Dasar Penghapusan, Peringanan, dan Pemberatan Pidana
Pendahuluan
Penjatuhan hukuman pidana bagi pelaku tidak begitu saja dijatuhkan
dengan mudah. Ada banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan baik dengan
ketentuan yang telah tercantum dan dirumuskan di dalam undang-undang, ataupun
oleh pertimbangan lain di luar undang-undang sesuai kebijakan hakim.
Hal yang perlu diperhatikan tersebut meliputi hal-hal yang dapat
mengahapuskan atau meniadakan pidana, hal-hal yang dapat meringankan pidana,
dan hal-hal yang dapat memberatkan pidana. Semua hal itu sangat diperlukan
dalam proses penjatuhan pidana kepada pelaku agar dapat dirasakannya suatu
keadilan dan kepastian hukum terhadap tindak pidana yang beraneka ragam dengan
motif dan keadaan yang beraneka ragam pula.
Dasar Penghapus Pidana
Alasan penghapus pidana pada hakikatnya adalah alasan yang dapat
menghapus pertangggung jawaban pidana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa alasan penghapus
pidana adalah alasan pembenar untuk menghapuskan elemen melawan hukumnya suatu perbuatan
pidana.
George P. Fletcher mengemukakan adanya tiga teori terkait alasan
penghapusan pidana, yakni :
1.
Teori Hukuman yang Tidak Perlu (Theory of pointless punishment)
Teori ini berpijak pada teori kemanfaatan alasan pemaaf (the
utilitarian theory excuse) sebagai bagian dari teori manfaat dan hukuman (the
utilitarian theory of punishment). Teori ini pun tidak terlepas dari ajaran
Jeremy Bentham yang mana dia mengatakan bahwa pemidanaan haruslah bermanfaat,
ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan, yakni :
a.
Pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan
diri pada pelaku kejahatan;
b.
Pemindahan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan;
c.
Pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Sebagaimana yang yang Fletcher katakan, bahwa tidak ada gunanya
menjatuhkan pidana kepada orang gila atau yang menderita sakit jiwa dan atau
kepada orang yang tidak menyadari apa yang diperbuatnya. Pelaku yang gila atau
sakit jiwa atau cacat dalam tubuhnya tidak mampu menginsyafi perbuatannya dan
tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang, sehingga penjatuhan
pidana kepada oarang yang demikian tidak memberikan manfaat sedikit pun, justru
akan melukai rasa keadilan masyarakat.
Sebagai contoh, orang gila sedang berada di tengah keramaiaan
kemudian melempari orang-orang disekelilingnya dengan batu sehingga beberapa
orang di antara mereka menderita luka-luka. Orang gila tersebut tidak
menginsyafi bahkan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang
gila tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya yang membawa
konsekuensi tidak dapat dipidana, kalaupun ia dipidana makan tidak ada manfaat
sedikitpun untuknya. Jadi, teori ini merupakan teori yang penghapus pidananya
adalah alasan pemaaf.
2.
Teori Peringkat Kejahatan yang Lebih Ringan (Theory of lesseres
evils)
Teori ini merupakan teori alasan pembenar, yang mana teori ini
merupakan alasan penghapus pidana yanng berasal dari luar diri pelaku (uitwending).
Yang dimana dalam hal ini harus memilih salah satu perbuatan yang sama-sama
menyimpang dari aturan. Suatu perbuatan dapat dibenarkan atas dasar dua alasan
:
a.
Meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan, namun perbuatan
tersebut harus dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar.
b.
Perbuatan yang melanggar aturan tersebut hanya merupakan
satu-satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk
menghindari bahaya atau ancaman yang akan timbul.
Teori ini lebih pada pilihan objektif untuk melindungi kepentingan
hukum dan atau kewajiban hukum yang timbul dari dua keadaan atau situasi secara
bersamaan.
