Teori Semiotika Riffaterre
Pendahuluan
Secara kodrati, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra adalah sebuah
refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan seorang pengarang yang diungkapkan
melalui bahasa yang berbentuk tulisan ataupun bentuk lainnya. Bahasa yang
digunakan pengarang tersebut bukan bahasa sembarangan, melainkan mempunyai
karakteristik dan ciri khas tertentu. Bahasa tersebut memuat suatu tanda-tanda
atau yang dikenal dalam istilah lain sebagai semiotik.
Semiotik atau tanda-tanda yang termuat di dalam bahasa dipelajari dalam
suatu ilmu yang dinamakan semiologi. Semiologi kemudian melahirkan berbagai
teori-teori mengenai semiotik. Ada banyak teori mengenai semiotik. Di antara
teori semiotik yang banyak digunakan adalah teori semiotika Riffaterre.Teori semiotika
Riffaterre merupakan sebuah teori semiotika yang dicetuskan oleh seorang
kritikus sastra asal Prancis bernama Michael Riffaterre.
Biografi Singkat Michael Riffaterre
Michael Riffaterre memiliki nama lengkap Michael Camille Riffaterre. Ia
merupakan seorang kritikus sastra berkebangsaan Prancis. Ia dilahirkan di
Bourganeuf, Creuse, Prancis pada tanggal 20 November 1924 dan meninggal pada
tanggal 20 Mei 2006 di kediamannya di Manhattan. Riffaterre pernah belajar di
University of Lyon dan Sorbone of University of Paris.
Riffaterre pernah pindah ke New York untuk menyelesaikan studi doktoralnya
di Columbia University. Gelar doktor pun dapat ia raih setelah berhasil
mempertahankan disertasinya yang berjudul Le Style des Pleiades de Gobineau,
essai d’application d’une methode stylistique. Tak lama setelah
menyelesaikan program doktoralnya, Riffaterre kemudian menjadi profesor pada
tahun 1964. Ia kemudian menjadi anggota The American of Arts and Sciences dari
tahun 1971 sampai 2001. Sebagian besar hidup Riffaterre ia habiskan untuk
melakukan penelitian terhadap teks sastra.
Awal Mula Munculnya Semiotika
Semiotika berasal dari akar kata semeion (Yunani) yang berarti tanda. Semiotik
merupakan suatu metode penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda.
Model semiotik muncul sebagai akibat dari adanya ketidakpuasan terhadap kajian
struktural karena dinilai hanya menitikberatkan penelitian sastra hanya pada
aspek intrinsik. Lain halnya dengan semiotik. Dalam semiotik, karya sastra
dipercayai mempunyai sistem tersendiri yang menghubungkan aspek-aspek
struktural dengan tanda-tanda. Sehingga tanda sekecil apapun dalam semiotik
perlu diperhatikan.
Tokoh penting dalam semiotika adalah Ferdinand De Saussure dan Charles
Sanders Peirce. Saussure dan Peirce merupakan dua orang ahli yang saling tidak
mengenal, tetapi memiliki konsep dan paradigma yang hampir sama. Saussure
menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika.
Istilah semiotika lebih populer digunakan.
Saussure menggambarkan bahwa model tanda itu terdiri dari dua aspek, yaitu
penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penanda merupakan
bentuk formal atau citraan visual, sedangkan petanda merupakan konsep. Penanda
dan petanda memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Contohnya, ketika mendengar
kata “kursi”, maka yang tergambar pada pemikiraan kita adalah sebuah
mebel, yang digunakan untuk duduk, memiliki sandaran dan memiliki empat kaki. Secara
otomatis hal tersebut akan tergambar dalam pikiran. Model De Saussere hanya
menghubungan suatu tanda kebahasaan terhadap konsep suatu benda. Karakteristik
tanda dari Saussure ini bersifat statis, karena hanya memiliki dua sisi saja.
Berbeda dengan konsep Saussere yang
bersisi penanda dan petanda, konsep Peirce bersisi tiga atau triadik. Menurut Peirce
ada beberapa faktor yang menentukan adanya tanda dilihat dari faktor yang
menentukan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1. Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai
perwujudan gejala umum:
a. qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
b. sinsigns, tokens, terbentuk melalui ralitas
fisik: rambu lalu lintas,
c. legisigns, types, berupa hukum: suara wasit
dalam pelanggaran.
2. Object (designatum, denotatum, referent),
yaitu apa yang diacu:
a. ikon, hubungan tanda
dan objek karena serupa, misalnya foto,
b. indeks,
hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,
c. simbol,
hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, seperti bendera.
3. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin
penerima:
a. rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
b. dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta:
pernyataan deskriptif,
c. argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.
