Larangan Melakukan Riba dalam Kegiatan Ekonomi

 

Hukum Ekonomi Syariah

Larangan Melakukan Riba dalam Kegiatan Ekonomi

Pendahuluan

Permasalahan riba telah ada sejak dahulu. Namun, perihal itu banyak sekali prakteknya yang terjadi dikarenakan kebanyakan masyarakat yang tidak paham dan mengerti bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan riba dan bagaimana cara membedakannya dengan jual beli seperti yang dimaksud di dalam Firman Allah SWT yang terdapat QS. Al-Baqarah ayat 275. Sehingga meskipun telah ada pelarangan riba, praktek riba masih saja terjadi.

Sebagian orang mengutarakan berbagai alasan yang bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an dan Hadis perihal bunga bank yang dianggapnya tidak termasuk riba. Padahal maksud riba dalam nash-nash tersebut sangatlah tegas. Apalagi ditambah dengan konsensus-konsensus para tokoh agama Islam terkemuka di seluruh dunia yang menyatakan bahwa tidak ada peluang bagi orang yang menghalalkan bunga bank untuk berargumen. Oleh karenanya, perlulah dipahami terutama oleh orang-orang yang mempelajari perbankan syariah mengenai keharaman bunga bank ini sebagai salah satu kategori riba.

 

Pengertian Riba

Riba menurut bahasa berarti bertambah (الزِّيَادَةُ), berkembang (النَّامُ), berbunga, dan berlebihan atau menggelembung. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut pendapat Al-Mali adalah:

عَقْدٌ وَاقِعٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوْصٍ غَيْرَ مَعْلُوْمِ التَّمَاثِلِ فِى مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ اَوْ مَعَ تَأْخِيْرٍ فِى الْبَدَلَيْنِ اَوْ اَحَدِهِمَا

Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.

Abdurrahman Al-Jazairi memberikan definisi riba sebagai akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.

Sedangkan menurut Syekh Muhammad Abduh riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

 

Landasan Hukum dan Sebab-Sebab Diharamkannya Riba

1)      Allah SWT dan Rasul-Nya melarang riba:

وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum ayat 39).

 

وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا ١٦١

“dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisa ayat 161).

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imron ayat 130).

 

 

...وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ ...

“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”(QS. Al-Baqarah: 275)

 

يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ٢٧٦

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah ayat 276)

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)

 

Rasulullah SAW bersabda:

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ اَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَ ثَلَاثِيْنَ زِيْنَةً (رواه احمد)

Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya, dosa perbuatan itu lebih berat daripada dosa enam puluh kali zina. (HR. Ahmad).

 

2)      Riba menghendaki pengambilan harta orang lain tanpa ada imbangnya.

3)      Dengan melakukan riba, orang menjadi malas mencari harta yang halal sesuai syara’.

4)      Riba menyebakan putusnya perbuatan baik terhadap sesama dengan menghilangkan faedah utang-piutang dan lebih cenderung memeras orang miskin daripada menolongnya.

 

Macam-Macam Riba

1.      Riba Nasi’ah

Kata nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang berarti menunda, menangguhkan, menunggu atau merujuk pada tambahan waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali pinjamannya dengan memberikan tambahan atau nilai lebih. Dengan demikian riba nasi’ah sama identik dengan bunga pinjaman.

2.      Riba Qardhi

Yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan pada debitur (muqtaridh). Dalam hal ini para pihak menyepakai besarnya tambahan yang akan antara mereka. Meskipun sudah disepakati, namun kesepakatan itu tidak menghalangi pelarangannya.

3.      Riba Fadl

Ibnu ‘Arabi memberikan definisi riba fadl dengan semua tambahan yang melebihi nilai tinggi pihak lain tanpa adanya nilai pembenar atas tambahan tersebut.

