Putusan dan Penetapan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama
Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, bahwa peran hakim sebagai salah satu aparat kekuasaan kehakiman adalah
menjalankan fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Hakim memiliki tugas pokok untuk menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena
itu, dalam segala putusan yang hendak dijatuhkan, hakim haruslah memperhatikan
tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tiga
hal tersebut haruslah menjadi hal yang selalu diusahakan oleh hakim secara
maksimal meskipun dalam praktiknya sangat sulit untuk mewujudkannya.
Tujuan yang ingin didapat oleh kedua belah pihak yang bersengketa
ketika perkaranya masuk ke pengadilan adalah putusan. Putusan merupakan tahapan
di dalam persidangan yang menjadi tahapan akhir sebelum dilakukannya eksekusi.
Apabila sebuah putusan telah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut
memiliki kekuatan yang mengikat dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Kompetensi seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang ia buat.
Seorang hakim sebelum menjatuhkan putusan harus melakukan pemeriksaan terhadap
suatu perkara dengan baik dan benar. Pengetahuan mengenai putusan ini harus
dapat dikuasai dengan baik oleh seorang hakim.
Pengertian Putusan dan Penetapan
1.
Pengertian Putusan
Putusan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah vonnis atau
gewijsde. Vonnis digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan
hukum tetap karena masih dapat dilakukan upaya hukum seperti banding dan
kasasi. Adapun gewijsde adalah putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap dan tidak dapat diganggu gugat kecuali melalui upaya hukum luar biasa
seperti Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan dalam bahasa Arab, putusan dikenal
dengan istilah al-qadla’u.
Menurut Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, putusan adalah
hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan
masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.
Sudikno Mertokusumo berpendapat sebagaimana dikutip oleh Abdul
Manan bahwa yang dimaksud dengan putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam
persidangan terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara
atau sengketa antara pihak yang bersengketa.
Abdul Manan sendiri berpendapat bahwa putusan adalah kesimpulan
akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam
menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Adapun yang dimaksud dengan putusan apabila dihubungkan dengan
pengadilan agama menurut Roihan A. Rasyid adalah produk pengadilan agama karena
adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu ‘penggugat’ dan
‘tergugat’. Produk pengadilan yang seperti ini sering diistilahkan dengan
produk pengadilan yang sesungguhnya atau ‘jurisdictio cententiosa’.
2.
Pengertian Penetapan
Dalam bahasa Arab, penetapan dikenal dengan istilah al-itsbaatu.
Adapun dalam bahasa Belanda, penetapan dikenal dengan istilah beschiking.
Istilah putusan apabila dihubungkan dengan pengadilan agama sebagaimana
dikatakan oleh Roihan A. Rasyid merujuk kepada produk pengadilan agama dalam
arti bukan peradilan yang sesungguhnya atau jurisdictio voluntaria.
Dikatakan demikian, karena dalam penetapan hanya ada pemohon yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu.
Asas-Asas Putusan
1.
Menurut Dasar dan Alasan yang Jelas
Putusan yang dijatuhkan haruslah berdasarkan pertimbangan yang
jelas dan cukup. Apabila suatu putusan tidak didasarkan pada alasan yang jelas
dan cukup, maka putusan tersebut dikategorikan sebagai putusan yang tidak cukup
pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd). Alasan hukum yang menjadi dasar
putusan haruslah bersumber dari peraturan perundang-undangan tertentu atau
sumber hukum lainnya.
2.
Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan harus secara total dan
menyeluruh dengan memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan.
Sehingga hakim tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian gugatan saja dan
mengabaikan gugatan yang selebihnya.
3.
Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Pengadilan tidak boleh mengabulkan dan memutuskan melebihi tuntutan
yang dikemukakan dalam gugatan (ultra petitum partium). Hakim yang
memutus melebihi tuntutan merupakan tindakan melampaui batas kewenangan (beyond
the powers of this authority) putusannya adalah cacat hukum.
Jenis-Jenis Putusan
Dilihat dari jenisnya, secara garis besar putusan dibedakan menjadi
dua, yaitu putusan sela dan putusan akhir.
1.
Putusan Sela
Putusan sela ada yang menyebutnya interlocutoir dan ada pula
yang menyebutnya tussen vonnis. Dalam Pasal 185 HIR/186 Rbg ayat
(1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan sela adalah putusan yang
bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan juga,
tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya dituliskan dalam berita acara
persidangan saja. Pasal 48 dan 332 Reglement op de Rechtvordering (Rv)
kemudian membagi lagi putusan sela ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai
berikut.
a.
Putusan Praeparatoir
Putusan preparatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan putusan
akhir, tanpa ada pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contohnya
adalah putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya
pemeriksaan saksi-saksi.
b.
Putusan Interlucotoir
Putusan interlucotoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian dan dapat memengaruhi putusan akhir. Misalnya putusan untuk
memeriksa saksi-saksi atau pemeriksaan setempat.
c.
Putusan Insidentil
Putusan insidentil adalah putusan atas suatu perselisihan yang
tidak begitu memengaruhi atau berhubungan dengan pokok perkara. Misalnya dalam
hal voeging, tussenkom, prodeo, penetapan sita, dan
lain-lain.
d.
Putusan Provisi
Putusan provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil,
yaitu permintaan para pihak yang bersangkutan agar untuk sementara diadakan
tindakan pendahuluan. Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, di mana
gugatan pokoknya adalah cerai, tetapi sebelum itu, karena suami telah
melalaikan kewajibannya dalam menafkahi istrinya sedangkan istrinya sangat
membutuhkannya, maka sebelum dijatuhkan putusan akhir, istri meminta ditetapkan
nafkah yang dilalaikan.
