Pengaruh Wahabisme di Kerajaan Arab Saudi
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, agama dan politik menjadi
diskursus yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian politik Timur Tengah dan
dunia Islam pada umumnya. Berbagai aktivitas untuk mengukuhkan agama, dalam hal
ini Islam, dalam ranah politik demokrasi muncul di sejumlah negara yang
berusaha untuk mengimplementasikan Islam dalam kehidupan bernegara, baik di
negara republik maupun monarki, di lingkungan masyarakat yang homogen ataupun
majemuk, baik di negara maju maupun berkembang. Oleh karena itu, menurut
Huntington, realitas semacam itu akan senantiasa terjadi ketika agama kerap
menautkan diri dalam semua aspek kehidupan.
Kemunculan politik berbasis agama yang terjadi di
sejumlah negara Timur Tengah setelah Arab Spring, tidak lepas dari peran
kelompok Islam untuk menunjukkan eksistensinya di tengah kegagalan sistem
politik, sosial, dan ekonomi yang dibangun rezim. Oleh karena itu, dalam wacana
politik Timur Tengah kontemporer, Islam dipandang sebagai sebuah keyakinan yang
mengilhami berbagai lapisan masyarakat serta berhasil mentransformasikan
nilai-nilai sosial, politik, dan ekonomi dalam kehidupan bernegara. Bahkan,
sejumlah pemerintahan monarki tertarik menggunakan Islam untuk melegitimasi
kebijakannya, baik dalam politik, hukum, maupun ekonomi. Hal inilah yang kita
saksikan dalam realitas politik di dunia Arab saat ini. Contohnya, monarki dan
ulama Wahabi sebagai dua kekuatan yang saling mendukung di Arab Saudi.
Konsep Ajaran Wahabisme
Inti dari ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab didasarkan
atas ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah dan Madzhab Hambali. Prinsip-prinsip dasar
ajaran tersebut adalah: Pertama, Ketuhanan Yang Esa dan mutlak (karena
itu penganutnya menyebut diri mereka sendiri dengan nama al-Muwahhidun).
Kedua, kembali kepada ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam
al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, kepercayaan tidak dapat dipisahkan dari tindakan,
seperti shalat dan amal shalih lainnya. Keempat, percaya bahwa al-Qur’an
itu bukan ciptaan manusia. Kelima, kepercayaan yang nyata terhadap
al-Qur’an dan Hadis. Keenam, mengutuk segenap pandangan dan tindakan
yang tidak benar. Ketujuh, mendirikan negara Islam berdasarkan hukum
Islam secara eksklusif.
Tujuan utama dari pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahhab
atau yang sekarang dikenal dengan wahabisme adalah memurnikan tauhid umat Islam
yang sudah tercemar. Untuk itu ia sangat serius dalam memberantas bid’ah,
khurafat dan takhayul yang berkembang di tengah-tengah umat. Ia
menentang pemujaan terhadap orang-orang suci dan kunjungan ke tempat-tempat
keramat untuk mencari berkah. Muhammad ibn Abdul Wahhab menganggap bahwa segala
objek pemujaan kecuali terhadap Allah adalah palsu. Menurutnya, mencari bantuan
dari siapa saja kecuali Allah adalah syirik.
Muhammad ibn Abdul Wahhab mendefinisikan tauhid sebagai al-ibadah
atau pengabdian kepada Allah Swt. Hal itu didasarkan karena setiap rasul yang
diutus, kalimat utama yang dikumandangkan adalah seruan hanya kepada Allah
manusia beribadah. Ia membagi tauhid menjadi empat bagian. Pertama,
tauhid Uluhiyah. Ini mengandung pengertian hanya Allah saja yang wajib
disembah. Kedua, tauhid Rububiyah, yaitu tauhid kepada Allah
sebagai pencipta segala sesuatu. Ketiga, tauhid Asma’ dan Shifat
yang berhubungan dengan nama dan sifat Allah. Keempat, tauhid Af’al
yaitu tauhid yang berhubungan dengan perbuatan Allah.
