas hak-hak individu yang dilestarikan agar kehidupan berjalan terus dengan baik.

 

Penutup

Sebagai sebuah seni, kaligarafi dapat menjadi simbol yang ingin diungkapkan oleh pembuatnya. Salah satu simbol itu adalah simbol spiritual keislaman yang diwujudkan dalam bentuk huruf beserta rangkaiannya. Setiap huruf memiliki arti tersendiri yang menggambarkan relasi antara Tuhan dengan hamba-Nya, berbagai hikmah kehidupan, dan hal-hal lainnya termasuk yang menyangkut berbagai persoalan transenden yang tergambar dalam jiwa pembuatnya dan disimbolkan dalam sebuahn seni kaligrafi.

 



Referensi

Alquran Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. (2010). Bandung: Jabal.

Fitriani, Laily. (tt). Seni Kaligrafi: Peran Dan Kontribusinya Terhadap Peradaban Islam. Tidak Diterbitkan. Malang: Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Gusmian, Islah. (2003). Kaligrafi Islam; Dari Nalar Seni Hingga Simbolisme Spiritual. Al-Jami’ah, Vol. 41, No. 1 Tahun 2003 M/1424 H. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Ratna Ika Setiawati, Jenny. (2016). Drawing Kaligrafi Islam Abd. Aziz Ahmad: Sebuah Kajian Dimensi Spiritualitas Seni Islam (Tesis). Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

Rispul. (2012). Kaligrafi Arab Sebagai Karya Seni. Tsaqafa, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012, hlm. 9-18. Yogyakarta: Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.

Sutirman, Maman. (2011). Periodesasi Kesusastraan Arab. Bandung: Sastra Unpad Press.

 

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post