Tentang Hukum Pembuktian

 

Ilmu Hukum

Tentang Hukum Pembuktian

Pendahuluan

Dalam proses persidangan, agar tidak terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur), hakim hendaklah dalam memutuskan perkara tidak hanya bersandar pada keyakinannya saja meskipun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Dengan adanya alat bukti ini, masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan memutuskan perkara mereka itu. Alat bukti tersebut, erat kaitannya dengan apa yang terdapat dalam hukum pembuktian, sehingga dapat dipahami bahwa hukum pembuktian adalah merupakan bagian dari hukum acara.

Dalam soal pembuktian, pernah ada hal yang dipersoalkan, yaitu apakah sebenarnya yang dapat dibuktikan itu? Dulu para sarjana mengatakan bahwa yang dapat dibuktikan itu hanyalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja. Dari terbuktinya kejaadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa tadi, jika dalam perkara perdata dapat disimpulkan adanya hak miik, adanya piutang, hak waris dan sebagainya.

 

Pengertian Pembuktian

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian.  

Martiman Prodjohamidjojo (1984: 11) mengemukakan “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

              Adapun Darwan Prinst mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian, adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya (Darwan Prinst, 1998: 133).

Sedangkan Yahya Haraphap berpendapat bahwa pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).

Setelah diketahui definisi dari pembuktian, barulah dapat diketahui apa yang dimaksud dengan hukum pembuktian. Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut, serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 10).

 

Macam-Macam Alat Bukti

              Menurut pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 283 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:

a.       Bukti tulisan

b.      Bukti dengan saksi-saksi

c.       Persangkaan-persangkaan

d.      Pengakuan

e.       Sumpah

 

Bukti Tulisan

Dalam perkara perdata, bukti tulisan merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti yang disediakan tadi umumya berupa tulisan.

Seorang yang menerima sejmlah uang atau suatu barang, baru akan merasa aman kalau ia diberikan suatu tanda penerimaan. Orang yang memberikan tanda penerimaan itu harus mengerti, bahwa tulisan itu di kemudian hari dapat dipergunakan terhadap dirinya sebagai tanda bukti bahwa ia benar telah menerima uang atau barang itu. Memang pada dasarnya semua bukti tulisan itu dapat mengikat kepada orang yang telah menulisnya.

              Dari berbagai berbentuk tanda tulisan, salah satunya ada yang dinamakan akte. Akte ialah tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian unsur-unsur yang penting untuk suatu akte ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan dalam tulisan itu. Syarat penandatanganan yang terdapat pada akte dapat dilihat dalam Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ada beberapa tulisan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat-alat bukti yang mengikat yang artinya harus dipercayai oleh hakim, diantaranya yaitu:

a.       Surat-surat yang secara tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran yang telah diterima;

b.      Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak (titel) bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu meyebutkan suatu perikatan;

c.       Catatan-catatan yang oleh berpiutang (kreditur) dibubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur;

d.      Catatan-catatan yang oleh si berpiutang dibubuhkan kepada salinan dari suatu alas hak atau suatau tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayarannya ini berada dalam tangannya si berutang.

 

Bukti dengan Saksi (Kesaksian)

Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang hakim.      Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim tadi, ada pula yang memang dulu dan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan jual beli tanah yang sedang dilangsungkan., menyaksikan suatu pembagian warisan, menyaksikan suatu perkawinan, dan lain sebagainya.

              Pembuktian oleh saksi itu diperkenankan dalam segala hal di mana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Dulu dalam perundang-undangan kita ada suatu larangan mengajukan kesaksian untuk membuktikan suatu perjanjian yang mengandung suatu perikatan atau pembebasan utang yang melebihi suatu jumlah, yaitu tiga ratus rupiah. Dengan demikian, perjanjian semacam itu hanya boleh dibuktikan secara tertulis. Pembatasan tersebut dihapuskan sejak tahun 1925.

Dalam Pasal 1902 KUH Perdata ditetapkan bahwa, dalam segala hal di mana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan, jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian selain tulisan dikecualikan. Adapun yang dimaksud permulaan pembuktian ialah semua akte tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan yang membenarkan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang diajukan seseorang.