Penganut wahabi tidak menyebut dirinya sebagai salah satu
aliran pemikiran atau salah satu orientasi tertentu dalam Islam, tetapi
menyatakan diri sebagai jalan lurus Islam. Wahabi menolak untuk disebut
atau dikategorikan sebagai pengikut tokoh tertentu, bahkan termasuk Muhammad
ibn Abdul Wahhab sendiri. Para pengikutnya hanya sekedar mematuhi ketentuan Salaf
as-Shalih. Kelompok wahabi cenderung menolak semua aliran fikih dalam
Islam, apalagi fikih madzhab. Bagi mereka, aliran fikih adalah sebuah pemikiran
manusia, karena itu jika ingin beribadah dengan benar, maka harus mengikuti apa
yang dilakukan ulama salaf.
Muhammad ibn Abdul Wahhab memperoleh inspirasi dari
pemikiran Imam Ahmad ibn Hambal yang ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah. Rentang
waktu yang memisahkan antara Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan Ibnu Taimiyah dan
antara Ibnu Taimiyah dengan Imam Ahmad bin Hambal mencapai sekitar lima abad,
tetapi walaupun demikian, ternyata pemikiran Imam Ahmad ibn Hambal mampu
menembus waktu. Ibnu Taimiyah menentang inovasi (bid’ah), pemujaan
terhadap wali, dan ziarah ke tempat suci, semua hal itu diikuti dan diterapkan
oleh pengikut Wahabi dalam tindakan nyata. Pada tahun 1801 mereka merebut
Karbala dan merusak makam Husein bin Ali ibn Abi Thalib sehingga menimbulkan
kemarahan yang tiada pernah padam dari kalangan orang Syiah. Mereka juga
menghancurkan beberapa makam yang dihormati.
Pengaruh Wahabisme di Timur Tengah
Wahabisme pada mulanya menyebar tidak begitu luas. Tetapi
kemudian semakin mendapatkan ruang, khususnya di Timur Tengah setelah Muhamad
ibn Abdul Wahhab bersekutu dengan Muhammad ibn Saud, seorang kepala suku di Arab.
Persekutuan Muhammad ibn Abdul Wahhab dan Muhammad ibn Saud merupakan upaya Muhammad
ibn Saud untuk mengukuhkan kekuasaannya di antara suku-suku Arab lainnya. Ibn
Saud berupaya menyatukan suku-suku Arab dengan menggandeng Muhammad ibn Abdul Wahhab
dengan ideologi yang dimilikinya. Dalam catatan Esposito disebutkan, Ibn Saud
menggunakan Wahabisme sebagai cita-cita religius untuk melegitimasi jihadnya
dalam menaklukkan dan menyatukan suku-suku Arabia, serta mengubah akidah mereka
dalam versi Islam yang puritan.
Hubungan yang dijalin Muhammad bin Abdul Wahab dengan keluarga
Sa’ud bermula ketika Muhammad bin Abdul Wahhab melarikan diri ke Kota Dariyah,
yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad ibn Saud. Di sini Ibnu Saud menyambut
Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan sangat baik. Ibnu Saud sendiri merupakan
seorang pemimpin suku kecil dengan ambisi yang sangat besar yaitu ingin
mempersatukan Jazirah Arab, hingga saat itu keduanya saling bekerja sama di
mana kepala suku waktu itu adalah Muhammad ibn Saud mengakui Muhammad ibn
Wahhab sebagai puncak otoritas keagamaan komunitas muslim dan melakukan semua
yang dia bisa untuk mewujudkan visinya. Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri
sepakat mengakui Ibn Saud sebagai kepala politik komunitas muslim dan memerintahkan
para pengikutnya untuk berjuang bagi dirinya. Kerjasama ini membuahkan hasil.
Selama beberapa dekade berikutnya kedua orang itu menyatukan seluruh suku badui
di Semenanjung Arabia di bawah pemerintahan Saudi-Wahabi.
Wahabisme digunakan oleh Ibn Saud untuk melegitimasi
gerakan politik yang dilakukannya untuk menguasai suku-suku Arab. Ajaran Wahabi
sebagai patron gerakan politik Ibn Saud melahirkan sebuah kebijakan yang keras
dalam merespon gesekan ataupun perlawanan yang muncul dari bawah. Sebagaimana
ajaran Wahabi, Ibn Saud menghalalkan darah pihak-pihak lain yang tidak
sepemikiran dengan kebijakan yang dikeluarkan pihak keluarga Saud. Visi Wahabi kemudian
mulai mendunia pada dekade 1960-an sebagai respon terhadap ancaman yang
ditimbulkan oleh nasionalisme dan sosialisme Arab.
