Perkembangan Kesusastraan pada Masa Dinasti Abbasiyah

 

Perkembangan sastra pada masa Abbasiyah

Perkembangan Kesusastraan pada Masa Dinasti Abbasiyah

Pendahuluan

Masa kekhalifahan Abbasiyah merupakan masa kekhalifahan terlama pada masa sejarah muslim klasik, yakni dari tahun 750-1258 M. Masa ini pun seringkali diklaim sebagai masa keemasan atau kegemilangan politik muslim. Kekuasaannya membentang luas di Asia dan Afrika atau sekitar 2/3 dunia. Kekuasaan dinasti ini adalah kelanjutan dari kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad Saw.

Masa keemasan Abbasiyah pada berbagai bidang membawa kemajuan pesat dalam bidang sastra. Masa itu dapat dikatakan pula sebagai masa keemasan kesusastraan muslim masa klasik. Heterogintas etnis, suku bangsa, dan bahasa yang ada dalam naungan dinasti ini telah membawa pada heterogenitas bahasa dan bentuk sastra. Heterogenitas ini membawa pada kekayaan khazanah Islam pada masa ini. Saat itu, popularitas bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara semakin menyebar, tetapi mendapatkan penyeimbangnya dari bahasa-bahasa penduduk lainnya, seperti bahasa Persia, Turki, dan India. Hanya saja, dalam sudut pandang sebagian para linguis Arab, masa ini merupakan titik   awal masa kemunduran bahasa Arab karena secara sosial terjadi kemajemukan dalam struktur masyarakat, sehingga gharizah (watak) kebahasaan bangsa Arab mengalami kemunduran.

 

Kemajuan-kemajuan pada Masa Dinasti Abbasiyah

Masa kekhalifahan Abbasiyah merupakan masa kekhalifahan terlama pada masa sejarah muslim klasik, yakni dari tahun 750-1258 M. Masa ini pun seringkali diklaim sebagai masa keemasan atau kegemilangan politik muslim. Kekuasaannya membentang luas di Asia dan Afrika atau sekitar 2/3 dunia. Kekuasaan dinasti ini adalah kelanjutan dari kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H dan menjabat sebagai khalifah kurang lebih selama empat tahun.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, geliat intelektual  dan  perkembangan  peradaban  Islam  mencapai puncaknya termasuk kajian tentang sastra. Hal itu dikarenakan beberapa faktor yang diantaranya adalah adanya dukungan dari pemerintah untuk mengembangan kegiatan intelektual. Salah satu bentuk apresiasi pemerintah adalah dengan didirikannya lembaga penerjemahan Darul Hikmah atau Baitul Hikmah. Namun hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa pada masa ini banyak terjadi kekeliruan berbahasa di tengah masyarakat akibat pergumulan yang kuat antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam (non Arab).

Banyak kemajuan-kemajuan yang diraih pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, baik  dalam  bidang  politik,  agama,  ekonomi,  sosial,  budaya,  dan segala   bidang   lainnya   dibandingkan masa-masa sebelumnya, termasuk salah satunya adalah di bidang sastra. Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair atau puisi sebagai titik puncak dari berkesenian, pada zaman Abbasiyah prosa pun ikut berkembang subur.  Mulai  dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama. Oleh karena itu, bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik puisi maupun prosa. Wilayah kajian sastra tidak hanya puisi dan prosa tetapi sudah meluas dalam bidang karya tulis lainnya. Karena hal itu juga, sastrawan pada masa ini dianggap sebagai gudangnya ilmu pengetahuan.

 

Perkembangan Sastra pada Masa Dinasti Abbasiyah

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan dunia sastra pada masa Dinasti Abbasiyah, yakni 1) stabilitas politik, 2) kemajuan sektor ekonomi (kesejahteraan masyarakat), 3) berkembangnya sistem pendidikan dan meningkatnya semangat pengembangan ilmu pengetahuan, 4) interaksi antar budaya  dan  peradaban  yang  semakin  meningkat, 5)  popularitas  para sastrawan, 6) kualitas karya sastra semakin meningkat, 7) perkembangan variasi genre sastra, dan 8) apresiasi masyarakat dan pemerintah yang tinggi terhadap karya sastra.