Contoh, mobil pemadam kebakaran yang melaju dengan sangat kencang
sehingga melebihi kecepatan maksismum yang diperbolehkan. Bahkan mobil tersebut
melanggar rambu-rambu lalu lintas termasuk lampu pengatur rambu lalu lintas
karena segera harus memadamkan api akibat kebakaran yang terjadi di suatu
kompleks perumahan. Di sini, kepentingan memadamkan api termasuk menyelamatkan
nyawa beserta harta benda yang mungkin timbul akibat kebakaran tersebut lebih
besar bila dibandingkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh mobil pemadam
kebakaran terhadap rambu-rambu lalu lintas.
3.
Teori pembelaan yang diperlukan (theory of necessary defense)
Teori ini bisa juga dikatakan sebagai teori pembelaan diri. Tidak
ada kesepakatan antara para ahli hukum pidana mengenai apakah teori ini masuk
kepada teori alasan pembenar maupun teori alasan pemaaf. Namun, adakalanya teori
ini dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan. Dalam konteks yang
demikian, maka sudah barang tentu teori ini masuk kepada teori alasan pembenar.
Jika sebaliknya, maka teori ini dapat menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku.
Dengan demikian teori ini dapat didolongkan pada teori alasan pemaaf.
a.
Alasan Penghapus Pidana Umum
Alasan penghapusan pidana umum di bagi lagi menjadi dua, yakni
alasan penghapus pidana umum menurut undang-undang dan alasan penghapus pidana
umum di luar undang-undang.
1)
Alasan penghapus pidana umum menurut Undang-Undang
Alasan
penghapusan pidana umum menurut undang-undang terdapat dalam pasal 44, pasal
48, pasal 49, pasal 50 dan pasal 51 KUHP.
a)
Tidak mampu bertanggung jawab (menurut pasal 44 KUHP);
b)
Daya paksa (menurut pasal 48 KUHP);
c)
Keadaan darurat (tidak ada dalam KUHP, karena menurut pembentukan
sejarah KUHP (Memorie van Toelchting) dan notulensi Komisi De Wal,
situasi keadaan darurat digolongkan dalam overmatch atau daya paksa
sehingga pengaturan keadaan darurat sebagai bagian dari daya paksa);
d)
Pembelaan terpaksa (menurut pasal 49 ayat (1) KUHP;
e)
Pembelaan terpaksa melampaui batas (menurut pasal 49 ayat (2) KUHP)
f)
Melaksanakan perintah undang-undang (menurut pasal 50 KUHP)
g)
Perintah jabatan (menurutpasal 51 (1) KUHP)
h)
Perintah jabatan tidak sah (menurut pasal (2) KUHP)
2)
Alasan Penghapusan Pidana Umum di luar Undang-Undang
a)
Izin
Izin atau persetujuan dapat merupakan suatu alasan penghapus
pidana, dalam hal ini adalah alasan pembenar, jika perbuatan yang dilakukan
mendapat persetujuan dari orang yang akan dirugikan dari perbuatan tersebut.
Artinya, ada content of the victim atau persetujuan korban. Izin atau
persetujuan sebagai alasan penghapus pidana didasarkan pada adagium volenti
non fit iniura atau nulla iniura est, quae in volentem fiat.
Artinya, terhadap siapa yang memberikan persetujuan satu tindakan, tidak akan
menghasilkan ketidakadilan.
b)
Error Facti
Afwezigheid van alle schuld (Avas) atau tidak ada kesalahan sama sekali merupakan alasan
penghapus pidana yang mana pelaku telah cukup berusaha untuk tidak melakukan
delik. Avas ini juga disebut: sesat yang dapat dimaafkan. Dengan demikian Avas
adalah pemaaf yang menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku. Avas ini
dibedakan dalam dua kategori yaitu error facti dan error juris.
c)
Error juris
Error Juris sebagaimana
juga error facti merupakan bagian
dari Avas. Error juris disebut juga rechtsdwaling atau kesesatan
hukum yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh
undang-undang. Error juris ini dibedakan menjadi error juris yang
dapat dimengerti dan error juris yang tidak dapat dimengerti. Kedua
kesesatan hukum ini merujuk pada tingkat pengetahuan dan latar belakang yang
objektif dari pelaku.
