Terjadinya KDRT Akibat Kesalahan Interpretasi Ayat Suci
Pendahuluan
Upaya penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah dilakukan dan
dijadikan salah satu prioritas utama yang dilakukan oleh setiap negara di
dunia. KDRT masuk ke dalam salah pembahasan Suistenanble Development Goals
(SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang termuat
dalam poin nomor 5 yaitu Kesetaraan Gender (Gender Equality).
Adanya tujuan pembangunan keberlanjutan ini dimaksudkan untuk menghilangkan
budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai subordinan dari laki-laki. Laki-laki
dianggap lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan karena kaum
laki-laki dinilai lebih cerdas, kuat, dan memiliki emosional yang stabil. Padahal
sebagai sesama manusia, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang
setara.
Ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu
penyebab utama terjadinya ketimpangan yang mengarah kepada KDRT. Padahal
kesetaraan ini adalah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)/Human
Rights yang mesti dijunjung tinggi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa HAM itu wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Jauh sebelum lahirnya undang-undang itu, sebenarnya pengaturan tentang
larangan KDRT telah tertulis dalam teks kitab suci Alquran maupun hadis. Namun
kebanyakan orang tidak dapat memahaminya dengan benar dikarenakan sifat Alquran
yang global. Begitupun dengan kebanyakan hadis sehingga memerlukan berbagai
penafsiran untuk dapat memahaminya dengan benar. Penafsiran-penafsiran Alquran dan hadis tersebut dilakukan oleh para ahli
tafsir yang banyak sedikitnya mengandung bias. Adanya bias tersebut terutama dalam persoalan gender antara laki-laki dan
perempuan menimbulkan berbagai ketimpangan yang lain.
Baik disengaja atau tidak, agama sering dilibatkan dalam unsur pembentuk
pengetahuan relasi antara laki-laki dan perempuan yang timpang. Hal ini seolah
menjadi landasan teologis yang menjadi legitimasi atas ketimpangan tersebut
yang banyak menimbulkan kerugian bagi pihak perempuan. Ditambah lagi status
agama sebagai dogma yang tidak dapat dibantahkan lagi oleh para penganutnya. Dalam
ajaran yang umum diterima oleh masyarakat secara luas, laki-laki mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada perempuan sehingga dirasa punya hak lebih dan
otoritas atas perempuan.
Tidak setiap orang dapat memahami naskah teks agama meski telah diberikan penjelasan
terhadap naskah tersebut melalui buku-buku tafsir yang disusun oleh para ahli
tafsir. Oleh karena itu alternatif lain yang paling mudah untuk memahami naskah
teks kitab suci itu adalah dengan meminta penjelasan kepada orang yang dianggap
paham seperti ustadz, kyai, ataupun yang lainnya yang dipercaya oleh
masyarakat. Tokoh agama mempunyai peranan penting di dalam masyarakat dan
keberadaannya merupakan salah satu kebutuhan yang mempunyai urgensi tinggi,
terutama sebagai pemberi penjelasan kepada masyarakat terhadap persoalan agama yang
salah satunya adalah mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan.
Ayat-Ayat dalam Alquran yang Membicarakan tentang Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan yang Biasa Diinterpretasikan dengan Salah
Ada banyak ayat Alquran yang berkenaan dengan relasi antara laki-laki dan
perempuan yang sering dipahami sebagai ayat yang bias gender. Ayat-ayat ini
pula sering dipahami sebagai justifikasi terhadap perilaku KDRT karena
memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinannya.
Namun dari sekian banyaknya ayat Alquran yang biasa dipahami demikian,
setidaknya ada dua ayat Alquran yang paling banyak digunakan dalam hal
tersebut.
1. QS. An-Nisa [4]
ayat 34
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ
بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ
قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
Artinya:
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi wanita. Ayat
di atas sering dipahami dengan salah oleh sebagaian besar orang. Ayat tersebut
dijadikan legitimasi atas posisi superior laki-laki terhadap perempuan.
Sehingga, dikarenakan posisinya yang superior, laki-laki dianggap memiliki hak
yang lebih atas perempuan yang dalam hal ini adalah istrinya. Tindakan
sewenang-wenang pun dianggap legal dikarenakan laki-laki adalah pemimpin dan
berhak serta berkuasa terhadap yang dipimpinnya.
Keadaan tersebut semakin memberikan
keleluasaan terutama di kalangan masyarakat yang menganut paham patriarki.
Paham dan budaya patriarki tersebut seolah mendapat legitimasi dengan adanya
penafsiran terhadap ayat di atas yang demikian. Bahkan sebagian dari ajaran
agama yang disampaikan oleh orang-orang yang dianggap tahu dan paham seperti mubaligh
adalah demikian. Mubaligh banyak beranggapan bahwa apa yang mereka pahami dari
kitab-kitab tafsir yang disusun oleh para ahli tafsir memang begitu adanya.