Ketika Daulah Abasiyah memegang tampuk kekuasaan tertinggi Islam, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat. Pada porsi tertentu, antara politik dan sastra saling mempengaruhi. Pergeseran paling fundamental terjadi ketika pusat kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus dengan tradisi Arab kental ke Baghdad dengan tradisi Parsinya. Pada masa ini seluruh sistem pemerintahan dan kekuasaan politik   dipengaruhi peradaban Sasaniyah Parsi dimana khalifah berkuasa mutlak dan memimpin seluruh struktur pemerintahan mulai dari menteri, pengadilan, sampai panglima prajurit. Puncak kekuasaan pun tidak lagi terbatas pada keturunan Arab. Kondisi politik seperti ini sangat mungkin memengaruhi perkembangan aktivitas sastra ketika itu, karena para syuara (penyair/sastrawan) adalah orang terdekat khalifah di lingkungan istana setelah menteri dan struktur pemerintah lainnya.

Di  saat  terjadi  perpindahan  kekuasaan  dari  Umayyah  ke  Abbasiyah, wilayah geografis dunia Islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal yang bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al-Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.

Pengaruh budaya seperti ini berkembang tidak di seluruh negeri tapi hanya di lingkungan istana dan petinggi-petingi negara. Adapun masyarakat umum berada dalam beragam kondisi perubahan sosial, bahkan dari kelas masyarakat umum muncul gerakan menentang perilaku dan tradisi jahili yang berkembang di lingkungan istana yang dikenal dengan nama Harakah al-Zuhd.

Faktor lain yang mendorong perkembangan kesusastraan di era Abbasiyah adalah karena bergeliatnya aktivitas intelektual masyarakat Islam. Kegiatan intelektual seolah- olah menjadi makanan wajib. Kondisi ini dipengaruhi terbukanya pintu intelektual Islam dengan masyarakat dunia lainnya. Pemerintah sangat mendukung semua aktivitas keilmuan. Hal itu direalisasikan dengan pendirian pusat penerjemahan literatur asing ke bahasa Arab. Al-Mansur adalah khalifah pertama yang menggiatkan aktivitas astronomi  dan  menetapkan  kegiatan  kerja  kerajaan  mengacu pada hukum-hukum  astronomi.  Abu  Jafar  al  Mansur  juga  khalifah  pertama  yang menerjemahkan literatur asing ke bahasa Arab yang diantaranya adalah karya-karya Aristoteles, buku Sanad India dan berbagai literatur lainnya.

Baitul Hikmah di masa Harun al-Rasyid telah menjadi pustaka dunia yang menyimpan beribu-ribu literatur asing Romawi, Yunani, Parsi dan India yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kemajuan ini diikuti dengan lahirnya ribuan ulama dan sastrawan. Baghdad berubah menjadi mercusuar peradaban dan tujuan cendikiawan dan pencari ilmu dari seluruh pelosok negeri. Dalam bidang bahasa dikenal nama Khalil bin Ahmad al-Farahidy sebagai peletak pertama mu’jam lughawy (kamus bahasa Arab) dengan kitabnya Mu’jam al-Ain. Dalam ilmu Fiqh, lahir Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.  Dalam kajian sejarah, dikenal Ibnu Saad dengan karyanya al-Tabaqat  al-Qubra dan Akhbar al-Khulafa’. Dengan kata lain,  semua lini keilmuan mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Faktor politik, sosial dan arus intelektualisme yang tumbuh dan berkembang pesat sudah  tentu  mempengaruhi  aspek-aspek penting dalam  kehidupan sastra masa itu, khususnya dalam syair. Setidaknya dikenal dalam literatur adab (sastra) Abbasiyah bermacam-macam agrad (tujuan/orientasi) syair, seperti al-madah (pujian), al-hija’ (sindiran), al-fakhr (pengagungan), ar-ratsa (ratapan), al-ghazal (rayuan), al-wasfy (penyifatan), az-zuhd (zuhud), al-itab wa al-‘itizar (teguran dan pembelaan), assyi’ry al-ta’limy (sya’ir pengajaran), dan as-syi’ry al-fakahy (sya’ir  humor).  Pengaruh kebudayaan asing yang hadir dan masuk dalam sastra Arab diantaranya adalah buku al-Maydan karya Ulan as-Sya’uby al-Faris, sebuah karya sastra hasil asimilasi dua peradaban besar Arab dan Parsi. Di antara penyair terkenal yang dilahirkan dari peradaban besar ketika itu adalah Basyar bin Bard, Abu Nawas, Marwan bin Abi Hafshah, Abu ‘Atahiyah, Muslim bin Walid, Abdullah bin Marwan bin Zaidah, Muhammad bin Hazim al-Bahily dan ribuan sastrawan lainnya.

