Puisi Naar al-Asaa (Api Kesedihan) Karya Qays bin Mulawwah (Majnun bi Laila)
Sekilas tentang Qays bin Mulawwah
Qays memiliki nama lengkap Qays bin Mulawwih (Mulawwah) bin Muzahim bin ‘Adas bin Rabi’ah bin Ja’dah bin Ka’b bin Rabi’ah. Ia lahir pada tahun 44 Hijriah dan dibesarkan di Qatif, sebuah desa dekat Kota Nezd. Ia terkenal sebagai seorang penyair yang jatuh cinta dengan wanita yang bernama Laila. Oleh karena besarnya cinta Qays pada sosok Laila itu, ia dikenal dengan sebutan Majnun bi Laila (Gila karena Laila). Awal pertemuan Qays dan Laila terjadi ketika Qays sedang mengenyam pendidikan di suatu sekolah agama. Kala itu, Qays tak sengaja bertemu seorang gadis bernama Laila. Siapa sangka, pada detik itu juga, ia jatuh cinta pada gadis tersebut. Tak lama setelah itu, Qays mulai mengirimkan puisi-puisi kepada Laila. Gayung bersambut, Laila yang terkagum pada puisi Qays, juga menaruh perasaan yang sama terhadapnya.
Qays yang tergila-gila pada Laila terus-menerus menulis puisi yang memuji dan mengagungkan sosok menawan gadis tersebut. Ia tak segan membacakan puisi tersebut di sudut-sudut jalan. Tak peduli pada orang lain yang mengacuhkannya atau menyebutnya gila. Namun sayang seribu kali sayang, dalam banyak sumber, disebutkan bahwa kisah Qays dan Laila berakhir nestapa. Keduanya pada akhirnya tak dapat hidup bersama. Restu orang tua tak menyertai. Tapi hal itu tidak membuat Qays berhenti untuk menulis puisi. Berikut salah satu contoh puisi karya Qays yang populer berjudul Naar al-Asaa yang berarti Api Kesedihan.
Naskah Puisi Naar al-Asaa
|
Api Kesedihan
Wahai Laila, kayu bakar yang rusak mencela dadaku, dan api kesedihan melempari hatiku dengan
bara.
Waktu hanya bisa memisahkan, cinta mana yang tersisa pada waktu yang akan datang.
Bersabarlah, karena sesungguhnya waktu dapat melukai batu dan mencela gunung yang keras hanya dalam dua
masa.
Apabila air mata sangat menyulitkan kepada pemiliknya, aku heran pada kuda yang
berkeringat banyak selama hujan.
Demi Allah, aku
takkan melupakanmu selama angin timur berhembus, dan selama burung-burung
berkicau di pagi hari.
Selama
rombongan burung qoto berbicara di malam hari, dan selama hujan keruh bernyanyi
di pagi hari.
Selama bintang
bersinar di langit dan selama burung merpati menangis karena bersedih di atas
dahan pohon bidara.
Selama matahari
terbit di hadapan setiap yang berkilau, dan selama mata air mengalir di tengah
sungai.
Selama malam
gelap dan warnanya menghitam, dan selama ingatan tentangmu ada dalam dadaku
sepanjang waktu.
Selama
perempuan mengandung dan selama burung unta bersembunyi, dan selama ombak
meluap di gemuruhnya lautan.
Selama
unta-unta muda merayap di bawah kaki-kaki dengan lututnya menuju rumahnya di
negeri yang sunyi.
Wahai Laila,
janganlah engkau mengira bahwa aku melupakanmu, dan engkau bukan bagian dariku, bagaimana pun juga engkau ada dalam ingatan.
Akankah merpati
yang hidup menangis karena kehilangan temannya? Mereka berusaha tegar,
sedangkan aku tak punya kesabaran untuk menghadapinya.
Aku bersumpah
takkan melupakanmu selama matahari terbit, dan selama fatamorgana menipu di
jalan yang sunyi.
Andai saja
puisiku bisa membisikkan kepadamu hingga aku melihat kilaunya fajar, apakah
kamu akan menolak malam?
Sungguh tubuhku telah memikul beban waktu di atas kendaraan yang memiliki taring dan kuku yang besar.
Referensi
Al-Faraaj, Abdussattar Ahmad. (tt). Diwan
Majnun Laila. Mesir: Maktabah Mishr.