Larangan Membela yang Salah dalam Al-Qur’an (Tafsir Surat An-Nisa Ayat 105-107)
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang menitikbertkan kepada pembangunan akhlak
yang sempurna. Baik itu terhadap Allah sebagai tuhan secara vertikal maupun
kepada sesama manusia secara horizontal. Banyak contoh akhlak baik yang harus
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pula contoh akhlak buruk yang
mesti dihindari oleh setiap insan dalam kehidupannya sehari-hari. Semuanya
berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang telah Allah wahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW dan disampaikan kepada kita. Di dalamnya terdapat perintah dan
larangan. Salah satu larangan yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu adalah
larangan membela yang salah.
Di dalam Al-Qur’an terdapat larangan membela yang salah yang
mengandung arti, bahwa yang seharusnya dibela adalah yang benar. Namun,
terkadang sulit bagi kita untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar
dikarenakan bukti-bukti yang tidak ditemukan, atau karena persaksian-persaksian
yang bukan memberi kejelasan malah semakin memberikan kebingungan. Bahkan tidak
sedikit kebingungan tersebut yang membuat kita hampir saja membenarkan yang
salah dan menyalahkan yang benar. Bahkan terkadang kita kesalahan dalam
memutuskan mana yang salah dan mana yang benar. Sehingga kita menyalahkan yang
benar dan membenarkan yang salah.
Mengenai hal tersebut, Allah SWT telah memberikan kepada kita semua
petunjuk melalui kejadina yang dihadapkan kepada Nabi SAW yang Allah abadikan
salah satunya di dalam QS An-Nisa ayat 105-107. Ketika itu Nabi dirundung
kebingungan untuk menentukan sikap mana yang harus diambil oleh Nabi. Bahkan
dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa dalam pemikirannya Nabi telah condong
kepada apa yang sebenarnya menurut Allah adalah salah.
Redaksi dan Terjemahan QS. An- Nisa Ayat 105-107
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ
بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا }١٠٥{ وَٱسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَۖ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا }١٠٦{
وَلَا تُجَٰدِلۡ عَنِ ٱلَّذِينَ
يَخۡتَانُونَ أَنفُسَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا
أَثِيمٗا} ١٠٧{
Artinya:
105. “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.”
106. “dan
mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
107. “Dan
janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi
bergelimang dosa.”
Asbab An-Nuzul Surat An-Nisa Ayat 105-107
Sebab turunnya ayat ini, menurut salah satu riwayat yaitu berkaitan
dengan Thu’mah bin Ubairiq, salah seorang Anshar dari Bani Dhafar yang mencuri
baju perang dari rumah tetangganya yang merupakan Anshar juga. Tetangganya
tersebut bernama Qatadah bin Nu’man. Karena takut ketahuan, yang nantinya akan
menyebabkan Thu’mah dikenal sebagai pencuri, Thu’mah pun lalu menyembunyikan
baju perang tersebut di rumah salah seorang yahudi bernama Zaid bin Samin.
Thu’mah menyimpan baju perang tersebut di tempat penyimpanan tepung milik Zaid.
Sehingga ketika Thu’mah keluar, sebagian tepung tersebut terbawa dan
menimbulkan jejak dari rumah Zaid mengarah ke rumah Thu’mah.
Melihat jejak tepung tersebut, Qatadah pun menduga bahwa Thu’mah
lah yang telah mencuri baju perangnya. Tetapi Thu’mah bersumpah bahwa bukan
dialah yang mencurinya, tetapi Zaid lah yang telah mencurinya. Padahal Zaid
tidak tahu menahu mengenai baju perang tersebut dan mengatakan bahwa dia tidak
mencurinya. Thu’mah pun meminta dukungan kepada kaumnya yaitu Bani Dhafar untuk
bersama-sama mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Lalu kemudian
diturunkanlah ayat ini.
