Perihal Pesta Pernikahan (Walimah Nikah/Walimatul 'Ursy) dan Hukum-hukum yang Berkaitan dengannya

 

Hukum Walimah Nikah

Walimah Nikah/Walimatul 'Ursy

Pendahuluan

Salah satu rangkaian dalam pernikahan adalah walimah atau yang kita kenal dengan istilah pesta pernikahan. Melihat kenyataan yang ada dan berkembang di masyarakat, banyak yang belum mengetahui mengenai konsep walimah dalam Islam secara komprehensif. Kebanyakan hanya mengetahui walimah secara setengah-setengah. Akibatnya, banyak terjadi walimah-walimah yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Banyak yang mengadakan walimah, yang mengikuti waliamh-walimah yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada zaman jahiliyyah. Seperti ragkaian acara yang melalaikan, dan lupa kepada Allah SWT. Diantaranya, acara-acara permainan dan senda gurau dalam acara walimah. Atau juga kondisi dalam walimah yang menyebabkan terjadinya ikhthilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan juga masih banyak lagi berbagai kebiasaan walimah yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Hal ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang mengadakan walimah. Aturan dan tata cara walimah ini, juga terdapat bagi orang-orang yang diundang untuk datang ke sebuah walimah.  Termasuk etika ketika mengahadiri walimah. Bahkan dalam ajaran agama Islam diatur perihal orang yang tidak diundang dalam suatu walimah namun datang untuk mengikuti dan menghadiri walimah tersebut.

 

Pengertian Walimah

Walimah merupakan suatu istilah dalam literatur Arab yang berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perkawinan. Sebagian ulama menggunakan istilah walimah itu untuk setiap jamuan makan dan untuk setiap kesempatan mendapatkan kesenangan, hanya saja penggunaannya untuk perkawinan lebih banyak. Menurut sebagian ahli bahasa, untuk selain perkawinan biasanya tidak digunakan kata walimah meskipun juga menghidangkan makanan. Misalnya, untuk acara jamuan khitanan digunakan istilah العذرة (al-‘użrah), sedangkan untuk jamuan kelahiran anak digunakan istilah الخرسة  (al-‘khursah), juga untuk jamuan kembalinya orang yang hilang disebut النقيعة (al-naqī’ah).

Dalam definisi yang terkenal di kalangan ulama, walimah al-‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya suatu akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. Walimah al-‘ursy sendiri mempunyai nilai tersendiri melebihi perhelatan yang lainnya sebagaimana perkawinan itu mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan melebihi peristiwa lainnya. Oleh karena itu, walimah al-‘ursy dibicarakan hampir di setiap kitab fiqh.

 

Hukum Melaksanakan Walimah

Hukum walimah itu menurut jumhur ulama adalah sunnah. Hal ini dipahami dari sabda nabi yang berasal dari Anas bin Malik menurut penukilan yang muttafaq ‘alaih:

 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صَفْرَةٍ فَقَالَ مَا هذَا؟ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ بَارَكَ اللهُ لَكَ اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw melihat ke muka Abdul Rahman bin Auf yang masih ada bekas kuning. Berkata Nabi: Apa ini? Abdul Rahman menjawab: Saya baru mengawini seorang perempuan dengan maharnya lima dirham. Nabi bersabda: Semoga Allah memberkatimu, adakanlah perhelatan, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing.

Perintah nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini tidak mengandung arti wajib, tetapi hanya sunah menurut jumhur ulama karena yang demikian merupakan tradisi yang hidup melanjutkan tradisi yang berkembang di masyarakat Arab sebelum Islam datang. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui oleh nabi untuk dilanjutkan dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikannya dengan tuntunan Islam.

Yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah golongan Zhahiriyah yang mengatakan diwajibkan kepada setiap orang yang melangsungkan perkawinan untuk mengadakan walimah al-“ursy, baik secara kecil-kecilan muapun besar-besarna sesuai dengan keadaan yang mengadakan perkawinan. (Ibnu Hazmin: 450). Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada hadis yang disebutkan di atas dengan memahami amar atau perintah dalam hadis itu sebagai perintah wajib.