Lingkungan sosial dan intelektual yang dinamis dalam peradaban dan khazanah keilmuwan Islam telah mengantarkan perkembangan pesat dalam dunia sastra, tidak saja syair yang menjadi konsentrasi para aktivis sastra, namun juga retorika dalam pidato kenegaraan maupun khutbah Jumat. Pendeknya, semua aktivitas intelektual mendapatkan posisi strategis dan berkembang sangat baik dan dinamis pada masa itu.

 

Sastrawan pada Masa Dinasti Abbasiyah

Pada masa Abbasiyah, sastra mulai dikembangkan oleh Abu Utsman Umar bin Bahr Al-Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al-Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul Kitab Al-Hayawan (Kitab Hewan). Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis karya lain, Kitab Al-Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia.

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10. Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu Badi Al-Zaman Al-Hamadhani, Al-Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al-Hariri. Al-Hamadhani dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya. Seorang sastrawan lainnya, Al-Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al-Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat ini, baik Al-Hamadhani dan Al-Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Umayah. Sastrawan itu bernama Abu Al-Faraj Al-Ishfahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al-Ishfahani. Abu Al-Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al-Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam. Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al-Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya itu, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al-Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al-Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini dipersiapkan oleh Al-Jahsyiyari. Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al-Jahsyiyari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal.

Sastrawan lain yang kemudian muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Al-Tayyib Ahmad Al-Mutanabbi. Banyak kalangan menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar. Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup.

Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol. Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan. Sastrawan yang paling terkenal pada masa ini adalah Abu Nawas dengan beberapa karya sastra monumentalnya yang kemudian akan dijelaskan secara singkat biografinya beserta karya sastranya.

 

Biografi Singkat Abu Nawas

Dia adalah Al-Hasan bin Hani, dilahirkan di Al-Ahwaz pada tahun 145 H pada masa kekhalifahan Abu Ja’far Al-Manshur. Ibunya adalah orang Ahwaz, namanya adalah Julaban. Sedangkan ayahnya adalah orang Damaskus, salah satu pasukan tentara Marwan bin Muhammad II, raja Bani Umayah. Marwan bin Muhammad II pernah mengutus ayah Abu Nawas ke Ahwaz. Di Ahwaz inilah ayahnya bertemu dengan ibunya Julaban lalu jatuh cinta dan menikah. Kemudian lahirlah dari hasil perkawinan itu beberapa anak, diantaranya Abu Nawas dan Abu Mu’adz.

Sebelum Abu Nawas genap berusia dua tahun, ayahnya pindah ke Bashrah dan Abu Nawas pun tumbuh di sana. Ayahnya mati di saat Abu Nawas berusia enam tahun dan Abu Nawas dirawat oleh ibunya yang bekerja sebagai pembuat parfum. Namun Abu Nawas tidak terlalu tertarik dengan pekerjaan itu. Abu Nawas lebih menyukai mempelajari syair-syair karena ketika ia memahami maknanya hatinya menjadi tenang. Dia suka berkumpul dengan sastrawan-sastrawan hanya untuk sekedar mendengarkan syair-syairnya. Hingga akhirnya Abu Nawas pun bertemu dengan Abu Usamah Walibah bin Habab. Walibah adalah salah satu penyair gazl yang sangat dikagumi oleh Abu Nawas. Ia juga seorang yang ahli membuat syair tentang khamr. Abu Nawas pun kemudian mengikuti Walibah ke Kuffah dan Baghdad untuk belajar syair darinya.

