Peran dan Fungsi Peradilan Agama dalam Penegakkan Hukum dan Keadilan

 

Fungsi Peradilan Agama

Peran dan Fungsi Peradilan Agama dalam Penegakkan Hukum dan Keadilan

Pendahuluan

Terciptanya kehidupan yang kondusif, nyaman, dan tenteram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah keinginan yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang. Adapun untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa hal yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat, salah satunya adalah masalah penegakan hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.

Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial, dan pemberdayaan  sosial  melalui  putusan-putusan hakimnya. Apabila lembaga  peradilan gagal dalam  mewujudkan  tujuan  hukum, maka telah  mendorong untuk meningkatnya  ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.

Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkret, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum.

Khan, seorang Professor and Head Department of Political Science Univesity of Sind sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori, mengungkapkan:

“Every state has undertaken to eradicate the scourges of ignorance disease, squalor, hunger and every type of injustice from among its citizens so that everybody may pursue a happy life in a free way.”

Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum. Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan itu menjadi sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa keadilan yang hidup di masyarakat mungkin tidak seragam.

 

Makna Peran dan Fungsi Peradilan dalam Penegakan Hukum dan Keadilan

Pengadilan tidak hanya diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan. Konkretnya kepada yang memohon keadilan untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tugasnya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.

Jadi, para hakim dituntut untuk secara totalitas melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh, seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakikat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya, hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu, yakni perilaku. Undang-undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses menegakkan keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.

      Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke-18. Oleh sebab itu, pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial seperti pada masa Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada fixed rules of formally rational law, melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain serta pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.

Menurut Weber, sebelum hadir negara modern, rasionalisasi belum masuk ke dalam pengadilan, sehingga tidak ada perpecahan antara formal justice dengan substantial justice. Sementara itu pengadilan modern mempunyai arsitektur yang demikian formal rasional sebagai bagian dari karakteristik hukum modern yang disebut tipe legal domination. Oleh karena itu, pengadilan muncul sebagai hasil rancangan artifisial yang rasional seperti yang kita kenal sekarang, sehingga berbicara tentang keadilan, dikenal terdapat dua macam, yaitu (i) keadilan substansial (substantial justice) dan (ii) keadilan formal (formal justice atau legal justice). Sedangkan pada masa lampau, pembedaan keadilan seperti itu tidak ada, oleh karena tidak ada peraturan yang kompleks yang mengatur bagaimana putusan pengadilan diberikan. Pada waktu itu mengadili adalah memberikan putusan secara substansial.

 

Peradilan Islam pada Masa Rasulullah

Peradilan Islam sangat berperan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Islam diperintahkan oleh Allah SWT pada Surat An-Nisa ayat 51 yang artinya: “Dan putuskanlah hukum di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah”. Maka dari itu mulailah Rasulullah menjalankan perintah Tuhannya. Di Madinah yang pada saat itu belum banyak yang menganut agama Islam Rasulullah sudah dapat menyelesaikan berbagai perkara lalu beliau memutuskan hukumannya, sebagaimana halnya beliau memberikan fatwa apabila diajukan permohonan fatwa kepadanya, sedang ia memutuskan hukum terhadap hak-hak manusia atas dasar lahirnya perkara dan dengan sumpah apabila tidak ada bukti, dan keputusan hukum Nabi SAW adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu.

Dapat dikatakan bahwa pada masa Rasulullah, Peradilan Islam belum melembaga menjadi sebuah institusi seperti yang ada pada masa selanjutnya atau pada masa ini. Namun, prinsip-prinsip yang dijalankan oleh peradilan Islam yang ada pada saat ini telah mampu diterapkan pada masa itu. Dalam kapasitasnya sebagai nabi, Rasulullah juga dipandang sebagai seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) dan juga sebagai qadhi (hakim). Lembaga peradilan belum didirikan, karena segala permasalahan langsung dapat ditanyakan kepada Rasul dan Rasul pun akan dapat menjawabnya, baik berdasarkan kepada wahyu (Al-Quran) atau dengan ijtihad Rasul sendiri.