 

Waktu Terbaik Melaksanakan Walimah

Dalam, kitab I’anah at-Thalibin, Syeikh Abu Bakr mengatakan bahwa waktu paling utama dalam melaksanakan walimah adalah setelah dukhul. Hal ini dikarenakan bahwa Nabi SAW, tidak melakukan walimah atas pernikahannya dengan istri-istrinya kecuali setelah dukhul. Apabila dilakukan sebelum dukhul, masih mendapat pahala sunah walimah, asalkan dilakukan setelah akad. Walimah ini, lebih utama dilakukan di malam hari daripada di siang hari. Adapaun menurut pendapat Ibnu Shalah, walimah itu utama dilakukan baik di malam ataupun siang hari. Berlangsungnya waktu walimah ini setelah dukhul menurut Imam Ad-Damiry adalah tujuh hari bagi perawan dan tiga hari bagi janda, apabila melewati batas ini, maka menjadi qadha.

 

Hikmah dari Syari’at Walimah

Adapaun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan di kemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberitahukan terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.

 

Hukum Menghadiri Walimah

Adanya perintah nabi, baik dalam arti sunah atau wajib, mengadakan walimah mengandung arti sunah mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan memberi makan hadirin yang datang. Tentang hukum mengahadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya adalah wajib, jumhur ulama yang tidak berprinsip wajibnya melaksanakan walimah, juga berpendapat wajibnya mendatangi undangan walimah itu. Kewajiban mendatangi walimah itu berdasarkan suruhan khusus Nabi untuk memenuhi undangan walimah sesuai sabdanya yang bersumber dari Ibnu Umar dalam hadis muttafaq ‘alaih:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِذَا نُوْدِيَ اَحَدُكُمْ فِى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا

Nabi Muhammad SAW bersabda: Bila salah seorang di antara kamu diundang menghadiri walimah al-‘ursy, hendaklah mendatanginya.

Bahkan, jikalau sekiranya seorang yang diundang ke sebuah walimah sedang berpuasa, maka wajib baginya menghadiri undangan tersebut. Hal ini juga didasari oleh sebuah hadis nabi yang artinya jika salah seorang di antara kalian diundang sedangkan dia sedang berpuasa, maka wajib baginya memenuhi undangan tersebut. Apabila memberatkan berpuasa sunnah, maka berbuka lebih utama baginya daripada menyempurnakan puasa. Sedangkan apabila tidak memberatkan, maka berpuasa lebih baik baginya. Ini dalam puasa sunah. Adapun dalam puasa wajib, tidak diperbolehkan.

Lebih lanjut ulama Zhahiriyah yang mewajibkan mengadakan walimah menegaskan kewajiban memenuhi undangan walimah itu dengan ucapannya bahwa seandainya yang diundang itu sedang tidak berpuasa dia wajib makan dalam walimah itu, namun juga bila ia berpuasa wajib mengunjunginya, walau dia hanya sekedar memohonkan do’a untuk yang mengadakan walimah di tempat walimah tersebut.

Kewajiban menghadiri walimah sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Zhahiriyah di atas bila undangan itu ditunjukkan kepada orang tertentu dalam arti secara pribadi diundang. Hal ini mengandung arti bila undangan walimah itu disampaikan dalam bentuk masal seperti melalui pemberitaan dalam media massa yang ditujukan untuk siapa saja, maka hukumnya tidak wajib.

Untuk menghadiri walimah biasanya berlaku untuk satu kali. Namun apabila yang mempunyai hajat mengadakan walimah untuk beberapa hari dan seseorang diundang untuk setiap kalinya, mana yang mesti dihadiri menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Jumhur ulama termasuk Imam Ahmad berpendapat bahwa yang wajib dihadiri adalah walimah hari yang pertama, hari yang kedua sunah sedangkan hari selanjutnya tidak lagi sunah hukumnya. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah yang bunyinya:

اَلْوَلِيْمَةُ اَوَّلُ يَوْمٍ حَقٌّ وَالثَّانِى مَعْرُوْفٌ وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَ سُمْعَةٌ

Walimah hari pertama merupakan hak, hari kedua adalah makruf sedangkan hari ketiga adalah riya dan pamer.