Dimaksudkan bahwa seorang saksi itu akan menerangkan tentang apa yang dilihat atau dialaminya sendiri. Dan lagi tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan itu. Pendapat umum perkiraan-perkiraan yang diperoleh dengan jalan pikiran bukanlah suatu kesaksian. Seorang saksi tidak boleh memberikan keterangan-keterangan berupa kesimpulan-kesimpulan, karena menarik kesimpulan merupakan wewenang hakim.

Semua orang yang cakap menjadi saksi diwajibakan memberikan kesaksian. Jika orang tersebut tidak memenuhi penggilan sebagai saksi, menurut undang-undang orang itu dapat:

a.       Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi.

b.      Secara paksa dibawa ke pengadilan.

c.       Dimasukan dalam penyanderaan (Pasal 140, 141, dan 148 HIR).

 

Persangkaan-Persangkaan

Yang dinamakan persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal, artinya belum terbukti. Maka dari itu, kalau persangkaan ini dinamakan alat bukti, itu adalah kurang tepat.

              Adapun yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang. Bila yang menarik kesimpulannya adalah hakim maka dinamakan persangkaan hakim dan apabila yang menarik kesimpulannya adalah undang-undang maka dinamakan persangkaan udang-undang.

Apabila sukar ditemui saksi-saksi yang melihat atau mengalami suatu peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan-persangkaan ini. Untuk membuktikan peristiwa C maka dibuktikan dahulu peristiwa A dan B. Bila peristiwa-peristiwa terakhir ini dapat dibuktikan, dapatlah disimpulkan bahwa peristiwa C ini memang benar terjadi. Misalnya, jika tidak bisa membuktikan secara langsung bahwa suatu barang telah diterima oleh si pembeli, maka diusahakan membuktikan pengiriman barang-barang tadi dari gudang si penjual dan diusahakan pula membuktikan bahwa si pembeli tidak lama kemudian telah menawarkan atau menjual barang-barang tersebut kepada orang lain. Jika peristwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang dilakukan oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh hakim, maka hakim dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si pembeli.

Biasanya dalam suatu perkara gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinaan, adalah sukar sekali, dan bisa juga dikatakan tak mungkin untuk mendapatkan saksi-saksi yang telah melihat sendiri perbuatan zina itu. Untuk membuktikan peristiwa perzinan itu, maka hakim perlu sekali mempergunakan persangkaan-persangkaan.

Kalau dengan bukti tulisan atau kesaksian lazimnya dilakukan pembuktian secara langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka dengan persangkaan-persangkaan ini suatu peristiwa dibuktikan secara tak langsung, artinya dengan melalui atau dengan perantaraan pembuktian peristia-peristiwa lain.

 

Pengakuan

Sebenarnya tidak tepat untuk menamakan pengakuan itu suatu alat bukti, karena justru apabila suatu dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dali-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau disangkal. Malahan jika semua dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu perselisihan. Dan dalam perkara perdata itu, tidak menyangkal diartikan sebagai mengakui atau membenarkan dalilnya pihak lawan.

Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang terlibat dalam terjadinya suatu peristiwa, baik pengakuan itu dilakukan sendiri ataupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Artinya ialah, bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan mengabulkan segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan yang merupakan bukti yang sempurna dan mengikat ialah pengakuan yang dilakukan di muka sidang hakim. Pengakuan itu harus diucapkan di muka hakim oleh tergugat sendiri atau oleh seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu.

Pengakuan itu tidak dapat ditarik kembali kecuali itu merupakan suatu bentuk kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Tidak boleh pengakuan ditarik kembali dengan dalih bahwa orang yang melakukannya khilaf tentang suatu soal hukum. Adapun pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak dapat dipakai untuk selainnya di mana diizinkan pembuktian dengan saksi, sedangkan tentang kekuatan pembuktian diserahkan kepada hakim. Artinya pengakuan di luar sidang pengadilan bukan merupakan suatu bukti yang mengikat, tetapi merupakan bukti bebas. (Pasal 1927, 1928 KUH Perdata).