 

Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam

Bila istilah peradilan Islam tidak dirangkaikan dengan kata Indonesia, maka yang dimaksud adalah peradilan Islam menurut konsep islam secara universal. Peradilan Islam meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, negara Islam atau negara mayoritas muslim asas peradilannya mempunyai kesamaan dengan peradilan agama di Indonesia, hal itu disebabkan karena hukum Islam satu dan dapat diberlakukan di mana pun.

Ada empat landasan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam. Pertama, landasan teologis yang mengacu kepada kekuasaan dan kehendak Allah berkenaan dengan penegakan hukum dan keadilan. Kedua, landasan historis yang menghubungkan mata rantai Peradilan Agama dengan Peradilan Islam yang menurut pandangan para fukaha dan pakar Islam itu, tumbuh dan berkembang sejak masa Rasulullah. Ketiga, landasan yuridis yang mengacu pada dan konsisten dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Keempat, landasan sosiologis yang menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan produk interaksi antara elite Islam (the strategic elite) dengan elite nasional lainnya, terutama dengan elite penguasa (the ruling elite). Apabila keempat landasan itu terpenuhi, Peradilan Agama dapat diidentifikasi sebagai Peradilan Islam.

 

Fungsi dan Peran Peradilan Agama di Indonesia

Di Indonesia sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia. Dan itu yang menjadi penyebab sangat berpengaruhnya peradilan Islam di Indonesia. Pada saat ini yang melaksanakan peradilan Islam di Indonesia adalah Peradilan Agama. Peradilan Agama memiliki kejelasan dalam sistem peradilan di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini menjelaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :

·       Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";

·       Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara;

·       Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.

·       Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.

·       Susunan kekuasaan serta hukum acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.

Dari undang-undang tersebut dapat kita lihat bahwa peradilan Islam berperan penting dan memiliki fungsi dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Oleh karena Indonesia adalah termasuk negara yang memiliki warga negara muslim terbanyak, maka peradilan Islam di Indonesia tidak hanya berfungsi untuk memutuskan hukuman pidana atau sebagainya. Pada kenyataannya, Peradilan Agama di Indonesia sekarang banyak menyelesaikan masalah tentang perceraian baik itu cerai talak maupun cerai gugat.

 

Peradilan Agama sebagai Pelaksanaan  Kekuasaan Kehakiman

Dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 1999 dikemukakan tentang perbedaan empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Masing-masing lingkungan peradilan itu memiliki wewenang mengadili perkara dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara merupakan peradilan khusus, yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Sedangkan peradilan umum merupakan peradilan yang berwenang mengadili perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana bagi rakyat pada umumnya.

Keempat lingkungan peradilan itu merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, sesuai dengan ruang lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, terdapat unsur-unsur persamaan dan unsur perbedaan di antara keempat lingkungan peradilan itu. Unsur-unsur persamaannya di antaranya susunan dan jenjang badan peradilan, serta pembinaan teknik yudisial dan nonyudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan unsur-unsur perbedaannya adalah wewenang mutlak (absolute competentie) masing-masing badan peradilan.

Keseragaman jenjang badan peradilan (hierarki instansial) dalam keempat lingkungan peradilan itu, meliputi pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding, yang seluruhnya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut Judex facti, artinya pemeriksaan perkara pada tingkat banding dilakukan secara keseluruhan sebagaimana pada pemeriksaan pada tingkat pertama.

Oleh karena itu, peradilan agama itu merupakan peradilan khusus, maka cakupan perkaranya meliputi perkara-perkara tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu. Perkara tertentu itu adalah perkara perdata di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum islam. Secara garis besar kekhususan peradilan agama itu tercermin dalam beberapa ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989, sebagai berikut:

1.      Dalam pasal 1 butir satu dinyatakan, “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.”

2.      Dalam pasal 2 dinyatakan, “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.”

3.      Dalam penjelasan umum butir alinea ketiga dikemukakan, “Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.”

4.      Dalam Pasal 49 ayat (1), rumusannya sama dengan yang dirumuskan dalam Penjelasan Umum, yaitu “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.”

