Tentang Kewarisan
Pewarisan berasal dari bahasa Arab الإِرْثُ (al-irṫu) yang secara etimologi memiliki arti tetap. Sedangkan artinya dalam terminologi ilmu kewarisan (ilmu faraid) adalah perpindahan sesuatu (harta) dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Maksud dari kaum tersebut adalah generasi karena memang kewarisan berkenaan dengan perpindahan harta dari satu generasi ke generasi lainnya yang lebih lama hidup. Terlihat terdapat kecocokan pengertian secara terminologi dan etimologi di mana perpindahan harta yang ada dalam pengertian etimologi menjadikan harta tersebut tetap sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian secara etimologi. Memang harta bukan menjadi satu-satunya hal yang dapat diwariskan, tetapi dalam ilmu kewarisan yang menjadi fokus utamanya adalah harta. Hal-hal lainnya yang dapat diwariskan selain harta kiranya tidak perlu disebutkan karena selain bukan menjadi fokus pembahasan dalam ilmu kewarisan, juga sudah tersirat dalam kata harta itu sendiri dikarenakan memiliki kemiripan dengan harta dalam hal memiliki nilai dan berharga.
Sebab Mewarisi
Waris-mewarisi tidak terjadi begitu saja secara spontan, tetapi ada sebab-sebab tertentu yang telah ditentukan dalam ketentuan hukum, terutama hukum Islam. Pendapat paling populer menyebutkan bahwa sebab seseorang mewarisi ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Pernikahan (النكاح)
Pernikahan secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu akad yang dapat memperbolehkan hubungan badan dengan lafal-lafal dan syarat-syarat tertentu. Hubungan pernikahan menjadikan kedua orang (suami dan istri) yang menikah dapat mewarisi satu sama lain selama tidak ada sesuatu yang menjadi penghalang mewarisi antara suami dan istri yang akan dibahas pada bagian penghalang mewarisi. Tidak semua akad pernikahan dapat menjadi sebab saling mewarisi, karena hanya akad pernikahan yang sah saja yang dapat menjadi sebab mewarisi. Bilamana keduanya bercerai (talak) maka terputus juga hubungan mewarisi antara keduanya. Itupun hanya baru terjadi setelah masa iddah pada talak raj’i (talak yang masih dapat rujuk) berakhir. Sehingga pada masa iddah talak raj’I keduanya tetap saling mewarisi. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan iddah adalah waktu tunggu bagi perempuan yang bercerai sebelum dapat menikah lagi dengan laki-laki lain. Selama masa iddah itu, suami yang bercerai dengannya masih dapat melakukan rujuk, yakni mengembalikan ikatan perkawinan tanpa memerlukan akad yang baru. Apabila habis masa iddahnya, maka hubungan perkawinan dengan mantan suaminya hanya dapat dijalin lagi dengan akad baru.
2. Pertalian Keluarga (النسب)
Pertalian keluarga dapat menjadi sebab mewarisi antara keluarga baik dari pihak ayah ataupun ibu. Tidak semua keluarga atau kerabat dapat saling mewarisi, hanya keluarga dan kerabat yang telah ditentukan saja yang dapat saling mewarisi. Sebab mewarisi dengan pertalian keluarga mengedepankan keluarga yang terdekat, sehingga keluarga yang lebih jauh meskipun merupakan ahli waris dapat terhalang atau terkurangi jatah warisnya oleh ahli waris dengan pertalian keluarga yang lebih dekat. Kejelasan dalam pertalian keluarga sangat penting untuk diketahui mengingat harusnya ada hubungan darah dan dari ikatan yang sah. Sehingga pertalian keluarga yang bukan karena pertalian darah seperti keluarga angkat atau dari ikatan yang tidak sah seperti yang lahir di luar pernikahan yang sah, tidak dapat saling mewarisi.
3. Pembebasan (الولاء)
Pembebasan yang dimaksud di sini adalah pembebasan terhadap belenggu perbudakan yang dalam Bahasa Arab disebut الوَلاّء (al-walaa’). Orang yang memerdekakan seorang hamba sahaya, mewarisi warisan dari mantan hamba sahaya tersebut bilmana meninggal. Perihal ketentuan warisannya tidak begitu banyak dibahas dalam literatur-literatur terkini mengingat bahwa perbudakaan dilarang saat ini. Ketentuan tentang larangan perbudakan ini berlaku secara internasional sehingga di negara manapun tidak ada yang diperbolehkan melakukan perbudakan. Jika memang ada, itu tidak lain hanyalah tindakan kejahatan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang pastinya perlu diberantas.
Sebenarnya terdapat satu lagi sebab mewarisi, sehingga membuat jumlahnya menjadi empat. Tetapi sebab yang keempat ini tidak terlalu populer yang membuatnya jarang disebutkan dalam sebagian sumber literatur. Sebab tersebut dikenal dengan pembendaharaan negara (baitul maal). Sebab ini tidak bersifat individual sebagaimana ketiga sebab di atasnya, karena memang tidak menjadi sebab untuk perseorangan orang Islam, tetapi umum mencakup untuk semua umat Islam yang berdomisili di suatu wilayah pemerintahan dari lingkup terluas seperti negara sampai lingkup kota/kabupaten atau lainnya. Di samping itu, pemberlakuannya sulit diterapkan pada wilayah pemerintahan yang tidak menggunakan hukum Islam secara langsung.
