Terjadinya KDRT Akibat Kesalahan Interpretasi Ayat Suci

 

Kekerasan dalam rumah tangga

Terjadinya KDRT Akibat Kesalahan Interpretasi Ayat Suci

Pendahuluan

Upaya penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah dilakukan dan dijadikan salah satu prioritas utama yang dilakukan oleh setiap negara di dunia. KDRT masuk ke dalam salah pembahasan Suistenanble Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang termuat dalam poin nomor 5 yaitu Kesetaraan Gender (Gender Equality). Adanya tujuan pembangunan keberlanjutan ini dimaksudkan untuk menghilangkan budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai subordinan dari laki-laki. Laki-laki dianggap lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan karena kaum laki-laki dinilai lebih cerdas, kuat, dan memiliki emosional yang stabil. Padahal sebagai sesama manusia, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara.

Ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya ketimpangan yang mengarah kepada KDRT. Padahal kesetaraan ini adalah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)/Human Rights yang mesti dijunjung tinggi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa HAM itu wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Jauh sebelum lahirnya undang-undang itu, sebenarnya pengaturan tentang larangan KDRT telah tertulis dalam teks kitab suci Alquran maupun hadis. Namun kebanyakan orang tidak dapat memahaminya dengan benar dikarenakan sifat Alquran yang global. Begitupun dengan kebanyakan hadis sehingga memerlukan berbagai penafsiran untuk dapat memahaminya dengan benar. Penafsiran-penafsiran Alquran  dan hadis tersebut dilakukan oleh para ahli tafsir yang banyak sedikitnya mengandung bias. Adanya bias tersebut terutama dalam persoalan gender antara laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai ketimpangan yang lain.

Baik disengaja atau tidak, agama sering dilibatkan dalam unsur pembentuk pengetahuan relasi antara laki-laki dan perempuan yang timpang. Hal ini seolah menjadi landasan teologis yang menjadi legitimasi atas ketimpangan tersebut yang banyak menimbulkan kerugian bagi pihak perempuan. Ditambah lagi status agama sebagai dogma yang tidak dapat dibantahkan lagi oleh para penganutnya. Dalam ajaran yang umum diterima oleh masyarakat secara luas, laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada perempuan sehingga dirasa punya hak lebih dan otoritas atas perempuan.

Tidak setiap orang dapat memahami naskah teks agama meski telah diberikan penjelasan terhadap naskah tersebut melalui buku-buku tafsir yang disusun oleh para ahli tafsir. Oleh karena itu alternatif lain yang paling mudah untuk memahami naskah teks kitab suci itu adalah dengan meminta penjelasan kepada orang yang dianggap paham seperti ustadz, kyai, ataupun yang lainnya yang dipercaya oleh masyarakat. Tokoh agama mempunyai peranan penting di dalam masyarakat dan keberadaannya merupakan salah satu kebutuhan yang mempunyai urgensi tinggi, terutama sebagai pemberi penjelasan kepada masyarakat terhadap persoalan agama yang salah satunya adalah mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan.

 

Ayat-Ayat dalam Alquran yang Membicarakan tentang Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan yang Biasa Diinterpretasikan dengan Salah

Ada banyak ayat Alquran yang berkenaan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan yang sering dipahami sebagai ayat yang bias gender. Ayat-ayat ini pula sering dipahami sebagai justifikasi terhadap perilaku KDRT karena memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinannya. Namun dari sekian banyaknya ayat Alquran yang biasa dipahami demikian, setidaknya ada dua ayat Alquran yang paling banyak digunakan dalam hal tersebut.

1.      QS. An-Nisa [4] ayat 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

Artinya:

34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

 

Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Ayat di atas sering dipahami dengan salah oleh sebagaian besar orang. Ayat tersebut dijadikan legitimasi atas posisi superior laki-laki terhadap perempuan. Sehingga, dikarenakan posisinya yang superior, laki-laki dianggap memiliki hak yang lebih atas perempuan yang dalam hal ini adalah istrinya. Tindakan sewenang-wenang pun dianggap legal dikarenakan laki-laki adalah pemimpin dan berhak serta berkuasa terhadap yang dipimpinnya.