d)
Tidak Ada Sifat Melawan Hukum Materiil
e)
Hak Jabatan
Hak jabatan atau pekerjaan disebut juga beroepsrecht biasanya
berkaitan dengan profesi dokter, apoteker, perawat dan peneliti ilmiah di
bidang kesehatan. Sebagai misal, penelitian ilmiah di bidang kesehatan dengan
tujuan memberantas suatu penyakit atau vivisectie. Dalam penelitian tersebut
seringkali dilakukan percobaan-percobaan terhadap hewan. Pada hakikatnya
menyakiti atau menyiksa hewan adalah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 302 KUHP. Akan tetapi, karena pekerjaan tersebut timbul sebagai hak
jabatan, maka elemen melawan hukum dari perbuatan pidana dihapuskan. Dengan
demikian, hak jabatan merupakan alasan pembenar. Dalam perkembangan lebih
lanjut, hak jabatan atau pekerjaan juga dikenal dalam menjalankan profesi
seperti advokat, jurnalis, dan profesi-profesi lainnya.
f)
Mewakili Urusan Orang lain
Mewakili urusan orang lain atau zaakwaarneming adalah
seseorang yang secara sukarela tanpa berhak mendapatkan upah mengurusi
kepentingan orang lain tanpa perintah orang yang diwakilinya. Apabila terjadi
perbuatan pidana dalam menjalankan urusan tersebut, maka sifat melawan hukum
perbuatan dihapuskan. Dengan demikian, zaakwaarneming merupakan alasan
pembenar. Sebagai misal, petugas pemadam kebakaran yang dalam rangka memadamkan
api memasuki rumah dengan merusak pintu, jendela dan sebagian rumah untuk
mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar.
b.
Alasan Penghapus Pidana Khusus
Alasan penghapus pidana khusus adalah penghapus pidana yang hanya
berlaku pada delik-delik tertentu. Pada dasarnya pelaku yang memenuhi unsur
delik tersebut dianggap telah melakukan perbuatan pidana, namun ada
pengecualian-pengecualian yang dirumuskan secara eksplisit dalam rumusan delik
sehingga tidak terjadi penuntutan pidana terhadap pelaku. Apakah pasal-pasal
tersebut merupakan alasan pembenar ataukah alasan pemaaf, tentunya tidak
terlepas dari konstruksi pasalnya. Beberapa pasal yang merupakan alasan
penghapus pidana khusus antara lain : Pasal 221 ayat (2) KUHP dan Pasal 310
ayat (3) KUHP.
Ketentuan ayat (2) pasal 221 KUHP merupakan alasan penghapus pidana
jika perbuatan tersebut dilakukan keluarga termasuk suami/istri atau bekas
suami/istri. Di sini perbuatan yang dilakukan tetaplah perbuatan pidana, namun
dapat dihapuskan. Dengan demikian Pasal 221 ayat (2) KUHP merupakan alasan
pemaaf.
Berdasarkan konstruksi pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat alasan
penghapus pidana jika perbuatan tersebut demi kepentingan umum atau untuk
membela diri. Artinya, elemen melawan hukum sebagaimana yang terdapat dalam
pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) dihapus. Dengan demikian ktentuan ayat (3)
pasal 310 KUHP merupakan alasan pembenar.
c.
Alasan Penghapus Pidana Putatif
Alasan penghapus pidana putatif adalah seorang yang mengira telah
berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan darurat atau dalam
menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah,
namun kenyataannya tidak demikian. Pelaku yang demikian tidak dapat dijatuhi
pidana jika dapat dibuktikan bahwa dalam keadaan yang demikian pelaku bertindak
secara wajar.
Termasuk dalam alasan penghapus pidana putatif ini adalah overmacht
putatif dan noodweer putatif. Jan Remmelink memberi contoh
overmmacht putatif adalah seorang kapten kapal mengira bahwa ia terancam
akan diserbu perompak sehingga kapten kapal tersebut meninggalkan kapal. Pada
kenyataannya, perkiraan kapten kapal tersebut adalah keliru. Sedangkan contoh noodweer
putatif adalah sebagai berikut: A melihat B ditodong oleh C yang bertopeng
dengan menggunakan pistol. Dengan tangkas A menendang C hingga terjatuh.