Meskipun ada beberapa mubaligh lain yang mengatakan bahwa penafsiran ayat Alquran
harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada dan tidak boleh stagnan.
Budaya hegemoni yang pratriarkis masih kental
di masyarakat Indonesia dan hubungan hegemoni inilah yang sebenarnya akar
persoalan kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian kunci persoalan
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah pada kultur hegemoni
yang belum berhasil di bongkar. Dengan adanya pemahaman yang tidak tepat
terhadap ayat Alquran sebagaimana disebutkan tadi, budaya patriarki ini akan
semakin sulit untuk dihilangkan. Padahal yang sebenarnya, Islam mengajarkan kesetaraan
sesama manusia. Tidak terkecuali kesetaraan hak dan kewajiban suami dan istri
dalam rumah tangga.
Dalam kehidupan masyarakat yang luas,
ditemukan kesan bahwa seksualitas dalam rumah tangga adalah hak bagi laki-laki
dan kewajiban bagi perempuan. Cukup banyak hadis yang dikemukakan sebagai dasar
pendapat mereka. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa bila seorang istri
menolak diajak oleh suaminya ke tempat tidur, maka ia akan dikutuk malaikat sampai
pagi bila suaminya tersinggung karena perilakunya tersebut. Ada juga yang
mengemukakan bahwa dalam keadaan bagaimanapun perempuan wajib melayani suami
dengan mengutip hadis yang menyatakan bahkan jika sedang di atas punggung onta
sekalipun, seorang istri harus melayani suaminya bila suaminya berkehendak.
Pemahaman yang sama dijumpai baik pada laki-laki maupun pada perempuan.
Pemahaman mereka tentang hak-hak dan kewajiban seksual diperoleh dari sebagian
mubalig. Di antara hadis-hadis yang sering dijadikan rujukan oleh sebagian
mubalig dalam menyampaikan pengajian yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban
seksual suami-istri di dalam rumah tangga adalah: Artinya: “Dari Abu Hurairah
ra. Ia berkata: Rasulullah bersabda, “Apabila laki-laki (suami) mengajak istrinya ke tempat tidur
kemudian istrinya menolak untuk datang lalu suaminya tertidur dalam keadaan
marah kepadanya, maka istrinya dilaknat oleh malaikat sampai subuh” (HR Ahmad
Buchari dan Muslim) dalam Hamidi (1994). Hadis berikutnya yang juga sering
dirujuk adalah yang artinya: Dari Abdullah binti Abi Aufa, Ia berkata Rasulullah
SAW bersabda, “Demi Zat yang diri Muhammad dalam kekuasaanNya tidaklah seorang
perempuan menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya,
seandainya suaminya menghendaki dirinya, sekalipun ia sedang berada di atas
punggung onta maka ia tidak boleh menolaknya (HR Ahmad dan Ibnu Majah) dalam
Hamidi (1994) sebagaimana dikutip oleh Fatmariza.
2. QS. AN-Nisa [4]
ayat 128
وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ
خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨
Artinya:
128. Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat diatas sering dikenal dengan ayat yang
menjelaskan tentang nusyuz. Nusyuz adalah melalaikan terhadap hak dan kewajiban
yang dilakukan baik oleh istri maupun suami. Tetapi yang dikenal luas oleh
masyarakat nusyuz itu hanyalah apabila istri yang melakukan kelalaian terhadap
hak dan kewajibannya. Istri membangkang kepada suaminya. Pembangkangan tersebut
dapat disebabkan banyak alasan. Misalnya, istri punya hak yang tidak dipenuhi
oleh suaminya atau ada tuntutan dari suaminya yang terlalu berlebihan. Jadi,
dalam hal ini nusyuz menjadi suatu bentuk protes istri terhadap
kesewenang-wenangan suami.
Pemahaman ini bukan tidak berdasar, tetapi
hukum positif yang dibuat di Indonesia yang menyebutkan demikian. Dan hal itu menunjukkan
adanya bias gender. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 84 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa, Istri dapat dianggap nusyuz
apabila ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. Pasal tersebut
seolah-olah menyebutkan bahwa istilah nusyuz itu hanya ada pada istri yang
tidak melaksanakan kewajibannya karena alasan yang tidak sah.