Setelah lama bersama Walibah, Abu Nawas pun banyak mendapat ilmu tentang syair. Selain belajar dari Walibah, Abu Nawas juga belajar syair dari Abu Zaid Al-Anshary, khususnya mengenai gharib al-alfiadz (kata-kata asing). Kemudian Abu Nawas juga belajar dari Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin al-Mutsanna. Abu Nawas pun menjadi terkenal di kalangan masyarakat dengan keahlian syairnya. Hingga Mu’ammar bin al-Mutsanna sendiri pernah berkata: “Abu Nawas kini seperti Imruul Qais dulu”. Bahkan Al-Jahith juga pernah berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai berbahasa daripada Abu Nawas”.

Abu Nawas adalah seorang yang cerdas dan tampan. Suatu ketika pernah ada seorang gadis cantik yang lewat di depan Abu Nawas. Gadis itu berdiri di hadapan Abu Nawas beberapa saat lalu melemparkan sebuah apel yang telah digigit. Abu Nawas pun menjawabnya dengan sebuah syair yang berbunyi:

لَيْسَ ذَاكَ العَضُّ مِنْ عَيْبٍ لَهَا   إِنَّمَا ذَاكَ سُؤَالٌ لِلقُبَلِ

“Bekas gigitan itu bukanlah aib baginya, tetapi bekas gigitan itu adalah merupakan permintaan untuk dicium”.

 

Karya Sastra dari Abu Nawas

Abu Nawas adalah seorang penyair yang terkenal pada masa Abbasiyah awal. Bahkan sampai sekarang karya-karya syairnya banyak dikenal oleh banyak orang. Di antara karya-karyanya yang terkenal antara lain:

يَا طَالِبَ الدُّنيَا لِيَجْمَعَهَا   جَمَحَت بِكَ الأَمَالُ فَاقتَصِدِ

وَالقَصْدُ أَحسَنُ مَا عَمِلتَ لَهُ   فَاسْلُكْ سَبِيلَ الْخَيرِ وَاجْتَهِدِ

وَاعمَل لِدَارٍ أَنتَ جَاعِلُهَا   دَارَ المَقَامَةِ آخِرَ الأَبَدِ

“Wahai pencari dunia untuk dikumpulkan, angan-angan telah lari darimu, maka berjalan luruslah! Tujun itu adalah sebaik-baik apa yang kamu kerjakan untuknya. Maka tempuhlah jalan kebaikan dan bersungguh-sungguhlah. Dan beramallah untuk tempat yang akan kau jadikan tempat terakhir yang abadi!”

أَتَانِي عَنكِ سَبُّكِ لِي فَسُبٍّي   أَلَيسَ جَرَى بِفِيكِ اسْمِي فَحَسبِي

وَقُولِي مَا بَدَلُكِ أَن تَقُولِي   فَمَاذَا كُلُّهُ إِلَّا لِحُبِّي

“Celaan darimu telah sampai kepadaku, maka celalah aku! Bukankah namaku telah mengalir di bibirmu, maka cukuplah itu bagiku. Lalu katakanlah pengganti dari apa yang kamu katakan! Semuanya tiada lain kecuali cintailah aku!”

إِلهِي لَستُ لِلفِردَوسِ أَهلَا   وَلَا أَقوَى عَلَى النَّارِ الجَحِيمِ

فَهَب لِي تَوبَةً وَاغفِر ذُنُوبِي   فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنبِ العَظِيمِ

“Wahai Tuhanku, aku bukanlah penghuni surga Firdaus, tapi aku juga tidak kuat berada di neraka Jahim. Maka berilah taubat untukku dan ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar.