Keadaan tersebut semakin memberikan keleluasaan terutama di kalangan masyarakat yang menganut paham patriarki. Paham dan budaya patriarki tersebut seolah mendapat legitimasi dengan adanya penafsiran terhadap ayat di atas yang demikian. Bahkan sebagian dari ajaran agama yang disampaikan oleh orang-orang yang dianggap tahu dan paham seperti mubaligh adalah demikian. Mubaligh banyak beranggapan bahwa apa yang mereka pahami dari kitab-kitab tafsir yang disusun oleh para ahli tafsir memang begitu adanya. Meskipun ada beberapa mubaligh lain yang mengatakan bahwa penafsiran ayat Alquran harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada dan tidak boleh stagnan.

Budaya hegemoni yang pratriarkis masih kental di masyarakat Indonesia dan hubungan hegemoni inilah yang sebenarnya akar persoalan kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian kunci persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah pada kultur hegemoni yang belum berhasil di bongkar. Dengan adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap ayat Alquran sebagaimana disebutkan tadi, budaya patriarki ini akan semakin sulit untuk dihilangkan. Padahal yang sebenarnya, Islam mengajarkan kesetaraan sesama manusia. Tidak terkecuali kesetaraan hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga.

Dalam kehidupan masyarakat yang luas, ditemukan kesan bahwa seksualitas dalam rumah tangga adalah hak bagi laki-laki dan kewajiban bagi perempuan. Cukup banyak hadis yang dikemukakan sebagai dasar pendapat mereka. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa bila seorang istri menolak diajak oleh suaminya ke tempat tidur, maka ia akan dikutuk malaikat sampai pagi bila suaminya tersinggung karena perilakunya tersebut. Ada juga yang mengemukakan bahwa dalam keadaan bagaimanapun perempuan wajib melayani suami dengan mengutip hadis yang menyatakan bahkan jika sedang di atas punggung onta sekalipun, seorang istri harus melayani suaminya bila suaminya berkehendak. Pemahaman yang sama dijumpai baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Pemahaman mereka tentang hak-hak dan kewajiban seksual diperoleh dari sebagian mubalig. Di antara hadis-hadis yang sering dijadikan rujukan oleh sebagian mubalig dalam menyampaikan pengajian yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban seksual suami-istri di dalam rumah tangga adalah: Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah bersabda, “Apabila laki-laki  (suami) mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian istrinya menolak untuk datang lalu suaminya tertidur dalam keadaan marah kepadanya, maka istrinya dilaknat oleh malaikat sampai subuh” (HR Ahmad Buchari dan Muslim) dalam Hamidi (1994). Hadis berikutnya yang juga sering dirujuk adalah yang artinya: Dari Abdullah binti Abi Aufa, Ia berkata Rasulullah SAW bersabda, “Demi Zat yang diri Muhammad dalam kekuasaanNya tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya, seandainya suaminya menghendaki dirinya, sekalipun ia sedang berada di atas punggung onta maka ia tidak boleh menolaknya (HR Ahmad dan Ibnu Majah) dalam Hamidi (1994) sebagaimana dikutip oleh Fatmariza.

 

2.      QS. AN-Nisa [4] ayat 128

وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨

Artinya:

128. Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

Ayat diatas sering dikenal dengan ayat yang menjelaskan tentang nusyuz. Nusyuz adalah melalaikan terhadap hak dan kewajiban yang dilakukan baik oleh istri maupun suami. Tetapi yang dikenal luas oleh masyarakat nusyuz itu hanyalah apabila istri yang melakukan kelalaian terhadap hak dan kewajibannya. Istri membangkang kepada suaminya. Pembangkangan tersebut dapat disebabkan banyak alasan. Misalnya, istri punya hak yang tidak dipenuhi oleh suaminya atau ada tuntutan dari suaminya yang terlalu berlebihan. Jadi, dalam hal ini nusyuz menjadi suatu bentuk protes istri terhadap kesewenang-wenangan suami.

Pemahaman ini bukan tidak berdasar, tetapi hukum positif yang dibuat di Indonesia yang menyebutkan demikian. Dan hal itu menunjukkan adanya bias gender. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 84 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa, Istri dapat dianggap nusyuz apabila ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. Pasal tersebut seolah-olah menyebutkan bahwa istilah nusyuz itu hanya ada pada istri yang tidak melaksanakan kewajibannya karena alasan yang tidak sah.