Seorang istri dikatakan nusyuz, apabila ia meninggalkan
kewajibannya sebagai istri dan tidak memberikan hak suaminya. Seperti diungkapkan
Muhammad Ali al-Shabbuni, yang dimaksud dengan nusyuz istri adalah “kedurhakaan
dan penolakan istri dari menaati suami.” Istri juga dianggap nusyuz “jika tidak
taat dan atau tidak mau diajak suami tidur bersama, atau istri keluar rumah
tanpa seizin suami.” Ahmad bin Isma’il mengumpamakan perbuatan nusyuz istri
antara lain istri tidak mau digauli oleh suami tanpa alasan yang jelas menurut
syara’, keluar rumah tanpa seizin suami yang tujuannya bukan ke tempat hakim
guna membela haknya atas suami, atau membolehkan masuk seseorang yang dibenci
suami ke dalam rumah. Pendapat lain mengatakan bahwa istri nusyuz adalah
seorang istri yang keluar rumah, bepergian (istri musafir), atau berihram
ketika haji tanpa seizin suami, kecuali keluarnya istri tersebut karena
darurat. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa istri dikataan nusyuz apabila istri
melakukan puasa sunah tanpa seizin suami,
dan ketika istri diajak suami “kumpul” menolak dengan alasan sedang
melakukan puasa sunah maka gugurlah nafkahnya.
Agama merupakan alasan yang dipilih oleh suami
maupun istri dalam membenarkan kekerasan dan perilaku kekerasan dalam rumah
tangga. Ini terungkap dalam penelitian-penelitian
tentang tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.. Kondisi seperti
ini dapat dipahami karena dalam realitas masyarakat menurut Umar (1997) sebagaimana
dikutip oleh Fatmariza sulit
membedakan mana pesan atau ajaran yang bersumber dari doktrin agama dan mana
yang bersumber dari mitos. Hal ini terjadi karena agama yang dipahami dan
diyakini sebagian besar masyarakat adalah agama sebagaimana yang telah
ditafsirkan oleh para mufassir dan disampaikan oleh para mubalig. Menyikapi hal
ini kalangan mubalig mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat
bahwa apa yang disampaikan sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan oleh para
mufassir. Mempertanyakan kebenaran tafsiran ayat atau hadis menurut mereka akan
berakibat terhadap munculnya tafsiran-tafsiran sesuai dengan kemauan kelompok
atau kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga hal ini dikhawatirkan dapat
menjadikan ajaran agama tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya. Karena itu
mereka tetap berpegang dan yakin terhadap apa yang sudah ada dan diyakini sejak
lama. Namun demikian, mereka tidak setuju bahwa agama membolehkan tindak kekerasan
terhadap perempuan.
Perlu digarisbawahi, kata “memukul” dalam ayat
tersebut metaforis, yakni dalam pengertian mendidik dan memberikan pelajaran.
Sebagian ulama dan ahli tafsir mengatakan bahwa boleh memukul bila dalam
kondisi terpaksa, dengan ketentuan, (1) dilarang memukul dengan menggunakan
alat dan (2) tidak memukul di bagian wajah dan hanya satu bagian tertentu saja.
Ketiga, tidak memukul yang berakibat cedera. Sebenarnya secara harfiah, nusyuz
berarti membangkang atau tidak tunduk pada Tuhan. Dalam Islam, tidak ada
ketundukan selain pada Tuhan. Sayangnya, nusyuz sering disalahpahami sebagai
pembangkangan istri terhadap suami. Lebih fatal lagi, nusyuz sering dikaitkan
dengan urusan seksual. Padahal, kalaupun demikian, dalam ayat lain, Alquran
menerangkan bahwa salah satu kewajiban suami adalah mempergauli istri dengan akhlak
yang baik, dalam kehidupan sehari-hari (kata dan perbuatan), termasuk dalam
menyalurkan kebutuhan biologis. Dalam QS. an-Nisa (4): 19 disebutkan: “Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya”
Hubungan Penafsiran yang Salah Terhadap Ayat Alquran tentang Nusyuz dan KDRT yang Ada di Indonesia
Sikap nusyuz suami dalam arti luas pada
praktiknya cenderung diidentikkan pada istilah tindakan KDRT. Dalam hukum
positif, istilah KDRT, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir
berkat perjuangan panjang para aktivis perempuan dari berbagai elemen selama
kurang lebih tujuh tahun. Penghapusan KDRT sendiri dilaksanakan berdasarkan
asas penghormatan hak manusia, keadilan dan kesetaraan gender, nondiskriminasi,
dan perlindungan korban (pasal 3). UU ini bertujuan mencegah segala bentuk
KDRT, melindungi korban KDRT, menindak pelaku KDRT, dan memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (pasal 4). Sementara itu, sejumlah
lembaga maupun organisasi pendampingan perempuan dan masyarakat mencatat bahwa
angka dalam kasus-kasus KDRT meningkat dengan jumlah korban yang terus
bertambah. KDRT, khususnya terhadap istri, merupakan salah satu bentuk
ketidakadilan gender yang biasa terjadi di masyarakat. Hal ini merupakan
masalah serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena, pertama,
KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup dan terjaga ketat privacy-nya
karena persoalannya terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT sering dianggap wajar,
karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami
sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi dalam lembaga
yang legal, yaitu perkawinan.
