Konsep Manthuq, Mafhum, Muthlaq, dan Muqayyad dalam Metode Istinbatul Ahkam

 

Mantuq, mafhum, mutlak, muqayyad


Konsep Manthuq, Mafhum, Muthlaq, dan Muqayyad dalam Metode Istinbatul Ahkam

Pendahuluan

Al-Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Quran mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Quran sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.

Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Quran itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.

Dalam menafsirkan Al-Quran kita harus dapat mengetahui kaidah-kaidahnya, apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Quran digunakan untuk menentukan suatu hukum dengan memperhitungkan berbagai aspek. Sebagian aspek tersebut yaitu mutlaq, muqayyad, manthuq, dan mafhum.

 

Manthuq dan Mafhum

Pengertian Manthuq dan Mafhum

1.    Manthuq

Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نَطَقَ- يَنْطِقُ) yang artinya berbicara, مَنْطُوْقٌ (isim maf’ul) berarti yang dibicarakan. Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan) Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.

Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada Q.S. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.” (Q.S Al-Isra’ [17]: 23).

Dengan menggunakan pemahaman secara manthuq ayat ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.

2.    Mafhum

Mafhum secara berasal bahasa Arab (فهم يفهم) yang artinya faham, مفهوم (isim maf’ul) berarti yang difahami. Mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang dicapkan).  Menurut Syafi’i Karim, mafhum adalah petunjuk lafal, bahwa hukum dari lawan yang disebut. Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Dari definisi ini diketahui bahwa apabila sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak bersandar bunyi ucapan (makna tersirat) disebut pamahaman secara mafhum. Dengan kata lain, mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada Q.S. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.” (Q.S Al-Isra’ [17]: 23).

Dengan menggunakan pemahaman secara mafhum, dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.

 

Pembagian Manthuq dan Mafhum

1.    Manthuq

Dalam khazanah ilmu ushul fiqh, mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:

a.    Nash; yaitu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqarah:175).

Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).

b.   Dhahir, yatiu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz). Seperti firman Allah SWT

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء. ( النساء:43)

"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43).

Lafadz "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafadz "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafadz "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz.

Seperti contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau".Secara dhahir (haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti majaz yaitu "seorang pemberani".

2.    Mafhum

Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

a.    Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".

Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian

1)      Fahwal Khitab, yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memuku" dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.

2)      Lahnal Khitab, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)

Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.[6]

b.    Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)

Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum. 


Mutlaq dan Muqayyad

 Pengertian Mutlaq dan Muqayyad

1.  Muthlaq

Muthlaq adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan dan tidak dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat, seperti lafaz كتاب  (kitab/buku), رجل  (orang laki-laki), طالب  (pencari ilmu), dan lain sebagainya. Lafaz-lafaz tersebut merupakan lafaz-lafaz muthlaq yang menunjukkan makna keseluruhan dalam jenisnya dengan tanpa memperhatikan keumumannya, karena yang dimaksud adalah hakikat sesuatu tersebut tanpa dibatasi dengan sesuatu lainnya.

Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:

1)   Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.

2)   Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.

3)   Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.

     Contoh ayat yang mengandung makna mutlaq adalah تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ  dalam surah al-Maidah ayat 89 Yang artinya: “(maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak)…” (Q.S. Al-Mujadalah [58]: 3). Pernyataan ini diliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik itu yang mukmin atau yang kafir. Lafadz “raqabahadalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Oleh karena itu, ulama ushul mendefinisikan mutlaq dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualin isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuik jenisnya.

2.  Muqayyad

Muqayyad adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan yang dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat, seperti kata-kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat:

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Yang artinya: “(maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman)...” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 92).

Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.

Para ulama berkata: ”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad), maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab”.

Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadalah ayat 3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.


Kaidah Mutlaq dan Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1.    Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.

Contoh:

·      Ayat Mutlaq

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

·      Ayat Muqayyad

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

2.    Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.

Contoh:

·      Ayat Mutlaq

Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

….فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ….( المائدة:6)

“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…

 

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.

·      Ayat Muqayyad

Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  …(المائدة:6)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

 

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.

Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

3.    Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.

Contoh:

·      Ayat Mutlaq

Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا …(المجادلة:3)

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.

·      Ayat Muqayyad

Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)

“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.

4.    Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.

Contoh:

·      Ayat Mutlaq

Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.

·      Ayat Muqayyad

Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.

Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.

 

Macam - Macam Mutlaq dan Muqayyad serta Status Hukum Masing - Masing

Mutlaq dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya kami kemukakan berikut ini:

1.    Sebab dan hukumnya sama, sepertu “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu dalam qara’ah mutawatir  yang terdapat dalam mushaf dan diungkapkan secara mutlaq:

“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar].”

Dan ia muqayyad  di batasi dengan tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud (Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal seprti ini, pengertian lafadz yang mutlaq  dibawa kepada lapadz yang muqayyad  (dengan arti ) yang di maksud lafadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan lafadz muqayyad, karana sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolong berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus di lakukan tiga hari berturut-turut.

Maka dalam kasus ini dipandang tidak ada mukoyyas yang karenanya lafadz mutlaq dibawa kepadanya.

2.    Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku. Dalam hal ada yang berpendapat lafadz yang mutlaq  tidak dibawa kepada lafadz muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari mayoritas ulama Syafi’i bahwa mutlaq  disini dibawa kepada muqayyad mengingat “sebab”-nya sama sekalipun berbeda hukumnya.

 

Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1.    Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.

Contoh:

·      Ayat Mutlaq

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

·      Ayat Muqayyad

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

·      Ayat Mutlaq

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

·      Ayat Muqayyad

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

2. Ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

·      Ayat Mutlaq

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

·      Ayat Muqayyad

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)

 “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

 

Penutup

Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.

Apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.

 

Referensi

Abdul Wahbah al-Zauhailiy. 1999. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr.

Imam Jalaludin As –Syuthi. 2007. Samudra Ulumul Qur’an Jilid 3. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Jumantoro Totok, Munir Samsul. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarat: Amzah.

Manna Kholil Al-Qattan. 2006. Studi Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Lentera.

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung: Al-Ma’rif.


Post a Comment

Previous Post Next Post