Ternyata C adalah teman akrab B yang bersenda gurau sehingga pistol yang
digunakanoun hanyalah pistol mainan. A dibebaskan dari pertanggung jawaban
pidana berdasarkan pembelaan terpaksa yang putatif.
Dasar-Dasar Peringanan Pidana
Dari
sudut luas berlakunya, dasar-dasar diperingannya pidana dalam undang-undang
dibedakan menjadi dua, yaitu dasar-dasar diperingannya pidana umum dan
dasar-dasar diperingannya pidana khusus. Dasar umum berlaku pada tindak pidana
umumnya, sedangkan dasar khusus hanya berlaku pada tindak pidana khusus
tertentu saja.
1. Dasar-Dasar
yang menyebabkan diperingannya Pidana Umum
a. Menurut KUHP
: Belum Berumur 16 tahun
Bab III Buku I KUHP mengatur tentang
hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana. Tentang hal
yang memperingan (mengurangkan) pidana dimuat dalam Pasal 45, 46 dan 47. Akan
tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak
(diundangkan tanggal 3 januari 1997 dan berlaku sejak tanggal 3 januari 1998),
ketiga pasal itu telah tidak berlaku lagi (pasal 67). Sebelum membicarakan
tentang hal yang memperingankan pidana bagi anak menurut Undang-Undang No. 3
Tahun 1997, baik juga kiranya untuk sekedar diketahui, secara sepintas hal yang
dibicarakan ketiga pasal tersebut.
Menurut Pasal 45 menyebutkan hal yang
memperingan pidana ialah sebab si pembuat adalah seorang anak yang umurnya
belum mencapai 16 tahun. Inilah satu-satunya dasar yang peringanan umum yang
ditentukan dalam Bab III Buku I. Menurut Pasal 45, bahwa terhadap seorang yang
belum dewasa yang dituntut pidana karena melakukan suatu perbuatan ketika
umurnya belum 16 tahun, maka hakim dapat menentukan salah satu diantara 3
kemungkinan, yaitu :
1) Memerintahkan
agar anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya,
tanpa pidana apapun.
2) Memerintahkan
agar anak itu diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu apabila
perbuatan yang dilakukannya adalah berupa kejahatan atau salah satu pelanggaran
Pasal-Pasal : 489, 490, 492,496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532,
536 dan 540 dan belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dengan putusan yang telah
menjadi tetap.
3) Menjatuhkan
pidana.
a) Dalam hal
tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
maka hakim menjatuhkan pidana yang berat atau lamanya adalah maksimum pidana
pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang dilakukannya itu dikurangi
sepertiga.
b) Dalam hal
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka tidak
dapat dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, melainkan hakim
menjatuhi pidana penjara selama-lamanya 15 tahun.
Apabila hakim memerintahkan anak itu
diserahkan pada pemerintah, menurut pasal 46 maka ia:
1) Dimasukan
pada rumah pendidikan negara untuk menerima pendidikan dari pemerintah, atau di
kemudian hari dengan cara lain.
2) Diserahkan
pada:
a) Seorang
tertentu yang bertempat tinggal di indonesia, atau
b) Suatu badan
hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia.
Untuk menyelenggarakan pendidikannya atas
tanggungan pemerintah, atau di kemudian hari dengan cara lain, kedua hal di atas
dijalankan sampai anak itu berumur 18 tahun.
b. Menurut UU
No. 3 Tahun 11997 : Anak yang umurnya telah mencapai 8 tahun tetapi belum pernah
kawin
Dasar peringanan pidana menurut UU No.3
tahun 1997, terdapat 2 unsur kualitatif yang menjadi syaratnya, yaitu: pertama mengenai
umurnya (telah 8 tahun tapi belum 18 tahun) dan yang kedua mengenai belum
pernah menikah. Dalam sistem hukum kita, selain umur perkawinan juga adalah
menjadi sebab kedewasaan seseorang.