Sedangkan Hendi Suhendi berpendapat bahwa riba fadl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjual-belikan. Bila yang diperjual-belikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar, dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rab al-‘Alamin riba dibagi menjadi dua bagian, yaitu riba jali dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasi’ah sedangkan riba khafi adalah jalan yang menyampaikan kepada riba jali.

 

Hal-Hal yang Menimbulkan Riba

Adapun hal-hal yang dapat menjadikan sesuatu menjadi riba seperti yang telah dirumuskan oleh para ulama fiqh, diantarnya yaitu:

1.      Sama nilainya (tamatsul)

2.      Sama ukurannya menurut syara’ baik takarannya, timbangannya atau ukurannya.

3.      Sama-sama tunai (taqabudh) di majelis akad

 

Dampak Riba pada Ekonomi

Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba memuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan barang dan jasa semakin tertimbun. Akibatnya perusahaan akan macet karena produksinya tidak menjadi laku lagi, perusahaan banyak mengurangi jumlah tenaga kerjanya dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Akibatnya jumlah pengangguran menjadi semakin banyak.

 

Permasalahan Bunga Bank

Banyak orang yang menganggap bahwa bunga bank dengan riba tidaklah sama. Mereka berargumen bahwa riba yang telah diharamkan di dalam al-Qur’an dan Hadis tidaklah sama dengan bunga bank. Al-Qur’an telah mengharamkan riba di dalam empat ayat yang berbeda, yaitu: QS. Ar-Rum: 39, QS. Al-Baqarah:275, QS. An-Nisa ayat 161, dan QS. Ali Imran ayat 130.

Ibnu Manzur (711 H/1311 M), dalam kitab Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa apa yang dilarang adalah nilai tambah, manfaat atau keuntungan yang diterima atas pinjaman yang diberikan.[1] Lebih lanjut lagi, Al-Qurthubi dalam Tafsirnya al-Qurthubi secara jelas telah menuliskan bahwa: “Kaum muslim sepakat terhadap hadits nabi yang menyatakan bahwa setiap kondisi yang memungkinkan terjadinya kenaikan atau penambahan atas uang yang dipinjamkan adalah riba, tidak memandang bahwa itu hanya sebatas hewan ternak sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud dengan partikel butiran padi.”[2]

Dalam Muktamar Fiqh yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1951 M dan di Kairo pada tahun 1965 M, juga hasil Muktamar Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Rabithah Fiqh Committee yang diadakan di Kairo pada tahun 1985 M dan di Mekah pada tahun 1986 M, sesuai konsensus yang ada, sesungguhnya tidak ada ruang argumen untuk menyatakana bahwa bunga (interest) tidak diharamkan dalam ajaran Islam. Namun, meskipun demikian, terdapat juga beberapa opini yang menunjukkan perbedaan pandangan terhadap hasil keputusan konsensus yang ada.[3]

 

Permasalahan Riba Perspektif Agama

1.      Agama Islam

Permasalahan bunga  sebagai riba telah ada sejak lama di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Sebagian umat Islam di Indonesia meyakini bahwa bunga bank adalah riba, karena hal ini dinyatakan secara tegas di dalam al-Qur’an. Ayat al-Qur’an ini dijadikan konsensus oleh para ahli hukum dan ahli teologi muslim bahwa riba dilarang oleh Islam.[4] Pada mulanya, umat Islam yang meyakini pelarangan riba dengan paradigma keimanan. Namun setelah dikaji lebih mendalam menggunakan teori ekonomi dan bidang pengetahuan lainnya, pelarangan riba semakin diyakini secara logis sebagai suatu kebenaran.

Pelarangan riba yang diturunkan secara bertahap di dalam al-Qur’an dari mulai a;-Rum ayat 39, an-Nisa ayat 161 dan lalu akhirnya Ali Imron ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278, menurut Edy Wibowo dan Untung Hendy[5] terdapat gradasi kekuatan pelaranagn yang mencerminkan bahwa hukum pengharaman riba diturunkan berangsur-angsur dari lunak menjadi tegas.