Meskipun seseorang wajib mendatangi walimah, namun para ulama memberikan kelonggaran kepada yang diundang untuk tidak datang dalam hal-hal sebagai berikut:

a)      Dalam walimah dihidangkan makanan dan minuman yang diyakini tidak halal.

b)      Yang diundang hanya orang-orang kaya dan tidak mengundang orang-orang miskin.

c)      Dalam walimah itu ada orang-orang yang tidak berkenan dengan kehadirannya.

d)      Dalam rumah tempat walimah itu terdapat perlengkapan yang haram.

e)      Dalam walimah diadakan permainan yang menyalahi aturan agama.

 

Menghadiri Dua Undangan Walimah

Apabila seseorang diundang oleh dua orang da’i (yang mengundang) harus mendahulukan orang yang terdekat pintunya dan bila diundang dalam waktu yang sama dan tidak mungkin dia menghadiri keduanya, maka ia harus memenuhi undangan yang pertama. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam sebuah hadis dari seorang sahabat nabi yang diriwyatkan oleh Muslim dalam sanad yang lemah:

اِذَا اجْتَمَعَ دَاعِيَانِ أَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا وَاِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَاَجِبِ الَّذِيْ سَبَقَ


Bila bertemu dua undangan dalam waktu yang sama penuhilah mana yang terdekat pintunya dan bila salah seorang lebih dahulu, maka penuhilah mana yang lebih dahulu.

 

Hukum Ikhthilath dalam Walimah Nikah

Baik dalam keadaan apapun, ikhthilath anatara laki-laki dan perempuan adalah hal yang dilarang atau haram, kecuali dalam keadaan darurat seperti ketika thawaf ibadah haji, dikarenakan keadaan yang memaksa demikian. Adapun di luar hal-hal yang tidak madarat (mendesak), harus dihindari termasuk dalam walimah nikah. Bagi pemilik acara walimah hendaknya mengatur tempat walimah sebaik mungkin agar tidak menimbulkan ikhthilath antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ikhthilath ini terjadi, khususnya di Indonesia, di saat acara penghidangan makanan yang diambil sendiri-sendiri secara berbaris (prasmanan).

 

Hukum Kwade

Adapun hukum kwade atau duduknya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan di hadapan tamu undangan, ada salah satu pendapat yang menyebutkannya tidak boleh dan dilarang. Alasannya adalah karena mempelai wanita dengan segala tata rias yang membuatnya menjadi tampil cantik dan menarik, akan dapat dengan mudah dilihat oleh semua tamu undangan, termasuk yang bukan mahram dan tidak halal.

Begitu pula sebaliknya, mempelai laki pun sama. Karena biasanya yang hadir ke pesta perkawinan selalu berdandan menarik, dikhawatirkan mempelai laki-laki juga akan melihat, dan terpesona dengan tamu-tamu undangan wanita, apalagi jika pesta pernikahannya ditambah dengan tarian-tarian yang dibawakan oleh penari perempuan di hadapan mempelai.

 

Hukum Amplop dalam Walimah Nikah

Perihal memberikan amplop sumbangan kepada pengantin di saat walimah, nampaknya dikembalikan kepada ‘urf (tradisi) masing-masing daerah. Hal ini karena tidak semua daerah melakukan hal ini. Apabila terdapat kebaikan dalam pemberian amplop ini, dan tidak bertentangan dengan syariat, tidak ada salahnya. Jadi, karena dianggap baik, maka pemberian amplop ini kepada pengantin, asalkan ikhlas dan tidak mengandung unsur-unsur seperti riya, maka diperbolehkan. Dalil yang dijadikan alasan oleh pendapat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yaitu:

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ

“Apa yang dipandang baik oleh umat islam, maka baik pula di sisi Allah”

Hadis ini menunjukkan bahwa apa yang telah berlaku di masyarakat dan dipandang baik serta menjadi kebiasaan orang Islam, maka baik juga di sisi Allah dan dapat diamalkan. Hadis ini juga yang digunakan oleh Wahbah Zuhaily sebagai landasan hukum ‘urf atau adat.


Referensi

Sayyid Bakr bin Sayyid Muhammad Syathan Ad-Dimyaty. 2009. Hasyiah I’anah at-Thalibin Juz 3. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.

Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Syihabuddin Ahmad. (tt). Hasyiyatani ala Minhaj at-Thalibin Juz 3. Mesir: Dar al-Fikr.

Yunus, Mahmud. 1968. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: CV. Al-Hidajah.

http://islamqa.info/id/102794


Post a Comment

Previous Post Next Post