Analisis Sastra Menggunakan Teori Semiotika Riffaterre
Ada empat hal yang dikemukakan Riffaterre dalam memproduksi makna puisi,
yaitu (1) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (2) ketidaklangsungan ekspresi
puisi (karya sastra) yang disebabkan oleh penggantian arti (displacing of
meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan
arti (creating of meaning), (2) matriks, model, dan varian, dan (4)
hipogram (hypogram) atau hubungan intertekstual.
1.
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Pembacaan heuristik disebut juga dengan
parafrase, yaitu proses memaragrafkan atau menarasikan suatu puisi. Pradopo
sebagaimana dikutip oleh Ranti dkk., menerangkan dalam pembacaan heuristik, puisi
dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan
bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Puisi dibaca secara linier dan
dibaca menurut struktur normatif bahasa. Sedangkan Pembacaan hermeneutik,
menurut Pradopo adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran
atau pembacaan hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan
konvensi sastra (puisi). Puisi menyatakan suatu gagasan secara tidak langsung,
dengan kiasan (metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan pengorganisasian ruang
teks (tanda-tanda visual).
2.
Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre disebabkan
oleh tiga hal, yakni:
a. Penggantian
Arti
Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan)
berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Bahasa atau kata-kata
kiasan tersebut antara lain:
1) Metafora adalah
analogi yang membandingkan hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang
singkat.
2) Simile adalah
perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
3) Personifikasi adalah
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
4) Metonimia adalah
gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain
karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
5) Sinekdoke,
yakni pars pro toto, mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan, dan totem pro parte, mempergunakan keseluruhan
untuk menyatakan sebagian.
b. Penyimpangan
Arti
Riffaterre mengemukakan penyimpangan arti
terjadi bila dalam puisi ada (1) ambiguitas, yaitu memberi kesempatan kepada
pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya, (2) kontradiksi atau
ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau
berkebalikan, dan (3) nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara
linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata.
c. Penciptaan Arti
Terjadinya penciptaan arti, menurut Riffaterre
bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk
tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara
linguistik tidak ada artinya. Penciptaan arti dapat terlihat dari simitri
(keseimbangan), rima, enjambemen, dan persamaan posisi (homologues).
3.
Matriks, Model, Varian
Untuk “membuka” puisi supaya dapat mudah
dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-kata
kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran puisi yang
dikonkretisasikan. Riffaterre menegaskan bahwa puisi dihasilkan dari
tranformasi matriks berupa kata, kelompok kata, atau kalimat sederhana menjadi
sebuah wacana yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral. Matriks bersifat
hipotesis, hanya merupakan aktualisasi gramatikal dan leksikal sebuah struktur.
Matriks bisa dilambangkan dalam satu kata, tetapi tidak muncul dalam teks. Ia
selalu diaktualisasi secara berturut-turut dalam varian-varian. Kemudian,
bentuk varian-varian ini ditentukan oleh aktualisasi dasar pertama, yakni
model.
4.
Hipogram
Riffaterre mengemukakan hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau puisi yang menjadi latar penciptaan puisi lain. Seringkali sebuah puisi baru mendapat makna hakikinya bila dikontraskan (dijajarkan) dengan puisi yang menjadi hipogramnya. Jadi, puisi itu tidak dapat dilepaskan dari hubungan kesejarahannya dengan puisi sebelumnya.
Penutup
Michael Riffaterre merupakan seorang kritikus sastra berkebangsaan Prancis
yang dilahirkan di Bourganeuf, Creuse, Prancis pada tanggal 20 November 1924
dan meninggal pada tanggal 20 Mei 2006 di Manhattan.
Model semiotik muncul sebagai akibat dari adanya ketidakpuasan terhadap kajian
struktural karena dinilai hanya menitikberatkan penelitian sastra hanya pada
aspek intrinsik.
Ada empat hal yang dikemukakan Riffaterre dalam memproduksi makna puisi,
yaitu (1) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (2) ketidaklangsungan ekspresi
puisi (karya sastra) yang disebabkan oleh penggantian arti (displacing of
meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan
arti (creating of meaning), (2) matriks, model, dan varian, dan (4)
hipogram (hypogram) atau hubungan intertekstual.
Referensi
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi
Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi).
Yogyakarta: MedPress.
Huri, Ranti Maretna dkk. (tt). Analisis Semiotika Riffaterre Dalam Puisi
Dongeng Marsinah Karya Sapardi Djoko Damono [Jurnal]. Padang: UNP.
Syafeti, Ghaluh. 2016. Semiotika Riffaterre: Kasih Sayang Pada Puisi An
Die Freude Karya Johann Christoph
Friedrich Von Schiller [Skripsi]. Yogyakarta: FBS UNY.