Penghalang Mewarisi
Sebagaimana sebab mewarisi, penghalang mewarisi juga menurut pendapat paling populer ada tiga. Bilamana seseorang mengalami salah satu dari ketiga penghalang itu maka ia akan terhalang dari mendapatkan warisan. Ketiga penghalang tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Perbudakan (الرق)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa seseorang yang dimerdekakan dari status hamba sahaya atau budak mewariskan kepada orang yang memerdekakannya bilamana budak itu meninggal. Kebalikannya dari hal itu, bilamana seseorang mejadi budak, maka ia terhalang untuk mewarisi dari orang yang dapat ia warisi. Hal itu berlaku sama bagi semua jenis hamba sahaya, dimulai dari hamba sahaya mukatab sampai mu’allaq. Alasan sederhananya adalah karena hamba sahaya tidak memiliki kekuasaan penuh atas dirinya sendiri dan harta yang dimilikinya karena tentu saja ia berada dibawah kekuasaan tuannya. Sehingga kalaupun ia mendapatkan jatah warisan, jatah warisan tersebut tentu akan dikuasai oleh tuannya juga.
2. Membunuh (القتل)
Penghalang kedua yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan adalah bilamana ia melakukan pembunuhan terhadap orang yang akan ia warisi. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua jenis pembunuhan baik karena disengaja atau karena kesalahan. Landasan hukum tentang terhalangnya seseorang yang membunuh orang yang akan diwarisinya diantaranya adalah sabda Rasulullah Saw:
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنْ تِرْكَةِ مَقْتُوْلِهِ شَيْئٌ
Bahwa “Seorang pembunuh tidak memiliki hak apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” Menurut Ibnu Abdil Barr hadis ini merupakan hadis yang sahih.
3. Perbedaan Agama (اختلاف الدين)
Bilamana seorang pewaris dengan orang yang akan diwarisinya memiliki perbedaan agama, dalam ketentuan hukum Islam keduanya menjadi tidak saling mewarisi. Seorang ayah beragama Islam tidak dapat mewariskan hartanya kepada anaknya yang bergama selain Islam. Begitupun sebaliknya, seorang anak yang beragama Islam tidak dapat mewarisi warisan dari orang tuanya yang memiliki agama selain Islam. Tetapi ada beberapa ketentuan khusus dalam hal ini, diantaranya penghalang perbedaan agama ini tidak berlaku dalam hubungan mantan hamba sahaya dengan orang yang memerdekakannya. Orang yang memerdekakannya tetap mewarisi orang yang dimerdekakannya meskipun berlainan agama, bilamana yang beragama Islam adalah orang yang memerdekakannya. Selanjutnya menurut pendapat Imam Ahmad, jika seorang pewaris yang tidak bergama Islam kemudian masuk agama Islam agar mendapatkan warisan dari orang yang diwarisinya yang beragama Islam hal itu dapat membuatnya mendapatkan warisan, meskipun pendapat yang lebih banyak mengatakan tidak bisa. Alasan yang dikemukakan oleh Imam Ahmad adalah untuk menunjukkan kepada orang tersebut kemurahan hukum dalam agama Islam sehingga ia diharapkan akan benar-benar masuk agama Islam karena keikhlasan dan istiqamah di dalamnya.
Bilamana terjadi bentrok antara sebab mewarisi dan penghalang mewarisi, tentu saja yang didahulukan adalah penghalang mewarisi. Contohnya telah banyak disebutkan secara tersirat pada pembahasan di atas. Tetapi agar lebih memperjelas maka tidak ada salahnya membuat contoh yang lain. Misalnya terdapat seorang ayah dan anak. Keduanya tentu saling mewarisi apabila melihat kepada sebab mewarisi sebelumnya. Sebab mewarisinya yaitu adalah nasab atau pertalian keluarga. Lalu kemudian di saat yang bersamaan keduanya memiliki agama yang berbeda, ayahnya beragama Islam, sedangkan anaknya bukan beragama Islam. Maka karena adanya penghalang mewarisi, anak tersebut tidak akan mewarisi ayahnya jika ayahnya meninggal. Begitu juga sebaliknya, jika anaknya meninggal maka ayahnya tidak akan mewarisi anaknya. Biasanya jika terjadi hal demikian, agar keduanya dapat memperoleh harta dari yang lain, maka dibuat wasiat. Wasiat diperbolehkan karena berada di luar warisan dengan bagian yang ditentukan dalam hukum Islam tidak melebihi dari sepertiga harta warisan.
Referensi:
Muhammad bin Umar Al-Baqariy Asy-Syafi’iy, Hasyiyah Syarh Matn al-Rahbiyyah.