Tafsiran Ayat Surat An-Nisa Ayat 105-107
Kata بِٱلۡحَقِّ dalam ayat 105 yang berarti kebenaran, dimaksudkan untuk
kebenaran dari Allah, baik kebenaran dalam berita maupun dalam tuturan. Pada
redaksi ayat yang selanjutnya, yaitu redaksi لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ, sebagian ulama ushul ada yang menjadikannya sebagai dalil
bolehnya Nabi SAW melakukan ijtihad. Selain itu, terdapat juga hadis nabi yang
terdapat dalam kitab As-Shahihain yang diriwayatkan dari Ummu Salamah,
bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar keributan di depan pintu kamarnya, lalu
beliau keluar dan bersabda:
الَا اِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ وَاِنَّمَا اَقْضِيْ بِنَحْوٍ مِمَّا اَسْمَعُ
وَلَعَلَّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَكُوْنَ اَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَاَقْضِيْ
لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَاِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ
فَلْيَحْمِلْهَا اَوْ لِيَذَرْهَا
“Ketahuilah, sesungguhnya
aku ini hanya manusia biasa. Dan bahwasannya aku memutuskan sesuai penjelasan
yang aku dengar. Boleh jadi, salah seorang kalian lebih jelas dalam
argumentasinya, dibandingkan dengan yang lainnya, lalu aku putuskan hal
tersebut untuknya. Maka barangsiapa yang telah aku putuskan baginya ada hak
seorang muslim, maka hal itu merupakan potongan dari api neraka, maka bawalah
(api itu) atau tinggalkan ia.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata:”Dua orang
laki-laki Anshar datang mengajukan sengketa kepada Rasulullah SAW tentang harta
waris yang telah hilang. Sedangkan keduanya tidak memiliki bukti. Maka
Rasulullah SAW bersabda:
انَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ اِلَيَّ وَاِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ
بَعْضُكُمْ اَنْ يَكُوْنَ اَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَاِنَّمَا اَقْضِيْ
بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا اَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ
اَخِيْهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ فَاِنَّمَا اَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةٌ مِنَ
النَّارِ يَأْتِيْ بِهَا اِنْتِظَامًا فِى عُنُقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kalian mengajukan
perkara kepadaku dan aku hanyalah manusia biasa. Boleh jadi, sebagian kalian
lebih jelas dalam mengajukan argumennya dibandingkan yang lain. Aku hanya
memutuskan sesuai yang aku dengar (sesuai zahirnya). Barangsiapa yang telah aku
putuskan baginya ada hak saudaranya, maka hendaklah ia tidak mengambilnya
karena berarti aku telah putuskan satu bagian baginya dari api neraka yang akan
dibawa membebani lehernya pada hari kiamat.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Al-‘Aufi, dari Ibnu ‘Abbas bahwa sekelompok kaum Anshar ikut
berperang bersama Rasulullah Saw dalam sebagian perang beliau, lalu sebagian
baju perang di antara mereka dicuri. Diduga yang mencuri ialah salah seorang
dari Anshar. Maka pemilik baju perang mendatangi Rasulullah saw dan
berkata:”Sesungguhnya Thu’mah bin Ubairiq mencuri baju perangku”. Ketika
Thu’mah mengetahui hal itu, lalu ia simpan baju itu di rumah salah seorang
laki-laki yang tidak tahu masalah apa-apa. Dan ia berkata kepada keluarganya,
“Sesungguhnya aku sembunyikan baju perang itu di rumah seseorang dan engkau
akan mendapatkannya di sana.” Lalu mereka mendatangi Rasulullah Saw di waktu
malam. Mereka berkata:”Ya Nabi Allah, sesungguhnya saudara kami tidak mencuri,
tapi pencurinya adalah si fulan. Kami sudah mengetahuinya secara jelas. Maka
bersihkanlah nama baik keluarga kami itu di depan orang-orang dan bela-lah dia,
karena jika ia tidak dijaga oleh Allah dengan sebabmu, ia pasti akan binasa.
Lalu Rasulullah Saw berdiri di depan orang-orang untuk membebaskannya dan
membersihkan nama baiknya. Maka Allah SWT menurunkan ayat:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ
بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا }١٠٥{ وَٱسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَۖ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا }١٠٦{
وَلَا تُجَٰدِلۡ عَنِ ٱلَّذِينَ
يَخۡتَانُونَ أَنفُسَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا
أَثِيمٗا} ١٠٧{
Para ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini diturunkan mengenai Thu’mah
bin Ubairiq, tetapi mengenai peristiwa kejadiannya terdapat banyak riwayat. Riwayat
yang pertama, bahwasannya Thu’mah mencuri baju perang, saat diminta lalu Thu’mah
menuduh salah seorang yahudilah yang telah mencurinya. Riwayat yang kedua,
bahwa seseorang menitipkan baju perang kepada Thu’mah, tetapi tidak disaksikan
oleh saksi pada saat itu, ketika diminta lagi, Thu’mah menolak untuk
memberikannya karena ia mengatakan tidak pernah dititipi baju perang. Riwayat
yang ketiga, orang yang menitipkan baju perang menyangka bahwa baju perangnya
telah dicuri oleh seorang yahudi.