2.
Putusan Akhir
Putusan akhir adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para
pihak yang berperkara dan diajukan kepada pengadilan.
Formulasi Putusan dan Penetapan
1.
Susunan dan Isi Putusan
a.
Kepala Putusan
Pada bagian atas dari kepala putusan ditulis “PUTUSAN” atau
“SALINAN PUTUSAN”. Kemudian apabila mengacu kepada Pasal 57 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dilanjutkan dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”.
Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 bahwa setiap putusan yang tidak mencantumkan kalimat tersebut, maka
putusan tersebut tidak dapat dijalankan. Pencantuman kalimat tersebut
dimaksudkan agar hakim menginsafi bahwa karena sumpahnya, dia tidak hanya
betanggung jawab kepada hukum, dirinya sendiri, dan rakyat, tetapi juga
bertanggung jawab kepada Tuhan.[1]
b.
Nomor Register Perkara
Nomor register perkara terletak setelah kata “PUTUSAN” dan sebelum
kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
c.
Identitas Para Pihak
Identitas dimulai dengan identitas penggugat lalu kemudian
identitas tergugat. Identitas keduanya dipisah dengan menggunakan kata
“berlawanan dengan”. Adapun identitas yang disebutkan meliputi nama, bin/binti,
alias atau julukan, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, dan
kedudukan sebagai penggugat atau tergugat.
d.
Tentang Duduknya Perkara (Posita)
Pada bagian ini dikutip gugatan penggugat, jawaban tergugat,
keterangan saksi, beritaa acara sidang selengkapnya tetapi singkat, jelas,
tepat, dan kronologis.
e.
Tentang Hukumnya
Bagian ini terdiri dari alasan pertimbangan yang biasanya diawali
dengan kata “menimbang” dan dasar memutus yang biasanya diawali dengan kata
“mengingat”. Pada bagian ini wajib merujuk kepada peraturan perundang-undangan
atau sumber hukum lainnya.
f.
Amar atau Dictum
Bagian ini diawali dengan kata “mengadili”. Dictum bisa
berisi banyak point sesuai dengan tuntutan penggugat (petita) dulunya.
g.
Bagian Kaki Putusan
Bagian ini diawali dengan kata “Demikianlah putusan Pengadilan...”
h.
Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya
Pada putusan yang sebenarnya hakim berikut panitera harus menandatangani
putusan, tetapi pada salinan putusan cukup diganti dengan ttd (tertanda) atau
dto (ditandatangani oleh) lalu kemudian dilegalisir (ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang dan dibubuhi stempel).
2.
Bentuk dan Isi Penetapan
Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan bentuk dan isi putusan
walaupun ada sedikit perbedaan dalam hal sebagai berikut.
a.
Identitas pihak-pihak pada permohonan dan penetpan hanya memuat
identitas pemohon. Kalaupun dimuat identitas termohon, termohon di sana bukan
merupakan pihak.
b.
Tidak akan ditemui kata-kata “berlawanan dengan” seperti pada
putusan.
c.
Tidak akan ditemui kata-kata “tentang duduk perkaranya”, tetapi
langsung diuraikan permohonan dari pemohon.
d.
Amar penetapan bersifat declaratoir atau constitutoir.
e.
Di dalam putusan didahului oleh kata-kata “memutuskan” sedangkan
dalam penetapan didahului kata-kata “menetapkan”.
f.
Biaya perkara dalam penetapan ditanggung oleh pemohon, sedangkan di
dalam putusan biaya perkara ditanggung oleh salah satu pihak yang kalah, atau
ditanggung bersama-sama oleh penggugat dan tergugat. Tetapi dalam perkara
perkawinan selalu dibebankan kepada penggugat atau pemohon.
g.
Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie (gugatan
balasan) atau interventie[2]
atau vrijwaring[3].
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa formulasi
sutau putusan terdiri dari delapan bagian. Bagian-bagian tersebut secara
berurutan dimulai dari: (1) Kepala putusan; (2) Nomor Register Perkara; (3)
Identitas Para Pihak; (4) Tentang duduknya perkara; (5) Tentang hukumnya; (6)
Amar atau Dictum; (7) Bagian kaki putusan; dan (8) Penandatanganan oleh hakim
dan panitera beserta rincian biaya perkara. Formulasi penetapan sama dengan formulasi
putusan. Yang membedakan hanyalah isinya, seperti apabila dalam putusan
didahului oleh kata-kata putusan, sedangkan dalam penetapan didahului oleh
kata-kata penetapan.
Referensi
Fauzan, M.
2005. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah
di Indonesia: Cetakan ke-2. Jakarta: Kencaa Prenadamedia Group.
Hutagalung,
Sophar Maru. 2011. Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani Perkara di
Pengadilan Cetakan ke-2. Jakarta: Sinar Grafika.
Manan, Abdul.
2016. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama: Cetakan
ke-8. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Rasyid, Roihan
A. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
https://andrilamodji.wordpress.com/2015/02/09/asas-sebuah-putusan-pengadilan/ (Diakses pada tanggal 22 September 2018 Pukul 05.15 WIB)
[1] Lihat
penjelasan umum angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
[2] Interventie
adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam
gugatan dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak
dalam sutau perkara perdata yang sedang berlangsung.
[3] Vrijwaring
adalah turut sertanya pihak ketiga dalam perkara atas permintaan salah satu
pihak, biasanya tergugat untuk ikut menanggung atau membebaskan tergugat dari
gugatan.