Sama dengan KUHP, UU No 3 Tahun 1997 ini
juga terhadap anak ( KUHP : belum berumur 16 tahun, UU ini telah berumur 8
tahun tapi belum 18 tahun dan belum pernah kawin) yang terbukti bersalah karena
melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan satu diantara dua kemungkinan,
yaitu menjatuhkan pidana atau menjatuhkan tindakan (pasal 21).
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak
Nakal yang melakukan tindak pidana ialah pidana pokok dan pidana tambahan (Pasal
23 ayat 1). Pidana Pokoknya ada 4 macam (Pasal 23 ayat 2) yaitu:
a) Pidana
Penjara
b) Pidana
Kurungan
c) Pidana Denda
d) Pidana
Pengawasan
Sedangkan pidana tambahan bagi anak nakal (Pasal
23 ayat 3) ialah:
a) Pidana
perampasan barang-barang tertentu; dan atau
b) Pembayaran
ganti rugi
Sedangkan tindakan yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal ialah:
a) Mengembalikannya
kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
b) Menyerahkannya
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c) Menyerahkannya
kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak
di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (Pasal 24 ayat 1).
c. Perihal
Percobaan Kejahatan dan Pebantuan Kejahatan
Untuk percobaan kejahatan dan pembantuan
kejahatan, yang menurut Undang-Undang (Pasal: 53 ayat 2 dan 57 ayat 1) pidana
maksimum terhadap si pembuatnya dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada
kejahatan yang bersangkutan. Hal ini menurut undang-undang berlaku kepada si
pembuat yang gagal atau tidak selesai dalam melakukan kejahatan, demikian juga
orang yang membantu orang lain dalam melakukan kejahatan, ancaman pidananya
dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang dilakukan.
Berarti disini ada peringanan pidana, jika dibandingkan dengan pembuat
kejahatan selesai atau bagi si pembuatnya sendiri. Tetapi sesungguhnya
percobaan pembantuan ini adalah berupa dasar peringanan yang semu, bukan dasar
peringanan yang sebenarnya, mengapa demikian?
Pertama, percobaan dan pembantuan adalah suatu
ketentuan/aturan umum (yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang) mengenai
penjatuhan pidana terhadap pembuat yang gagal dan orang yang membantu orang
lain melakukan kejahatan, yang artinya orang yang mencoba itu atau orang yang
membantu tidak mewujudkan suatu tindak pidana tertentu, hanya mengambil
sebagian syarat dari sekian syarat suatu tindak pidana tertentu. Wujud-Wujud
perbuatan apa yang dilakukan oleh pelaku pencoba atau pelaku pembantu tidaklah
memenuhi syarat bagi suatu tindak pidana tertentu selesai. Pada dasarnya ia
tidak melakukan kejahatan dan pada dasarnya pula ia tidak dipidana. Hanya oleh
karena undang-undang saja yang menentukan dipidananya. Percobaan dan pembantuan
adalah hal yang mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana. Oleh sebab itu
andaikata pembentuk undang-undang tidak menentukan dapatnya dipidana pada orang
yang mencoba kejahatan atau orang yang membantu kejahatan, pastilah dia tidak
dipidana.
Kedua, Ketentuan mengenai dipidananya pembuat yang
gagal (percobaan) dan pembuat pembantu (medeplichtige) tidak dimuat dalam
Bab III Buku I tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan
pidana. Apabila pembentuk undang-undang berpandangan bahwa percobaan dan pembantuan
itu adalah sebagai alasan pengurangan pidana sebagaimana halnya anak yang
usianya belum 16 tahun, dan bermaksud demikian, tentulah hal percobaan dan hal
pembantuan itu dimasukan dalam Bab III Buku I ini, dan tidak pada bab lain.
