Pendekatan Mimetik pada Kisah Nabi Nuh AS dalam Alquran
Pendahuluan
Kebenaran, pelajaran, dan peringatan menjadi suatu tujuan yang
hendak dicapai di dalam pengungkapan berbagai kisah di dalam Alquran. Memang
dalam menceritakan semua kisah, Alquran tidak menceritakannya secara lengkap
dan detail mengenai suatu kaum, umat, atau bangsa-bangsa tertentu. Tetapi yang
perlu digaris bawahi adalah bahwasannya segala kisah yang disampaikan di dalam Alquran
merupakan suatu intisari dari suatu kisah perjalanan umat manusia, baik ataupun
buruk yang sarat akan makna dan pelajaran.
Alquran membawa kebenaran akan kepastian hukum-hukum Allah yang
harus diterapkan di dalam kehidupan sosial karena memiliki pengaruh dalam
kehidupan manusia. Segala kisah yang terdapat di dalamnya sudah dipastikan
kebenarannya dan tidak dapat disangkal lagi. Kisah-kisah nabi sebagai utusan
Allah yang banyak dimuat di dalam Alquran menunjukkan bahwa prinsip yang selalu
diutamakan di dalam Islam adalah ketauhidan dan ajaran ketauhidan itu adalah
ajaran yang dibawa oleh setiap nabi dari mulai Nabi Nuh as sebagai rasul yang
pertama di muka bumi.
Banyak dari para ahli sejarah Islam yang telah menulis kembali
kisah Nabi Nuh ini menjadi suatu kisah yang utuh. Alquran memberikan banyak
petunjuk tentang kisah Nabi Nuh ini dengan banyaknya ayat yang menceritakan
tentang kisahnya. Bahkan di dalam Alquran terdapat satu surat khusus yang
menceritakan kisah Nabi Nuh dan diberi nama surat Nuh.
Terhadap kisah Nabi Nuh yang telah dijadikan suatu karya sastra
dapat dilakukan pendekatan terhadap karya tersebut dengan beberapa pendekatan
dan teori. Salah satu pendekatan yang biasa digunakan terhadap karya sastra
adalah pendekatan mimetik. Adapun teori yang dapat digunakan juga terbilang
banyak. Tetapi, untuk suatu karya sastra yang merupakan hasil transformasi dari
teks lain dapat digunakan teori intertekstual.
Kisah Nabi Nuh AS
Nabi Nuh as merupakan Rasul pertama yang diutus oleh Allah Swt kepada
suatu kaum yang berangsur-angsur melupakan ajaran nabi-nabi terdahulunya. Pada
masa itu manusia banyak yang telah menyimpang jauh dari ajaran Islam dan tidak
bersedia menyembah Allah. Yang disembah oleh manusia pada masa itu adalah
berhala-berhala yang mereka buat sendiri dan mereka anggap tuhan. Sebenarnya,
berhala tersebut merupakan patung-patung orang-orang shaleh yang telah mati.
Keshalehan orang-orang tersebut membuat mereka diagung-agungkan oleh kaum-kaum
pada saat itu bahkan sampai dianggap tuhan.
Berhala-berhala yang disembah pada masa Nabi Nuh as bernama Wadd,
Yagust, Suwa, Ya’uq, dan Nasr. Kaum Nabi Nuh mempertuhankan berhala-berhala
tersebut dan mempercayai bahwa berhala itu memiliki kekuatan gaib yang dapat
menolong mereka. Mengenai nama-nama berhala tersebut Allah Swt berfirman di
dalam QS. Nuh [71] ayat 23 sebagai berikut.
وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا
سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا ٢٣
Artinya:
“Dan mereka
berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan
kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan
jangan pula suwwa´, yaghuts, ya´uq dan nasr"
Kondisi masyarakat yang demikian yang telah meninggalkan ajaran
nabi-nabi terdahulu menyebabkan mereka musyrik. Selain musyrik, kaum Nabi Nuh
juga selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang bertolak belakang dengan ajaran
nabi-nabi terdahulu. Diantaranya yaitu mendorong kemungkaran, mencegah
kebaikan, mereka kikir, lupa kepada Allah padahal kuat fisik dan banyak harta (QS.
At-Taubah (9):67-69). Mereka termasuk golongan yang menentang Nabi Nuh dalam
melaksanakan dakwahnya (QS at-Taubah (9):70). Pembangkangan yang dilakukan
merupakan simbol-simbol kepongahan diantara mereka, terutama dari kelompok yang
merasa mampu mengeksploitasi orang lain, mereka malah tidak segan-segan
memandang hina orang lain, mereka lupa bahwa sikap seperti itu terhadap Rasul Allah
tidak menambah atau mengurangi sedikit pun kemahakuasaan Allah (QS an-Nisa
(4):170).
Nabi Nuh as hidup dan berdakwah di antara kaumnya dengan sabar dan
gigih dalam waktu yang sangat lama, yaitu 950 tahun. Hal ini sebagaimana
disebutkan di dalam QS. Al-Ankabuut (29) ayat 14.
وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمۡ
أَلۡفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمۡسِينَ عَامٗا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمۡ
ظَٰلِمُونَ ١٤
Artinya:
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar,
dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Kisah Nabi Nuh banyak ditemukan di dalam Alquran. Kisah itu
bervariasi, ada kalanya diungkapkan dalam beberapa ayat secara berturut-turut,
misalnya pada surah al-Qamar (54) dari ayat 9-17, surah al-A’raf (7) dari ayat
59-64, surah asy-Syu’araa (26): 105-122, surah Yunus (10): 71-73, surah Hud
(11): 25-49, surah ash-Shafaat (37): 75-82, dan surah al-Mukminun (23): 23-31. Juga
diungkapkan pada satu surah secara khusus yakni surah yang ke-71 sebanyak 28
ayat. Selain itu kisah-kisah Nabi Nuh terdapat pula pada ayat-ayat di beberapa
surah yang diungkap secara terpisah-pisah.
Penerapan Pendekatan Mimetik pada Kisah Nabi Nuh AS
Pendekatan mimetik merupakan pendekatan karya sastra yang berupaya
memahami hubungan karya sastra dengan realitas/kenyataan. Pendekatan mimetik
melihat sebuah karya sastra sebagai suatu gambaran tentang kejadian atau
fenomena yang terjadi di suatu tempat dan masa tertentu yang ingin disampaikan
oleh pengarang. Kata mimetik sendiri
berasal dari kata mimesis yang dalam bahasa Yunani yang memiliki arti
tiruan. Pendekatan mimetik merupakan pendekatan pertama dalam kritik sastra.
Pelopornya yaitu Plato dan Aristoteles. Dalam penerapnnya, pendekatan mimetik
memang memiliki kelemahan, yakni sering dilakukan pembandingan langsung dengan
realitas faktual (riil) sehingga hakikat karya sastra yang fiktif
imajiner sering dilupakan.
Kisah Nabi Nuh AS dapat dimaknai dengan menggunakan pendekatan
mimetik. Pasalnya, kisah Nabi Nuh ini juga mencerminkan suatu keadaan
masyarakat pada masa itu. Masyarakat yang menjadi kaum Nuh as digambarkan
sebagai suatu kaum yang musyrik yang tidak mau bertauhid kepada Allah, Tuhan
yang telah menciptakan mereka dan memberikan mereka kehidupan beserta karunia.
Kaum Nabi Nuh malah menyembah berhala dan menuhankan berhala tersebut. Hal
tersebut tentu saja merupakan penyimpangan terhadap ajaran nabi-nabi terdahulu.
Allah SWT mengutus Nabi Nuh as kepada kaumnya untuk memberikan
kepada mereka peringatan akan azab Allah yang sangat pedih apabila mereka tidak
bertaubat dan bertauhid kepada Allah. Peringatan yang disampaikan oleh Nabi Nuh
pun tidak diindahkan oleh kaumnya. Sebaliknya, mereka malah mengolok-olok Nabi
Nuh. Nabi Nuh bersabar menghadapi kaumnya dan terus berdakwah tanpa mengenal
lelah seraya memohon kepada Allah dalam setiap doa-doanya. Hingga akhirnya
Allah mengabulkan doa Nabi Nuh hingga akhirnya Allah memberikan wahyu untuk
membuat suatu perahu. Perahu itu merupakan perahu pertama yang dibuat di muka
bumi. Selang berpuluh-puluh tahun, baru datanglah janji Allah bahwa kaum Nabi
Nuh akan ditenggelamnkan dengan banjir bandang yang akan menenggelamkan semua
permukaan bumi. Pada waktu itu tidak ada yang selamat kecuali orang yang
beriman kepada Nabi Nuh dan ikut naik perahu Nabi Nuh beserta hewan-hewan yang
telah Allah perintahkan untuk diselamatkan.
Dari kisah Nabi Nuh ini dapat diketahui mengenai gambaran kaum Nabi
Nuh pada masa itu. Pertama, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran bahwa kaum
Nabi Nuh ini adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan cara menyembah
berhala. Mereka juga telah banyak menyimpang dari ajaran-ajaran nabi-nabi
terdahulu. Sifat kikir adalah sifat yang mereka pelihara, padahal mereka diberi
banyak karunia oleh Allah dengan banyaknya harta dan kekuatan fisik yang
melampaui kaum-kaum dan umat-umat lainnya.
