Pendahuluan
Bertahun-tahun bangsa Indoneisa
berjuang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Segala bentuk perjuangan
dilakukan untuk mencapai kemerdekaan. Di mulai dari masa perlawanan daerah
hingga pergerakan nasional. Di masa pergerakan nasional ini, lahir para tokoh-tokoh
intelektual yang banyak menyumbangkan hasil pemikirannya untuk mempersatukan
bangsa Indonesia yang sudah sejak lama dipecah-pecah oleh penjajah menjadi
bagian-bagian kecil. Semua pengorbanan bangsa Indonesia tidaklah sia-sia. Sebab,
pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dalam
sebuah pembacaan teks proklamasi. Sejak saat itulah bangsa Indonesia memperoleh
kedaulatannya, dan sejak saat itulah awal mula sejarah tata negara Indonesia
dimulai.
Dalam
sejarahnya, dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945 sampai
sekarang, telah banyak mengalami perubahan demi perubahan. Hal ini dipengaruhi
oleh banyak sebab. Salah satu sebabnya adalah keinginan penjajah untuk kembali
menjajah Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Namun, upaya penjajah itu tidak
berhasil dan digagalkan oleh perjuangan bangsa Indonesia yang gigih dan tak
kenal menyerah. Agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia stabil,
dicoba berbagai pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Namun tampaknya, hal ini
tidaklah mudah. Indonesia sering melakukan pergantian pelaksanaan pemerintahan
yang relatif singkat karena dirasa kurang cocok.
Lahirnya Negara Republik Indonesia
Sejak proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas
nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sejak saat itulah Negara
Republik Indonesia lahir. Naskah proklamasi yang asli ditandatangani oleh Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia, dan dibacakan oleh Bung Karno
di depan kediamannya yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta
Timur pukul 10.00 WIB. Selesai pembacaan teks proklamasi, Soekarno melanjutkannya
dengan pidato proklamasi. Meskipun prosesi pembacaan naskah proklamasi ini
tidak dihadiri secara langsung oleh seluruh bangsa Indonesia, namun diwakili
oleh perwakilan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai daerah.
Dengan lahirnya Negara
Republik Indonesia yang ditandai dengan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan,
maka bersama itu pula tata hukum dan tata negara Indonesia berdiri. Jadi,
proklamasi mengandung arti:
1.
Lahirnya Negara Republik Indonesia;
2.
Sebagai puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang
dihayati sejak tanggal 20 Mei 1908;
3.
Pengukuhan kebinekhaan yang dimulai sejak sumpah pemuda;
4.
Titik tolak pelaksanaan amanat penderitaan rakyat.
Lahirnya Pemerintahan Indonesia
Pada tanggal 29
april 1945, pasukan tentara Jepang di Jakarta membentuk suatu badan yang diberi
nama Dokuitsu Jubni Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang disingkat
menjadi BPUPKI. Badan ini terdiri dari 62 anggota yang diketuai oleh Dr.
Radjiman Wedyodiningrat. BPUPKI mengadakan dua kali rapat. Yang pertama pada
tanggal 29 Mei 1945 sampai tanggal 1 juni 1945 dan sidang yang kedua tanggal 10
Juli 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945. BPUPKI ini kemudian membentuk
panitia kecil yang dinamakan panitia sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno.
Panitia sembilan ini berhasil menyusun naskah pembukaan UUD 1945 yang lebih
dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Setelah tugasnya
selesai, BPUKI kemudian dibubarkan. Lalu dibentuk lagi suatu badan baru yang
disebut Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 21 anggota yang
merupakan perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia. Anggota PPKI itu adalah
pemimpin-pemimpin rakyat yang terkenal.
PPKI menetapkan
dalam sidangnya yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 Ir. Soekarno sebagai
presiden dan Moch Hatta sebagai wakilnya, menetapkan UUD 1945 dan membentuk
Komite Nasional sebagai pembantu tugas presiden. Lalu pada sidang yang kedua,
yaitu pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk 12 Departemen Pemerintah dan
membagi Indonesia ke dalam 8 provinsi.