 

Sumpah

              Seorang saksi, jika diminta memberikan kesaksian terhadap sesuatu, harus disumpah untuk menguatkan kesaksiannya itu. Dalam perkara perdata, sumpah itu juga dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang bersengketa. Satu pihak dapat memerintahkan lawannya untuk bersumpah tentang suatu hal yang menjadi perelisihan, misalnya hal sudah atau belumnya dibayar suatu utang. Juga hakim diberikan wewenang untuk membebankan sumpah kepada salah satu pihak. Dengan sendirinya pembebanan sumpah tadi baru dilakukan apabila tidak didapatkan bukti-bukti lain.

 

Penutup

              Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian, nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan. Hukum pembuktian sebenarnya merupakan suatu bagian dari pada hukum acara karena ia memberikan aturan-aturan tentang bagaimana suatu perkara di muka hakim (Law of Procedure).

              Dari apa yang disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa dalam suatu perkara perdata alat bukti yang utama adalah tulisan. Dalam lalu-lintas keperdataan, yaitu dalam jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa dan lain-lain dibuat suatu alat bukti yang akan sangat diperlukan di kemudian hari. Orang yang telah membayar utangnya meminta tanda bukti pembayaran, orang yang melakukan transaksi perjanjian utang-piutang dengan orang lain meminta dibuatnya perjanjian hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, dalam suatu masyarakat yang sudah maju, tanda atau bukti yang tepat memanglah tulisan.

              Di samping tulisan-tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti, ada juga tulisan-tulisan yang dibuat tanpa maksud yang denikian, tetapi sewaktu-waktu dapat dipakai juga atau berguna dalam suatu pembuktian. Misalnya surat-menyurat biasa, catatan-catatan pembukuan dan lain-lain. Ada banyak jenis bukti berupa tulisan seperti kuitansi, surat perjanjian, surat hak milik, surat tanda kelahiran, tanda kematian, dan sebagainya.

              Apabila tidak ditemukan suatu tulisan sebagai tanda bukti, maka dapat dicari orang-orang yang terlibat baik melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang-orang tersebut di muka hakim diajukan sebagi saksi. Menjadi suatu kemungkinan bahwa orang-orang tersebut pada waktu terjadinya peristiwa memang sengaja telah diminta untuk menyaksikan peristiwa yang berlangsung, baik itu jual-beli, dan sebagainya. Atau mungkin bisa jadi orang tersebut hanya kebetulan melihat dan juga mungkin menjadi salah satu pihak yang mengalami peristiwa tersebut.

              Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang harus dibutikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa dengan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan. Ada peristiwa lain yang umumnya dapat dibuktikan dengan persangkaan, yaitu peristiwa perzinaan, yang perlu dibuktikan dalam suatu perkara perceraian. Dalam peristiwa perceraian-perceraian itu malahan sudah terdapat yurisprudensi, bahwa dari terbuktinya dua orang laki-laki, laki-laki dan perempuan, menginap dalam suatu kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, dapat dianggap bahwa mereka terbukti melakukan perzinaan.

              Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian denga persangkaan dinamakan pembuktian secara tak langsung. Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara pidana. Pengakuan disebut suatu alat bukti sebenarnya tidak tepat. Sebagaimana sudah dapat dilihat, justru karena suatu dalil diakui pihak lawan, maka pihak yang mengajukan dalil tersebut dibebaskan dari pembuktian. Juga tak dapatlah pihak yang tadi mengajukan dalil mengatakan bahwa ia berhasil membuktikan dalilnya tadi.

              Seorang saksi, jika diminta memberikan kesaksian terhadap sesuatu, harus disumpah untuk menguatkan kesaksiannya itu. Dalam perkara perdata, sumpah itu juga dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang bersengketa. Satu pihak dapat memerintahkan lawannya untuk bersumpah tentang suatu hal yang menjadi perelisihan, misalnya hal sudah atau belumnya dibayar suatu utang. Juga hakim diberikan wewenang untuk membebankan sumpah kepada salah satu pihak. Dengan sendirinya pembebanan sumpah tadi baru dilakukan apabila tidak didapatkan bukti-bukti lain.


Referensi

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.

Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Martiman Prodjohamidjojo. 1984. Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita.

Subekti. 1995. Hukum Pembuktian (Cetakan Kesebelas). Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post