2. Dasar-Dasar
yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Khusus
Di sebagian tindak pidana tertentu, ada
pula dicantumkan dasar peringan tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap
tindak pidana yang disebutkan saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam
tindak pidana. Dasar peringan pidana khusus ini tersebar di dalam pasal-pasal
KUHP.
Untuk dapat dinyatakannya suatu tindak
pidana sebagai lebih ringan tentu ada pembandingnya. Dalam tindak pidana lebih
ringan inilah unsur yang menyebabkan diperingannya pidana terhadap si pembuatnya.
Tindak pidana bandingannya atau pembandingnya itu ada 2 yaitu :
a. Biasanya
pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut juga bentuk biasa atau bentuk
standard (eenvoudige delicten ). Contoh tindak pidana dalam
bentuk pokok: pembunuhan (338), penganiayaan (351 ayat 1), pencurian (362),
penggelapan (372), dan penipuan (378).
b. Pada tindak
pidana lainnya (bukan termasuk bentuk pokok) tapi perbuatannya serta
syarat-syarat lainnya sama. Contohnya penganiayaan ringan (352), pencurian
ringan (364), penggelapan ringan (373), dan penipuan ringan (379).
Dasar-Dasar Pemberatan Pidana
Di dalam
undang-undang, dibedakan antara dasar-dasar pemberatan untuk pidana umum dan
pidana khusus. Yang menjadi dasar pemberatan pidana umum adalah dasar
pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana baik yang
terdapat di dalam kodifikasi maupun yang berada di luarnya. Sedangkan dasar
pemberatan pidana khusus dirumuskan dalam kodifikasi dan hanya berlaku untuk
pidana tertentu saja. Artinya tidak berlaku untuk pidana yang lain.
1.
Dasar Pembaeratan Pidana Umum
Ada tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana umum yang
diatur di dalam undang-undang, yaitu:
a.
Dasar pemberatan karena jabatan
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya
berbunyi: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar
suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatanya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
Dasar pemberat pidana yang tersebut di dalam pasal di atas terletak
pada keadaan jabatan dari kualitas si pelaku mengenai 4 hal berikut:
1)
Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;
2)
Memakai kekuasaan jabatannya;
3)
Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
4)
Menggunakan sarana karena jabatannya.
Pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 KUHP tersebut, tidak hanya
berlaku pada kejahatan-kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut,
tetapi juga pada pelanggaran dan kejahatan yang lain. Hal ini dikarenakan
adanya perhitungan kualitas terhadap pelaku pidana sebagai seorang pejabat atau
pegawai negeri sipil.
b.
Dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan
Perbuatan tindak pidana dengan bendera kebangsaan sebagai sarananya
ditaur dalam Pasal 52 a KUHP yang berbunyi: “Bilamana pada waktu melakukan
kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk
kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.”
Alasan pemberatan terhadap tindak pidana kejahatan yang menggunakan
sarana bendera kebangsaan adalah dilihat dari sudut pandang objektif yang dapat
mengelabui orang-orang yang melihatnya, seolah-olah tindakan tersebut adalah
perbuatan resmi yang direstui oleh negara, sehingga menyebabkan pelaku tindak
pidana memperoleh kelancaran dalam melakukan kejahatnnya.
Pasal 52 a ini tidak menyebutkan bagaimana cara penggunaan bendera
kebangsaan itu dalam melakukan kejahatan, sehingga dapat dipahami bahwa dengan
cara apapun, dapat menjadi dasar pemberatan tindak pidana. Hal yang dinyatakan
secara tegas dalam pasal ini adalah tindak pidana kejahatan bukan pelanggaran,
sehingga di sini berlaku kejahatan apapun, baik yang terdapat dalam KUHP
ataupun tidak dan tidak berlaku dalam pelanggaran.
c.
Dasar pemberatan karena pengulangan (Recidive)
Pengulangan yang dimaksud di sini bukanlah pengulangan menurut
anggapan kebanyakan masyarakat yang diartikan sebagai tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seorang pelaku lalu kemudian ia melakukannya lagi tanpa
memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi undang-undang sendiri tidak
mengatur mengenai pengulangan umum yang berlaku untuk semua tindak pidana.