2.    Agama Kristen dan Yahudi

Pelarangan bunga buakn hanya terdapat dalam agama Islam saja. Pelarangan tersebut juga terdapat dalam kitab suci agama lain. Sarjana Kristen[6] membagi bunga menjadi dua kategori, yaitu interest dan usury. Interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan.

Pelarangan bunga bagi orang Yahudi dan Kristen terdapat dalam Old Testament (King James Version) sebagaimana dikutip oleh Gamal.[7] Diantaranya yaitu:

1.      Exodus, Chapter 22 Verse 25, yang terjemahannya di dalam Al-Kitab: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih utang terhadap dia. Maka janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.”[8]

2.      Deutoromy (Kitab Ulangan Pasal 23 ayat 19): “Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.”[9]

 

Penutup

Dengan lahirnya berbagai kajian ilmu pengetahuan mengenai ekonomi, yang mana permasalahan riba atau bunga merupakan bagian darinya, kini pengharaman riba bukan hanya diyakini melalui paradigma agama, tetapi juga dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan secara ilmiah. Dapat kita ketahui berbagai dampak negatif sebagai akibat daripada riba terutama dalam hubungannya dengan perekonomian. Begitu pula keambiguan dalam masalah bunga bank juga dapat kita pahami yang sebenarnya ternya tidak ada peluang bagi orang yang berargumentasi terhadap halalnya bunga pinjaman bank yang selama ini menuai berbagai kontroversi di kalangan para pemikir Islam. Dengan demikian, haramnya bunga bank sebagai riba telah menjadi konsensus internasional yang ditetapkan oleh ahli fiqh kontemporer.



[1] Ibnu Manzur, 1968, hal. 304. Lihat juga tafsir al-Baqarah ayat 275 dalam kitab Tafsir al Kabir oleh Fakhruddin al Razi, Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakr al Jassas, dan kitab Ahkam al Qur’an karya Ibnu ‘Arabi.

[2] Tafsir al Qurthubi, 1967, Vol 3, hal. 241.

[3] Lihat As-Sanhuri, 1953, hal. 241-2 dan Al-Qardhawi, 1994, hal. 129-42. Lihat juga Abdel Hamid Al-Ghazali, hal. 35-60, atas putusan riba yang telah diputuskan pada 1900-1989.

[4] Elias G. Kazarian, Islamic Versus Traditional Banking, Financial Inovation in Egypt, Boul-der [et. Al]: Westview Press, 1993, hal. 48.

[5]  Edy Wibowo dan Untung Hendy, (2005), Mengapa Memilih Bank Syariah?, Bogor, Ghalia Indonesia. Hal. 61.

[6] St. John Chrysostom (344-407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama bagi orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Kitab Perjanjian Baru.

[7] Mahmoud A. El Gamal, “Can Islamic Banking Survive?: A Microevolutionary Perspective,” (Paper di Department of Economics 1180 Observatory Drive University of Wisconsin Madison 53706, February 21, 1997), hl. 4.

[8] Al-Kitab, (Jakarta: Lembaga Al-Kitab, 1985), hal 93.

[9] Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), hal. 13.

 



Referensi

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Kurniawan, Irwan. 1995. Pandangan Islam tentang Asuransi dan Riba (terj.) Ar-Riba wa at-Ta’min karya Murtadha Muthahhar terbitan Dar al-Hadi Lebanon 1993. Bandung: Pustaka Hidayah.

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Ufuqul Mubin, Muhammad dkk. 2003. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer (terj.) Islamic Banking and Interest A Study of The Prohibition of Riba and Its Contemporery Interpretation karya Abdullah Saeed terbitan KOLN New York 1996.

Wibowo, Edy dan Untung Hendy. 2005. Mengapa Memilih Bank Syariah?. Bogor: Ghalia Indonesia.


Post a Comment

Previous Post Next Post