 

Genre Sastra Masa Dinasti Abbasiyah

Secara garis besar sastra Arab dibagi atas dua bagian yaitu prosa dan syair. Prosa terdiri atas atas beberapa bagian, yaitu:

1)    Kisah (Qisshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah meliputi hikayat, qissah qasirah dan uqushah. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.

2)      Amsal (peribahasa) dan kata mutiara (al-hikam) adalah ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amsal dan kata mutiara pada masa Abbasiyah dan sesudahnya lebih menggambarkan pada hal yang berhubungan dengan filsafat, sosial, dan politik. Tokoh amsal dan al-hikam yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu al-Muqoffal.

3)      Sejarah (tarikh), atau riwayat (sirah) mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan para tokoh terkenal. Karya sastra yang terkenal dalam bidang ini antara lain adalah Mu’jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut al-Rumi (1179-1229 M). Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w.448 H/ 1048 M). Karya Ilmiah (abhats ‘ilmiyyah) mencakup berbagai bidang ilmu. Karya terkenal yang berkenaan dengan hal ini adalah kitab Al-Hayawan (buku tentang hewan).

Pada masa ini, muncul genre prosa pembaruan (النثرالتجديدد) yang dinakhodai oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik yang diantaranya ditokohi oleh Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (الف ليلة وليلة). Dalam dunia puisi juga muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul Atahiyah.

Selain prosa dan puisi, seni korespondensi juga mengalami peningkatan. Hal ini karena luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dari timur ke barat yang tentunya membutuhkan konsolidasi antar wilayah dengan surat-menyurat. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Abu Al-Fida Muhammad bin Al-Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al-Shabi (w 384 H/ 994 M), dan Al-Qadli Al-Fadhil (596 H/ 1200 M).

 

Ciri Umum Sastra pada Masa Dinasti Abbasiyah

Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara masa abbasiyah dengan masa-masa sebelumnya khususnya masa umawi, diantaranya adalah:

1)      Tujuan pengungkapan sastra dan orientasi syair mengalami perluasan.

2)      Bahasa, pada masa ini mengalami kemunduran karena asimilasi bangsa arab dengan ajam yang berpengaruh terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa.

3)      Perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat, serta munculnya genre baru النثرالتجديد.

Pada masa pemerintahan Islam, musik juga mengalami perkembangan. Para penguasa pemerintahan Islam di Baghdad bahkan pergi ke Kordoba untuk memberikan dukungan kepada musisi dan perkembangan musik di sana. Alat musik pun banyak bermunculan. Bahkan, berkembang di luar wilayah Islam. Misalnya oud, yang berbentuk setengah buah pir, berisi 12 string. Di Italia, oud menjadi il luto. Di Jerman, alat musik itu menjadi laute. Di Prancis, alat ini menjadi le luth. Di Inggris, ini menjadi lute. Rebab, yang merupakan salah satu bentuk dasar biola, menyebar dari Spanyol ke Eropa dengan nama rebec. Rebana merupakan instrumen musik Arab yang juga diadaptasi oleh dunia Barat. Rebana terbuat dari kayu dan perkamen. Hingga saat ini, rebana masih digunakan di berbagai belahan dunia saat bermusik. Perkembangan musik dan alat musik ini ditopang pula oleh kegiatan yang biasanya diselenggarakan di istana.

 

Referensi

Dhaif, Syauqi. 2008. Tarikh al-Adab al-Araby 3: al- ‘Ashr al- ‘Abbasy. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Glasse, Cyril. 1996. Ensiklopedi Islam. Terjemahan   dari   The   Concise Encyclopaedia of Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Subtiah, Ratu dan Maslani. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri.

Zaidan, Jurji. 1997. Tarikh Adab al-Lughah al- ‘Arabiyah Juz 1. Beirut: Dar al- Fikr.

 

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post