Seorang istri dikatakan nusyuz, apabila ia meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan tidak memberikan hak suaminya. Seperti diungkapkan Muhammad Ali al-Shabbuni, yang dimaksud dengan nusyuz istri adalah “kedurhakaan dan penolakan istri dari menaati suami.” Istri juga dianggap nusyuz “jika tidak taat dan atau tidak mau diajak suami tidur bersama, atau istri keluar rumah tanpa seizin suami.” Ahmad bin Isma’il mengumpamakan perbuatan nusyuz istri antara lain istri tidak mau digauli oleh suami tanpa alasan yang jelas menurut syara’, keluar rumah tanpa seizin suami yang tujuannya bukan ke tempat hakim guna membela haknya atas suami, atau membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah. Pendapat lain mengatakan bahwa istri nusyuz adalah seorang istri yang keluar rumah, bepergian (istri musafir), atau berihram ketika haji tanpa seizin suami, kecuali keluarnya istri tersebut karena darurat. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa istri dikataan nusyuz apabila istri melakukan puasa sunah tanpa seizin suami,  dan ketika istri diajak suami “kumpul” menolak dengan alasan sedang melakukan puasa sunah maka gugurlah nafkahnya.

Agama merupakan alasan yang dipilih oleh suami maupun istri dalam membenarkan kekerasan dan perilaku kekerasan dalam rumah tangga. Ini terungkap dalam  penelitian-penelitian tentang tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.. Kondisi seperti ini dapat dipahami karena dalam realitas masyarakat menurut Umar (1997) sebagaimana dikutip oleh Fatmariza sulit membedakan mana pesan atau ajaran yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Hal ini terjadi karena agama yang dipahami dan diyakini sebagian besar masyarakat adalah agama sebagaimana yang telah ditafsirkan oleh para mufassir dan disampaikan oleh para mubalig. Menyikapi hal ini kalangan mubalig mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa apa yang disampaikan sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan oleh para mufassir. Mempertanyakan kebenaran tafsiran ayat atau hadis menurut mereka akan berakibat terhadap munculnya tafsiran-tafsiran sesuai dengan kemauan kelompok atau kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga hal ini dikhawatirkan dapat menjadikan ajaran agama tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya. Karena itu mereka tetap berpegang dan yakin terhadap apa yang sudah ada dan diyakini sejak lama. Namun demikian, mereka tidak setuju bahwa agama membolehkan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Perlu digarisbawahi, kata “memukul” dalam ayat tersebut metaforis, yakni dalam pengertian mendidik dan memberikan pelajaran. Sebagian ulama dan ahli tafsir mengatakan bahwa boleh memukul bila dalam kondisi terpaksa, dengan ketentuan, (1) dilarang memukul dengan menggunakan alat dan (2) tidak memukul di bagian wajah dan hanya satu bagian tertentu saja. Ketiga, tidak memukul yang berakibat cedera. Sebenarnya secara harfiah, nusyuz berarti membangkang atau tidak tunduk pada Tuhan. Dalam Islam, tidak ada ketundukan selain pada Tuhan. Sayangnya, nusyuz sering disalahpahami sebagai pembangkangan istri terhadap suami. Lebih fatal lagi, nusyuz sering dikaitkan dengan urusan seksual. Padahal, kalaupun demikian, dalam ayat lain, Alquran menerangkan bahwa salah satu kewajiban suami adalah mempergauli istri dengan akhlak yang baik, dalam kehidupan sehari-hari (kata dan perbuatan), termasuk dalam menyalurkan kebutuhan biologis. Dalam QS. an-Nisa (4): 19 disebutkan: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya

 

Hubungan Penafsiran yang Salah Terhadap Ayat Alquran tentang Nusyuz dan KDRT yang Ada di Indonesia

Sikap nusyuz suami dalam arti luas pada praktiknya cenderung diidentikkan pada istilah tindakan KDRT. Dalam hukum positif, istilah KDRT, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir berkat perjuangan panjang para aktivis perempuan dari berbagai elemen selama kurang lebih tujuh tahun. Penghapusan KDRT sendiri dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak manusia, keadilan dan kesetaraan gender, nondiskriminasi, dan perlindungan korban (pasal 3). UU ini bertujuan mencegah segala bentuk KDRT, melindungi korban KDRT, menindak pelaku KDRT, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (pasal 4). Sementara itu, sejumlah lembaga maupun organisasi pendampingan perempuan dan masyarakat mencatat bahwa angka dalam kasus-kasus KDRT meningkat dengan jumlah korban yang terus bertambah. KDRT, khususnya terhadap istri, merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang biasa terjadi di masyarakat. Hal ini merupakan masalah serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena, pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup dan terjaga ketat privacy-nya karena persoalannya terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT sering dianggap wajar, karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan.