Para ulama berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Thu’mah dan
kaumnya adalah orang-orang munafik. Hal ini didasarkan karena Thu’mah dan
kaumnya meminta pertolongan secara batil kepada Rasulullah dan menuduh seorang
yahudi telah mencuri dengan kebohongan. Diriwayatkan dalam satu riwayat,
setelah kejadian tersebut, Thu’mah lalu melarikan diri ke Mekah dalam keadaan
murtad. Ketika itu ia terjatuh ke dalam lubang dan mati di dalamnya dalam
keadaan murtad. Nauzubillahi min zalik.
Lafaz أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ memiliki tiga arti, pertama yaitu
bermakna رَأَيْتُ yang mempunyai arti melihat dengan mata. Kedua, bermakna رَأَيْتُ yang merupakan lafadz yang muta’adi kepada dua maf’ul
dan yang ketiga bermakna al-i’tiqaad. Arti yang pertama batil, karena
menghukumi Allah seperti makhluk yang melihat dengan mata, padahal Allah
melihat tidak menggunakan mata. Pendapat kedua pun sama batilnya karena dalam
kaidah nahwiyah seharusnya lafadz أَرَىٰ itu mutaadi kepada tiga
maf’ul. Karena dua makna pertama batil, mau tidak mau makna ketiga lah yang
dipakai oleh para mufassir, yaitu araa yang bermakna al-i’tiqaad.
Sehingga أَرَىٰكَ diterjemahkan menggunakan kata أَعْلَمَكَ yang menunjukkan arti
keyakinan yang terbebas dari adanya keragu-raguan. Karena lafadz أَعْلَمَ ini mempunyai makna yaqin
sehingga sama kuatnya dengan kata melihat dalam hal jelasnya. Umar bin Khattab
melarang salah seorang di antara kita mengatakan, “Saya telah menghukumi dengan
apa yang telah Allah perlihatkan kepada saya, karena hal itu hanya Allah
berikan kepada Nabi-Nya. Adapun salah seorang di antara kita pendapatnya hanya
berdasarkan kepada persangkaan kuat الظَّنُّ dan tidak mencapai taraf
العِلْمُ.
Berbeda dengan pendapat Ahli Ushul yang mengatakan bahwa kadangkala
nabi memutuskan sesuatu berdasarkan ijtihad, Ahli Haqiqat mengatakan bahwa nabi
hanya menetapkan sesuatu berdasarkan nash dan wahyu. Hal ini dijadikan
salah satu dalil untuk golongan yang tidak membenarkan nabi melakukan ijtihad.
Oleh karena itu, karena ijtihad tidak diperbolehkan kepada nabi, hal ini berlaku
pula untuk umatnya dengan berdasarkan kepada firman Allah وَاتَّبَعُوْهُ. Dan menurut pendapat
ini, mau tidak mau, qiyas adalah haram.
Mengenai pendapat demikian, Imam Fakhruddin Ar-Razy memberikan jawaban, bahwasannya, ketika dalam pernyataan di sana terdapat
dilalah yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan suatu hujjah, maka
mengamalkan qiyas haqiqatnya adalah mengamalkan nash pula. Sehingga,
taqdirannya menjadi seperti Allah berfirman:”Ketika gambaran hukum yang
tidak disebutkan seperti gambaran hukum yang dinashkan mengalahkan persangkaan
kuatmu terhadapnya dikarenakan adanya kesamaan di antara gambaran keduanya,
maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya yang menjadi tuntutan bagimu adalah mengamalkan
apa yang dianggap wajib oleh persangkaan kuat itu.” Sehingga apabila
demikian, maka mengamalkan qiyas ini sama halnya mengamalkan terhadap dzatiyah
nash.