Penerapan Teori Intertekstual pada Kisah Nabi Nuh AS
Teori sastra berfungsi sebagai
pijakan atau landasan dalam melakukan kritik karya sastra. Teori sastra juga
berfungsi sebagai prosedur kerja yang terpola. Dengan mengikuti prosedur kerja
ini, pembaca akan mampu menganalisis dan menginterpretasi sebuah karya sastra
dengan lebih mudah dan menghasilkan interpretasi yang objektif dan
komprehensif. Prosedur kerja ini memungkinkan kita merekonstruksi proses
pemaknaan. Selain itu, berdasarkan prosedur kerja yang telah berterima seseorang dapat membantu orang lain
untuk menguji ulang dengan lebih saksama prosedur tersebut untuk memaknai karya
serupa dengan baik karena berpatokan pada kekuatan dari prosedur dan praktik
yang digunakan sebelumnya. Misalnya, prosedur kerja dalam close reading
atau pembacaan cermat yang terdiri dari empat tataran, -linguistik, semantik,
struktural, dan kultural- memungkinkan orang yang masih awam tentang proses ini
dapat melakukan pembacaan cermat dengan mengikuti langkah-langkah yang telah
digariskan dalam proses close reading. Dengan demikian, setiap orang -meskipun
hanya memiliki kompetensi membaca minimal- akan mampu melakukan pembacaan
cermat dan memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dari teks karya sastra
yang dibacanya.
Pendekatan interekstual di dalam
karya sastra mempunyai prinsip dasar bahwa suatu teks merupakan satu
produktivitas. Teks merupakan suatu permutasian teks-teks yang lain.
Intertekstual memandang teks sebagai suatu karya baru yang disandarkan kepada
teks lain yang lebih dahulu. Karena hal tersebut, maka teks bersifat tumpang tindih
dan saling menetralkan satu sama lain. Untuk membaca teks sastra dengan
menggunakan teori intertekstual, harus dibaca dengan latar belakang teks-teks
yang lain. Teori intertekstual memandang bahwa tidak ada suatu teks karya
sastra mana pun yang berdiri secara mandiri, dalam artian bahwa teks karya
sastra tidak dapat dibuat tanpa adanya teks-teks karya sastra lain sebagai
contoh, teladan, atau kerangka. Teks yang menjadi latar penciptaan karya baru
disebut hipogram dan teks baru yang menyerap dan mentransformasi hipogram
tersebut disebut teks transformasi.
Kisah Nabi Nuh dapat dikategorikan
sebagai sebuah karya sastra yang merupakan produk baru yang ditransformasi dari
teks lain. Teks lain yang dimaksud yaitu hipogramnya. Hipogram dari Kisah Nabi Nuh
as salah satunya adalah teks kitab suci Alquran. Teks Alquran ini kemudian
dikonstruksi menjadi kisah Nabi Nuh yang dibuat oleh berbagai sastrawan. Oleh
karena kisah Nabi Nuh ini merupakan suatu teks transfomasi, maka kita tidak
bisa mengabaikan teks-teks lainnya yang menjadi latar penulisan teks kisah Nabi
Nuh ini. Sehingga untuk dapat menilai dan melakukan kritik terhdap kisah Nabi
Nuh ini kita harus terlebih dahulu membaca teks-teks lain.
Penutup
Dalam menerapkan pendekatan mimetik terhadap kisah Nabi Nuh as,
akan kita temukan suatu penggambaran realita mengenai kehidupan masyarakat pada
masa itu. Masyrakat pada masa Nabi Nuh merupakan suatu masyarakat ynag musyrik,
kikir, dan tidak mau mentauhidkan kepada Allah, tuhan ynag telah menciptakan
mereka. Padalah mereka telah Allah beri karunia berupa hata benda dan kekuatan
fisik yang berada di atas umat-umat lain.
Teori intertekstual yang digunakan dalam kisah Nabi Nuh membuat
kita mendapati bahwasannya kisah Nabi Nuh ini merupakan suatu hasil kontruksi
ulang terhadap kisah Nabi Nuh yang telah ada di dalam teks lain. Misalnya saja
yang terdapat di dalam Alquran. Kisah Nabi Nuh yang telah ditulis oleh berbagai
sastrawan, misalnya saja yang terdapat di dalam banyak kitab tafsir seperti
Tafsir Ibnu Katsir, bukanlah suatu teks atau karya yang mandiri, sehingga dalam
memaknainya diperlukan juga memahami teks lain terutama sumbernya yang disebut
hipogram yang menjadi latar, contoh, bahkan ide dari penulisan Kisah Nabi Nuh
ini.
Referensi
Alquran.
Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia.
K., Muh.
Daming. 2013. Kisah Nabi Nuh AS Menurut Alquran. Jurnal Al-‘Adl. 6 (1).
Halaman 74-91.
Liliani, Else. Perkembangan
Teori Sastra. [Modul].
Musthafa,
Bachrudin. 2008. Teori dan Praktik Sastra Dalam Penelitian dan Pengajaran.
Jakarta: PT. Cahaya Insan Sejahtera.
Zulfahnur. Lingkup
Ilmu Sastra: Teori Sastra, Sejarah Sastra, dan Kritik Sastra, serta Hubungan
antara Ketiganya. [Modul].
Iwayanjatiyasatuminggal.blogspot.com/2013/teori-intertekstual.html?m=1
(Diakses pada Ahad, 23 Desember 2018 pukul 13.12 WIB)