 

Penutup

Penafsiran yang bias gender dan penafsiran lahiriah terhadap ayat Alquran yang berisi relasi antara laki-laki dan perempuan ditemukan diantaraya pada  QS. An-Nisa` ayat 34 dan ayat 128. Pemahaman yang keliru terhadap QS. An-Nisa ayat 34 dijadikan pembenaran bagi laki-laki untuk menjadi superior bagi perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi subordinan. Sedangkan pada ayat 128, kesalahan dalam interpretasi ayat tersebut menimbulkan pemahaman bahwa laki-laki dapat “mengajari” istrinya yang dianggap nusyuz atau durhaka dengan melakukan tindak kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Penafsiran ini membawa pengaruh yang amat besar apalagi disebarkan juga oleh para mubaligh yang dinilai paham agama sehingga angka KDRT meningkat serta hegemoni budaya patriarki semakin sulit dihilangkan.

Sebenarnya, ada banyak hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya KDRT. Kesalahan memahami ayat suci Alquran hanyalah satu dari sekian banyaknya penyebab yang ada. Selain itu, KDRT sebenarnya tidak hanya terbatas pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, bisa juga antara laki-laki dan laki-laki seperti ayah dan anak laki-lakinya, atau perempuan dan perempuan seperti ibu dan anak perempuannya. Perempuan pun berkemungkinan melakukan tindakan KDRT yang korbannnya adalah laki-laki. Hanya saja, memang sebagian besar yang menjadi korbannya adalah perempuan, sehingga apabila dikatakan KDRT yang tergambar seringnya adalah laki-laki menjadi pelaku dan perempuan yang menjadi korban. Padahal sebenarnya tidak selalu demikian.

 



Referensi

Faizah, Nur. 2013. Nusyuz: antara Kekerasan Fisik dan Seksual. Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H Gresik: Institut Agama Islam (IAI) Qomaruddin Gresik.

Fatmariza. 2012. Fenomena Kekerasan Terhadap Perempuan Di Dalam Rumah Tangga (Pandangan Mubaligh). Humanus, Vol. XI, No. 2 Th 2012: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang.

Hanifah, Abu. 2007. Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Alternatif Pemecahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 03, 2007 : 45-56.

Harnovinsah. (tt). Metodologi Penelitian. Bekasi: Pusat Ajar dan Elearning Universitas Mercu Buana.

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Komilasi Hukum Islam (KHI).

Jamaa, La. 2014. Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Cita Hukum, Vol. II No. 2 Desember  2014. ISSN: 2356-1440. Ambon: Fakultas dan Ekonomi Islam IAIN Ambon.

Kania, Dede. 2018. Hak Asasi Manusia Dalam Realitas Global. Bandung: Manggu Makmur Tanjung Lestari.

Musawwamah, Siti. 2012. Keterlibatan Perempuan Pada Penyelesaian Kasus KDRT  Di Pengadilan Agama. al-Ihkâm, Vol.7 No .1 Juni 2012. Pamekasan: STAIN Pamekasan.

N, Rena Yulia. 2004. Perlindungan Hukum  Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Penegakan Hukum. Mimbar, Volume XX No. 3 Juli – September 2004 : 311 – 326. Bandung: UNISBA.

Nazir, Moh. 2014. Metode Penelitian, Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rahmawaty, Anita. 2014. Perlindungan Hukum atas Kekerasan terhadap Perempuan: Kritisisme atas UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Palastren, Vol. 7, No.1, Juni 2014. Kudus: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.

Rahmita, Nanda Rizki dan Haiyun Nisa. Perbedaan Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Ditinjau dari Usia saat Menikah dan Tingkat Pendidikan. Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2019, Vol. 6,  No. 1, Hal. : 73-84. Indonesia: Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala.

Sari, Rahma Pramudya Nawang. 2012. Nusyuz – Marital Rape (KDRT) Perspektif Hukum Perkawinan Islam. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 2, 2012 M/1434 H Yogyakarta: BP4 KUA Umbulharjo.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

 

 

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post