Makna ayat وَلَا تَكُن
لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا yaitu janganlah kamu
menjadi memusuhi orang yang tidak berdosa karena orang yang berkhianat. Adanya
redaksi ayat وَلَا تَكُن yang menunjukan larangan, dengan melihat kepada ‘ishmah-nya
para nabi, tidak berarti menunjukkan bahwa orang yang dilarang melakukan apa
yang dilarang. Tetapi ketika Thu’mah dan kaumnya meminta kepada rasul untuk membebaskan
segala tuduhan kepada Thu’mah dan menetapkan orang yahudi sebagai pelaku
pencurian, nabi hanya bisa diam dan menunggu wahyu hingga diturunkannya ayat
tadi. Maksud dari adanya larangan tersebut adalah untuk memberitahu nabi
bahwasannya Thu’mah itu adalah seorang pembohong. Dan orang yahudi yang
dimaksud tidak mencuri.
Adapun dalil yang digunakan oleh golongan yang berpendapat bahwa
kesalahan itu timbul dari diri nabi adalah adanya redaksi وَٱسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا, yang menunjukkan bahwa Allah memerintahkan nabi untuk memohon
ampun atas kesalahan yang telah diperbuatnya sebelumnya. Untuk menjawab argumen
ini, Imam Ar-Razy mengemukakan bahwasannya pertama, barangkali memang hati Nabi
ada kecenderungan untuk menolong Thu’mah dikarenakan secara dhahir ia
merupakan orang muslim, lalu Allah memerintahkannya untuk ber-istighfar
karena perkiraannya ini. Hal ini merujuk kepada qaidah حَسَنَاتُ الْاَبْرَارِ سَيِّئَاتُ الْمُقَرَّبِيْنَ. Kedua, barangkali karena ketika kaum Thu’mah bersaksi bahwa Thu’mah
tidak mencuri dan tidak ada hal-hal yang mengharuskan Nabi untuk mencela
persaksian mereka, nabi hendak memutuskan bahwa pencurian itu dilakukan oleh
orang yahudi. Tetapi ketika Allah menunjukkan kepada nabi kebohongan peraksian
kaum Thu’mah, nabi menyadari apabila nabi memutuskan demkian, tentu akan salah.
Oleh karenanya istighfarnya nabi adalah untuk dugaan salah yang nabi fikirkan,
meskipun hal itu dimaafkan oleh Allah. Ketiga, perintah istighfar kepada
nabi, bukanlah untuk diri nabi, tetapi agar nabi memohonkan ampunan kepada kaum
Thu’mah yang ingin membela kebohongan Thu’mah.
Penutup
Dengan adanya ayat di atas yang menceritakan tentang suatu masalah
yang dihadapi oleh nabi tatkala sulit untuk memutuskan mana yang salah dan mana
yang benar, mana yang harus dibela dan mana yang tidak, tentulah kita harus
menjadikannya suatu pelajaran. Dengan adanya kecenderungan nabi kepada pihak
yang salah bukan berarti nabi melakukan dosa. Karena nabi adalah orang yang
terjaga dari dosa. Adanya kejadian tersebut adalah supaya dijadikan contoh oleh
umat nabi. Dengan adanya hal itu, kita dapat mengambil pelajaran bahwa kita
tidak boleh menghukumi seseorang dengan seenaknya hanya karena ia berbeda agama
dengan kita atau hanya karena ia kaum yang minoritas. Dalam Islam keadilan
tidak memandang kuantitas. Keadilan tetaplah keadilan dan kebenaran tetaplah
harus ditegakkan meskipun datang dari minoritas. Dan juga hak minoritas harus
dijaga sebagaimana hak mayoritas.
Referensi
Ahmad bin Muhammad Ash-Shawy. 2011. Hasyiyah Ash-Shawy ‘Ala Tafsir Al-Jalalain. Surabaya: Daar Al-‘Ilm.
Ar-Razy, Muhammad Fakhruddin. 1981. Tafsir Ar-Razy Juz 11. Beirut: Daar Al-Fikr.
Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawaly. 2012. Mukhtashar tafsir Asy-Sya’rawy. Beirut: Daar At-Taufiqiyyah wa At-Turaats.
Ghaffar, M. Abdul. 2004. Tafsir Ibnu Katsir Juz 2-4 terj. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.