5.      Dalam Pasal 66 ayat (1) dinyatakan, “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”

Berkenaan dengan kekhususan itu, maka asas-asas peradilan yang diterapkan di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama secara umum mengacu kepada asas-asas peradilan yang berlaku pada semua lingkungan peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu memiliki spesifikasi, sesuai dengan ruang lingkup kekuasaan badan peradilan tersebut. Asas-asas peradilan itu merupakan suatu fundamen dalam menegakan hukum dan keadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.

            Menurut Busthanul Arifin (1991:15), Peradilan Agama sebagai peradilan keluarga memiliki dua fungsi. Ia tidak hanya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, atau lembaga hukum (Court Law), yang menegakan hukum keluarga secara tegar dan kaku (impersonal), tetapi lebih diarahkan pada usaha penyelesaian sengketa-sengketa keluarga untuk memperkecil kerusakan rohani dan keretakan sosial di kalangan pencari keadilan.

Dengan demikian maka peradilan agama di samping sebagai pranata hukum, juga sebagai pranata sosial yang berfungsi untuk menanggulangi keretakan-keretakan keluarga. Berkenaan dengan fungsi itu, maka penerapan asas ini menjadi pilihan utama, sehingga dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama tidak dikenal pihak yang “menang” dan pihak yang “kalah.”

Kewajiban untuk mendamaikan, terutama dalam perkara perceraian tercermin dalam ketentuan Pasal 65 dan 82. Rumusan Pasal 65 itu persis sama dengan rumusan Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Kemudian dalam Pasal 82 ayat (4) dinyatakan,”Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.” (Harahap 1993:51) mengambil kesimpulan bahwa dari rumusan Pasal 82 ayat (4), sebagaimana dirumuskan pula dalam Pasal 31 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975, menunjukkan imperatif, yang berarti wajib. Artinya hakim wajib untuk mengusahakan perdamaian setiap kali perkara diperiksa dalam persidangan.


Penutup

Peradilan Islam didirikan dengan tujuan agar hak-hak manusia terjamin, keamanan terjaga, dan ketertiban terpelihara dengan baik berlandaskan pada syari’at Islam. Oleh karena itu, Peradilan Islam mempunyai peran dan fungsi utama dalam penegakan hukum dan keadilan, khususnya di negara Islam. Namun, bukan berarti Peradilan Islam tidak dapat didirikan di negara yang bukan Islam. Peradilan Islam dapat menjalankan peran dan fungsinya di negara manapun. Salah satu contohnya adalah Peradilan Islam yang didirikan di Negara Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah Peradilan Agama.

Peradilan Agama merupakan bentuk Peradilan Islam sebagai bagian dari pelaksanaan syari’at Islam khususnya dalam bidang hukum keluarga di Indonesia. Eksistensi  Peradilan Agama dalam pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam bingkai Tata Hukum Nasional. Syari’at Islam nyata dan dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem peradilan di Indonesia. Peradilan Agama di Indonesia akan berbeda dengan Peradilan Islam yang ada di negara lain, karena Peradilan Agama di Indonesia hanya mengurusi masalah yang berkaitan dengan keperdataan saja, tidak untuk urusan jinayah (pidana) dan sebagainya.



Referensi

AM. Imron. 1993. Peradilan dalam Islam, Terjemah Al-Qada di al-Islam, karya Muhammad Salam Madkur. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Cik Hasan Bisri. 2003. Peradilan agama di Indonesia edisi revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

------------------- 1997. Peradilan islam dalam tatanan masyarakat Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Fakhrullah, Zudan Arif. TT. Makalah, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, dalam Jurisprudence, Vol 2, No. 1.

Hujibers, Theo. 1995. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.

Rosadi, Aden. 2015. Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum.     Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Saleh, Roeslan. 1979. Mengadili sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru.

Sunaryo M., Oyo. 2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia Indonesia.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post