Perkembangan Sistem Pemerintahan di Indonesia
Sebelum UUD 1945
diamandemen, Sistem pemerintahan di Indonesia awalnya bukan merupakan sistem
presidentil yang murni. Karena menurut Sri Soemantri yang dikutip oleh Dasril
Radjab, sistem pemerintahan Indonesia mengandung segi-segi presidentil dan
segi-segi parlementer atau dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia
adalah campuran.
Menurut penjelasan
UUD 1945 sebelum amandemen, dalam sistem pemerintahan Indonesia dikenal adanya
7 buah kunci pokok, yaitu:
1.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat).
2.
Sistem konstitusional.
3.
Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
4.
Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di
bawah Majelis.
5.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
6.
Kekuasaan kepala negara tak terbatas.
Kemudian setelah UUD 1945 diamandemen, maka sistem pemerintahan
Republik Indonesia mengalami suatu perubahan sebagai berikut:
1.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan akan hukum (rechtstaat).
2.
Sistem konstitusional.
3.
Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat.
4.
Presiden adalah Penyelenggara Pemeintahan Negara yang tertinggi di
samping MPR dan DPR.
5.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6.
Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak
bertanggung jawab kepada DPR.
7.
Kekuasaan kepala negara dibatasi.
Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia dipimpin oleh
Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Presiden selain sebagai kepala
negara ia juga sebagai kepala pemerintahan. Sistem pemerintahan adalah presidensial,
dalam arti kepala pemerintahan adalah presiden, kedudukan presiden tidak
tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, namun begitu, kekuasaannya tidak
dibatasi.
Pada masa awal pemerintahan, berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan
Peralihan UUD, presiden memiliki kekuasaan yang besar dan presiden memegang
kekuasaan pemerintahan dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan kekuasaannya,
Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Wakil presiden dan
menteri-menteri pada hakikatnya hanyalah pembantu presiden.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa UUD 1945 itu telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat semenjak ia diciptakan. Kurang lebih
dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadilah perubahan praktik
ketatanegaraan, khususnya perubahan terhadap Pasal IV Aturan Peralihan.
Perubahan ini dilakukan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X.
Sejak tanggal 16 Oktober 1945 Presiden harus membagi kekuasaan yang
dimiliki berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu dalam hal menetapkan
garis-garis haluan negara dan mengenai pembentukan Undang-undang dengan Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat.
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan negara ialah
dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat
Pemerintah ini adalah suatu tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan
terhadap susunan kabinet yang ada. Dengan Maklumat ini, diumumkan nama-nama
dari menteri-menteri dalam susunan kabinet yang baru.
Hal yang terpenting menurut Joeniarto, bukan mengenai susunan dari
kabinet itu, tetapi dengan pergantian kabinet ini terjadilah perubahan dalam
konstelasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Maklumat
Pemerintah ini, maka terjadilah sekali lagi pengurangan terhadap kekuasaan
Presiden. Sebenarnya yang terjadi bukanlah pengurangan, tetapi pergantian dari
sistem Presidensial menjadi sistem Parlementer.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia setelah lahirnya
Maklumat Wakil Presiden No.X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang
fundamental karena Maklumat itu hanya penegasan terhadap Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945, namun dengan lahirnya Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1946, secara prinsip telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia
dari sistem Presidensial menjadi sistem Parlementer.
Menurut M. Yamin sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat Pemerintah
itu telah terjadi perubahan terhadap ketentuan Pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui
prosedur perubahan sebagai mana diatur di dalam Pasal 37 UUD 1945. Akan tetapi
perubahan itu dilakukan dengan cara yang tidak teratur dalam UUD yakni melalui
cara istimewa seperti revolusi, coup d’etat, conventiondan
sebagainya. Jadi, perubahan ke arah sistem parlementer itu terjadi bukan karena
diatur dalam UUD, melainkan karena konvensi ketatanegaraan. Hal ini dilakukan
karena Indonesia ketika itu masih dalam kondisi darurat. Artinya,
lembaga-lembaga yang seharusnya dibentuk, belum ada.
Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada empat macam
Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku, yaitu:
1)
UUD 1945, yang berlaku antara
17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949
2)
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
3)
UUD Sementara 1950, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959
4)
UUD 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959
Dalam keempat periode berlakunya keempat macam Undang-Undang Dasar
itu, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku
UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II NO.
7. Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 2959 sampai sekarang. Melalui Dekrit itu, telah dinyatakan
berlakunya kembali UUD 1945.
Perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia semenjak Proklamasi
Kemerdekaan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, tidak lapang
jalannya karena kolonialis Belanda selalu ingin menancapkan kembali
kekuasaannya.
Pengalaman yang pahit pernah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia
ketika Belanda memaksakan diri untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah runtuh. Ia sudah
tidak memiliki kedaulatan. Belanda tidak henti-hentinya mengusahakan segala
jalan dalam merongrong Republik Indonesia. Mereka secara terus-menerus membuat
“negara” di wilayah Republik Indonesia (RI) yang telah diakui de facto
dalam persetujuan Linggarjati.
Dengan dipersetujui hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada
tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka pada tanggal 27 December 1949
dilakukan penandatanganan naskhah “penyerahan” kedaulatan dari pemerintah
Belanda. Dalam Konferensi Meja Bundar disepakati tiga hal, yaitu:
1)
Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2)
Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal yaitu;
a.
Piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada
Pemerintah RIS,
b.
Status uni,
c.
Persetujuan perpindahan
3)
Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan
Belanda.
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari 16 negara
bagian dengan masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang
berbeda, yaitu tujuh negara bagian (Negara Republik Indonesia) dengan wilayah menurut
status quo yang tercantum dalam Persetujuan Renville tanggal 17 Januari
1948, Indonesia, Timur, Psundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur, dan Sumatra
Selatan serta Sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri yaitu Jawa
Tengah, Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar,
Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Bertindak selaku presiden atau kepala Negara yang pertama RIS ialah
Ir. Soekarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai perdana menteri yang
pertama dengan adanya tokoh-tokoh terkemuka dalam kabinet ini yang diantaranya
adalah Sri Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Supomo, Arnold
Monomutu dan banyak lagi. Anggota-anggota kabinet ini kebanyakannya mendukung
unitarisme. Hal ini menyebabkan gerakan untuk membubarkan negara federal dan
memebentuk negara kesatuan semakin kuat. Terutama karena pembentukan negara
federal itu tidak berdasarkan landasan konsepsional. Pada saat itu, ternyata di
dalam lingkungan negara-negara bentukan Belanda pun, terdapat gerakan republik
yang kuat yang berhasrat menegakkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasil yang telah dicapai dengan bentuk persetujuan KMB itu,
bukanlah cita-cita rakyat Indonesia karena itu jelas tidak sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945. Penerimaan hasil
KMB ini menurut beberapa pemimpin (the founding fathers) hanyalah
merupakan batu loncatan (taktik) untuk menuju cita-cita yang murni dari rakyat.
Penerimaan hasil-hasil dari KMB dianggap sebagai tangga untuk mencapai cita-cita
rakyat, yaitu kemerdekaan yang bulat, yang tak ada ikatan dengan apa pun. Menjadi
tuan yang sesungguhnya atas nasib sendiri.
Reformasi dan Perubahan UUD 1945
Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945. Sejak
keluarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945 sampai
berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto, praktik UUD 1945 belum pernah diubah
untuk disempurnakan. Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya bukannya menjunjung
tinggi nilai-nilai kedaulatan rakyat, tetapi yang dijunjung tinggi adalah
kekuasaan pemimpin, itulah yang sangat
dominan. Era ini melahirkan sistem diktator dalam kepimpinan negara. Pengangkatan
presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS merupakan salah satu perwujudan
penyelewengan UUD 1945.