Hanya saja, dalam KUHP diatur perihal pengulangan sebagai berikut.
a)
Pertama, pengelompokkan tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat
tertentu yang dapat terjadi pengulangan yang disebutkan dalam Pasal 486, 487,
488 KUHP.
b)
Selain kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal tadi, di dalam
KUHP juga ditentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan seperti Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), dan lain
sebagainya.
Faktor yang menjadi rasio dasar pemberatan pidana karena
pengulangan adalah:
a)
Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
b)
Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pelaku oleh negara
karena tindak pidana yang pertama;
c)
Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan.
Selain daripada faktor di atas, dasar pemberatan pidana karena
pengulangan juga dikarenakan penjatuhan pidana dapat dianggap sebagai suatu
peringatan oleh negara tentang kelakuan pelaku yang tidak dibenarkan. Dengan
melakukan tindak pidana yang kedua kalinya, dapat dinilai bahwa yang
bersangkutan tidak mengindahkan peringatan tersebut dan menunjukkan perangai
yang sangat buruk. Oleh karenanya, ancaman pidana yang sama tidak akan
memberikan efek jera kepada pelaku dan harus diberikan ancaman yang lebih berat
lagi. Syaratnya pelaku memang benar-benar telah dijatuhi pidana sebelumnya.
2.
Dasar Pemberatan Pidana Khusus
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan dasar
pemberatan pidana khusus adalah pemberatan yang hanya berlaku pada tindak
pidana tertentu dan tidak berlaku pada semua tindak pidana seperti layaknya
dasar pemberatan pidana umum yang berlaku untuk semua tindak pidana. Dasar
pemberatan pidana khusus ini dirumuskan secara tegas di dalam KUHP dan tersebar
di beberapa pasal.
Dalam pemberatan pidana khusus ini, si pelaku dapat dipidana
melampaui atau di atas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan.
Berat ringannya ancaman pidana pada tindak pidana tertentu yang sama macam
kualifikasinya, dapat dibedakan dalam bentuk tindak pidana dalam bentuk pokok,
bentuk yang lebih berat, dan bentuk yang lebih ringan. Pada pasal mengenai
tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap unsur-unsurnya,
artinya rumusannya mengandung arti yuridis dari jenis (kualifikasi) tindak
pidana itu. Ancaman pidananya juga terletak di antara bentuk yang diperberat
dan bentuk yang diperingan.
Adapaun ciri dari tindak pidana dalam bentuk yang diperberat ialah
harus memuat semua unsur yang ada dalam bentuk pokoknya ditambah dengan satu
atau lebih unsur khususnya yang memberatkan. Unsur khusus inilah yang dimaksud
dengan dasar pemberatan pidana khusus itu.
Contohnya yaitu bentuk pencurian yang diperberat yang dirumuskan
dalam Pasal 363 tentang pencurian. Dalam pasal ini unsur-unsur pokok pencurian
telah ada di dalamnya dari kata pencurian. Adapun unsur khusus yang
memberatkannya terdapat dalam banyak unsur, misalnya pada ayat (1) dari Pasal
363 terdiri dari banyak alternatif, yaitu pemberat pada unsur objeknya yaitu
ternak, terletak pada saat kejadian melakukan pencurian itu (waktu kebakaran,
letusan gunung, banjir, gempa bumi, dan lain sebagainya), pada pembuatnya lebih
dari satu (bersekutu) dan seterusnya.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di
atas, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai dasar peniadaan, peringanan dan
pemberatan pidana. Dasar peniadaan pidana diantaranya ketidakmampuan
bertanggung jawab dan keadan darurat. Untuk dasar peringanan pidana diantaranya
yaitu karena pelaku belum berusia 16 tahun. Sedangkan yang dapa menjadi dasar
pemberatan suatu tindak pidana diantaranya yaitu pengulangan dan penggunaan
bendera kebangsaan.
Referensi
Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
_____________. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Eddy O.S. Hiariej. 2014. Prinsip-prinsip Hukum Pidana.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.