Penutup
Penafsiran yang bias gender dan penafsiran lahiriah terhadap ayat Alquran
yang berisi relasi antara laki-laki dan perempuan ditemukan diantaraya pada QS. An-Nisa` ayat 34 dan ayat 128. Pemahaman yang
keliru terhadap QS. An-Nisa ayat 34 dijadikan pembenaran bagi laki-laki untuk menjadi
superior bagi perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi subordinan.
Sedangkan pada ayat 128, kesalahan dalam interpretasi ayat tersebut menimbulkan
pemahaman bahwa laki-laki dapat “mengajari” istrinya yang dianggap nusyuz atau
durhaka dengan melakukan tindak kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan di
dalam rumah tangga. Penafsiran ini membawa pengaruh yang amat besar apalagi
disebarkan juga oleh para mubaligh yang dinilai paham agama sehingga angka KDRT
meningkat serta hegemoni budaya patriarki semakin sulit dihilangkan.
Sebenarnya, ada banyak hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya KDRT.
Kesalahan memahami ayat suci Alquran hanyalah satu dari sekian banyaknya penyebab
yang ada. Selain itu, KDRT sebenarnya tidak hanya terbatas pada hubungan antara
laki-laki dan perempuan, bisa juga antara laki-laki dan laki-laki seperti ayah
dan anak laki-lakinya, atau perempuan dan perempuan seperti ibu dan anak
perempuannya. Perempuan pun berkemungkinan melakukan tindakan KDRT yang
korbannnya adalah laki-laki. Hanya saja, memang sebagian besar yang menjadi
korbannya adalah perempuan, sehingga apabila dikatakan KDRT yang tergambar
seringnya adalah laki-laki menjadi pelaku dan perempuan yang menjadi korban.
Padahal sebenarnya tidak selalu demikian.
Referensi
Faizah, Nur. 2013. Nusyuz: antara Kekerasan Fisik dan Seksual.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H Gresik: Institut Agama Islam (IAI)
Qomaruddin Gresik.
Fatmariza. 2012. Fenomena Kekerasan
Terhadap Perempuan Di Dalam Rumah Tangga (Pandangan Mubaligh). Humanus, Vol.
XI, No. 2 Th 2012: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang.
Hanifah, Abu. 2007. Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan
Alternatif Pemecahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial, Vol 12, No. 03, 2007 : 45-56.
Harnovinsah. (tt). Metodologi Penelitian.
Bekasi: Pusat Ajar dan Elearning Universitas Mercu Buana.
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Komilasi Hukum
Islam (KHI).
Jamaa, La. 2014. Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Cita Hukum, Vol. II No. 2 Desember 2014. ISSN: 2356-1440. Ambon: Fakultas dan
Ekonomi Islam IAIN Ambon.
Kania, Dede. 2018. Hak Asasi Manusia Dalam Realitas
Global. Bandung: Manggu Makmur Tanjung Lestari.
Musawwamah, Siti. 2012. Keterlibatan Perempuan Pada Penyelesaian Kasus
KDRT Di Pengadilan Agama. al-Ihkâm,
Vol.7 No .1 Juni 2012. Pamekasan: STAIN Pamekasan.
N, Rena Yulia. 2004. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Penegakan Hukum. Mimbar, Volume XX No. 3 Juli – September 2004 : 311 –
326. Bandung: UNISBA.
Nazir, Moh. 2014. Metode Penelitian, Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Rahmawaty, Anita. 2014. Perlindungan Hukum atas Kekerasan terhadap
Perempuan: Kritisisme atas UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Palastren,
Vol. 7, No.1, Juni 2014. Kudus: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Kudus.
Rahmita, Nanda Rizki dan Haiyun Nisa. Perbedaan Bentuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga Ditinjau dari Usia saat Menikah dan Tingkat Pendidikan. Psympathic,
Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2019, Vol. 6,
No. 1, Hal. : 73-84. Indonesia: Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah
Kuala.
Sari, Rahma Pramudya Nawang. 2012. Nusyuz – Marital Rape (KDRT)
Perspektif Hukum Perkawinan Islam. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 2, 2012 M/1434 H
Yogyakarta: BP4 KUA Umbulharjo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).