Tidak berbeda jauh dengan era Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Orde
Baru (Soeharto) melakukan suatu praktik yang menentukan bahwa yang boleh
menafsirkan makna yang terkandung dalam UUD 1945 hanyalah pemerintah, sementara
MPR tinggal mengesahkan saja. Gagasan Perubahan UUD 1945 dianggap sebagai
tindakan subversive, musuh utama negara,
dan seterusnya. Padahal gagasan perubahan UUD 1945 telah menjadi tuntutan yang
tidak bisa dielakkan lagi.
Secara filosofis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama,
karena UUD 1945 adalah momen opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi
yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Secara yuridis, para
perumus UUD 1945 sudah menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan
ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya di masa yang akan datang
dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah
penyusunan maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan
kepentingan yang ada pada saat itu.
Dorongan memperbarui atau mengubah UUD 1945 didasarkan pula pada
kenyataan bahwa UUD 1945 sebgai subsistem tatanan konstitusi dalam
pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatside mewujudkan negara
berdasarkan konstitusi, seperti tegaknya tatanan demokrasi, negara berdasarkan
atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman
yang merdeka, serta keadilan sosial bagis seluruh rakyat Indonesia. Hal yang
terjadi adalah etatisme, otorisme, atau kediktatoran yang menggunakan UUD 1945
sebagai sandaran.
Di tengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, disusun kesepakatan
dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945.
Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir yaitu:
1.
Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.
Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3.
Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
4.
Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam
Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
5.
Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”
Dalam pasal-pasal UUD 1945, tidak ada satu pasal pun yang melarang
untuk mengubah Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi oleh sebagian besar Anggota MPR
sebagaimana diuraikan di atas, disepakati Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita
luhur bangsa Indonesia sehingga tidak boleh diubah serta dipandang sudah final.
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif yang mendasari
seluruh pasal dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 mengandung staatside
berdirinya Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) negara,
serta dasar negara yang harus tetap dipertahankan.
Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial
bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang
dianut oleh Negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara
pada tahun 1945. Dalam sistem ini, terdapat lima prinsip penting, yaitu:
1.
Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggraan
kekuasaan eksekutif negara yang
tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar
2.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan
karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab
langsung kepada rakyat.
3.
Presiden atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum apabila Presiden dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum
dan konstitusi.
4.
Para Menteri adalah Pembantu Presiden. Menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dan karena itu bertanggungjawab kepada presiden
bukan bertanggungjawab kepada parlemen.
5.
Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem
presidensial sangat kuat, maka ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima
tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.
Kesepakatan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara “addendum”,
yakni perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD
1945 sebagaimana terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah
perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.
Penutup
Hukum tata
negara di Indonesia dari awal kemerdekaan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Baik dalam hal sistem pemerintahan, konstitusi, dan sistem
pemerintahan. Perubahan itu menunjukkan bahwa di awal kemerdekaan, Negara
Republik Indonesia masih belum stabil. Para pemimpin dan tokoh negara Indonesia
masih berusaha mencoba dan menerapkan berbagai sistem agar ditemukan sistem
terbaik yang sesuai dengan bangsa Indonesia dan mencerminkan kepribadian
bangsa.
Setelah
dilakukannya amandemen dan dilakukannya reformasi, tidak menjadikan suatu
kepastian bahwa Hukum Tata Negara yang sekarang diterapkan di Indonesia tidak
akan mengalami perubahan lagi. Sebab, hukum senantiasa berkembang dan berubah
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Biar bagaimanapun, hukum di
Indonesia tidak bersifat rigid atau kaku, tetapi bersifat elastis yang dapat
menerima perubahan.
Referensi
C.S.T. Kansil dan Christine S.T.
2000. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
C.S.T. Kansil. 1986. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djamali, Abdoel. 2005. Pengantar
Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Huda,
Ni’matul. 2013. Hukum Tata Negara
Indonesia Jakarta: Rajawali Pers.
Ishaq. 2014. Pengantar Hukum
Indonesia (PHI). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kusnardi, Moh. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Bandung: Sinar Bakti.
Masriani, Yulies Tiena. 2015. Pengantar
Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Radjab,
Dasril. 1982. Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.