Peran Wahabisme Bagi Arab Saudi
Saudi sering membuat kebijakan publik ekstrem yang
disandarkan pada prinsip-prinsip ajaran Wahabi. Diantaranya adalah munculnya
beberapa pelarangan seperti larangan menyetir mobil bagi perempuan, kewajiban
menggunakan abaya dan cadar, sensor terhadap iklan-iklan dengan model perempuan,
kewajiban membawa mahram bagi perempuan, dan sebagainya yang berlaku untuk
seluruh wilayah negara. Penerapan peraturan ini di Arab Saudi secara khusus
menggunakan polisi syariat. Namun, pelaksanaan peraturan tersebut tidak sama di
tiap-tiap daerah. Untuk daerah pesisir timur Arab Saudi yang lebih majemuk dan
metropolis, yaitu Riyadh, Dahran, Dammam, dan kota-kota lainnya penerapan hukum
syariat tidak seketat di Mekkah dan Madinah.
Arab Saudi merupakan negara yang menganut sistem monarki
absolut. Dalam hal ini, sentralitas kekuasaan secara dominan ada di tangan raja.
Raja dan putra mahkota diangkat melalui sebuah forum baiat keluarga kerajaan (Hay’at
al-Bay‘ah) sebagai simbol pengakuan dan ketundukan anggota keluarga
kerajaan terhadap raja dan putra mahkota yang dipilih. Dalam prosesi baiat ini,
rakyat diperbolehkan mengikuti sesi seremonial yang diadakan oleh kerajaan.
Keputusan politik merupakan hak prerogratif raja yang melakukan konsultasi
dengan keluarga penting kerajaan dan ulama Wahabi. Di sisi lain, konstitusi
negara berdasarkan pada Al-Qur’an dan hukum syariat. Meskipun begitu, pada
tahun 1992, Raja Fahd pernah menerbitkan Undang-Undang Dasar Pemerintah (Niẓām
Al-Asāsī lī Al-Ḥukm), undang-undang tentang pemerintahan, dan undang-undang
tentang hak dan wewenang raja dan warga negara. Hal ini mempertegas Raja Saudi
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang berkuasa penuh. Dalam hal
ini, raja tidak hanya menjadi penguasa eksekutif, tetapi juga berperan sebagai
legislatif dan yudikatif.
Penutup
Tidak bisa dipungkiri bahwa Wahabi sangat dominatif dalam
menentukan kebijakan dan regulasi Kerajaan Arab Saudi selama ini. Wahabi dengan
semangat konservatif dan fundamentalisnya mengkontruksi sektor sosial, budaya,
dan keagamaan di Arab Saudi. Wahabi menjadi faham terbesar yang dijalankan oleh
mayoritas masyarakat Arab Saudi dan mendapat legitimasi dari Kerajaan Arab
Saudi sebagai salah satu dari negara-negara Islam yang paling berpengaruh.
Wahabi juga memegang kendali dan pemeliharaan dua tempat paling suci dalam
Islam, yaitu Mekkah dan Madinah. Pada saat yang sama, para penyebar faham
Wahabi juga memperoleh sumber keuangan dengan jumlah besar yang membuat Wahabi
dengan mudah dapat meningkatkan penyebarluasan faham mereka.
Referensi
Ghafur, M. Fakhry (Ed). 2019. Politik Islam
Arab Saudi, Kuwait, & Uni Emirat Arab. Jakarta: LIPI Press.
Mas’odi. Wahhabisme vis-á-vis Reformasi
Arab Saudi: MBS, Agensi, Moderasi, dan Diversifikasi Ekonomi. Al-Irfan, 3
(1), Maret 2020, hlm. 52-76.
Umamah, Nur. 2011. “Peranan Gerakan
Wahabiyah Dalam Membantu Mewujudkan Pemerintahan Raja Abdul Aziz Di Arab Saudi”
(Skripsi). Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak Diterbitkan.
Wafi, Mahmud Hibatul. Diskursus Reformasi
Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi Dan Wahabi. Islamic World and
Politics, 2 (1), Januari-Juni 2018, hlm. 229-239.