Mengajukan Gugatan ke Pengadilan
Pengadilan sesungguhnya hanya menerima gugatan atau
permohonan yang diajukan kepada pengadilan. Hal ini mengandung arti bahwa
pengadilan tidak datang ke setiap pintu rumah untuk menawarkan kepada seseorang
agar mengajukan suatu gugatan atau permohonan tertentu. Oleh karena itu,
apabila seseorang ingin mengajukan suatu hal kepada pengadilan, maka ia sendiri
atau orang lain yang diberikan kuasa lah yang mengajukannya ke pengadilan.
Suatu gugatan dapat diajukan secara tertulis atau
secara lisan kepada pengadilan yang berwenang. Maksud berwenang di sini adalah
bahwa pengadilan tersebut memiliki kewenangan baik absolut maupun relatif
terhadap perkara yang diajukan dalam gugatan. Misalnya, dalam lingkungan peradilan
agama, Pengadilan Agama berwenang secara absolut menyelesaikan perkara-perkara
tertentu di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang meliputi:
- perkawinan;
- waris;
- wasiat;
- hibah;
- wakaf;
- zakat;
- infaq;
- shadaqah;
- dan ekonomi syari'ah.
Sedangkan untuk kewenangan relatif yaitu berkenaan
dengan pembagian wilayah hukum mengadili disesuaikan dengan domisili dari pihak
yang berperkara. Misalnya, seseorang yang berdomisili di Kota Bandung, apabila
ia ingin mengajukan suatu gugatan perceraian dan kebetulan ia beragama Islam, maka
gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Kota Bandung.
Landasan Kebolehan Melakukan Perubahan Terhadap Gugatan
Dalam mengajukan suatu gugatan ke pengadilan,
terutama gugatan yang diajukan secara tertulis, penggugat terkadang merasa di
dalam gugatannya ada hal-hal yang perlu diubah atau diperbaiki. Perlu diingat
bahwa, apabila dalam gugatan terdapat kesalahan yang dapat membuat suatu
gugatan mengalami cacat formil (obscuur libel), maka konsekuensinya
gugatan tersebut akan ditolak oleh pengadilan (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Kalaupun tidak menjadikan konsekuensi gugatan ditolak, kesalahan dalam gugatan
dapat menghambat proses pemeriksaan. Misalnya dalam hal banyaknya kesalahan
penulisan atau pengetikan dalam gugatan yang diajukan secara tertulis.
Kesalahan tersebut bisa jadi membuat proses pemeriksaan menjadi lebih lama dan
kehilangan efektivitas dan efisiensi. Padalah peradilan berpedoman pada asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Mengenai landasan hukum kebolehan melakukan suatu
perubahan terhadap gugatan yang diajukan ke pengadilan, tidak ditemukan
peraturannya secara eksplisit baik dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
ataupun Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Tetapi dapat ditemukan
dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (Rv). Dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa:
“Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi
tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah
pokok gugatannya.”
Ketentuan Mengenai Perubahan Gugatan
Melakukan perubahan gugatan merupakan hak dari
penggugat selagi dalam batas-batas tertentu yang diperbolehkan. Penggugat dilarang
melakukan perubahan gugatan melewati batas-batas tertentu yang diperbolehkan
karena dapat merugikan pihak tergugat. Selain penggugat, tergugat pun memiliki
hak yang setara sehingga ketentuan mengenai perubahan gugatan ditetapkan secara
proporsional.
Pasal 127 Rv memang dijadikan rujukan kebolehan
melakukan perubahan terhadap gugatan. Tetapi tidak menentukan syarat-syarat formilnya.
Syarat-syarat formilnya sendiri ditentukan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan. Apabila diringkas secara keseluruhan, pada dasarnya
ketentuan-ketentuan tentang perubahan gugatan kurang lebih seperti berikut ini.
- Perubahan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat harus diketahui juga oleh pihak tergugat.
- Perubahan terhadap gugatan yang telah menerima jawaban tergugat harus mendapat tanggapan dari tergugat.
- Tanggapan tergugat terhadap perubahan gugatan tidak menjadi penentu terhadap perubahan gugatan, tetapi menjadi bahan pertimbangan hakim yang berwenang dalam menentukan perubahan gugatan tersebut. Isi dari tanggapan tergugat dapat berupa persetujuan atau penolakan terhadap perubahan gugatan.
- Perubahan tidak mengubah pokok materi perkara. Terhadap perubahan dan penambahan materi pokok perkara, hal tersebut tidak diperbolehkan. Namun apabila dikurangi, hal tersebut diperbolehkan selama disetujui oleh hakim. Hal tersebut demi melindungi agar tergugat tidak dirugikan. Ketentuan ini sesuai dengan putusan MA RI Nomor 1043 K/Sip/1971 tanggal 3 Desember 1974.
- Perubahan tidak dapat diajukan apabila pemeriksaan sudah hampir selesai dan semua pihak sudah sampai pada kesimpulannya yaitu memohon majelis hakim segera memutuskan perkaranya. Mengenai ketentuan ini, yang menjadi rujukannya yaitu putusan MA RI Nomor 546 K/Sip/1970 tanggal 28 Oktober 1970.
Perubahan Gugatan pada Tingkat Banding
Pada dasarnya, pengajuan perubahan gugatan hanya
dapat dilakukan dalam pemeriksaan di tingkat pertama. Perihal pengajuan
perubahan gugatan pada tingkat banding, Pasal 127 Rv tidak menyinggungnya. Apabila
penggugat mengajukan perubahan gugatan pada tingkat banding, makan hal tersebut
tidak dapat dilakukan. Hal yang mungkin dapat dilakukan adalah mengajukan
gugatan baru secara eksepsional seperti tuntutan untuk dijalankan lebih dulu (uitvoerbaar
bij voorraad). Ketentuan lebih lengkap mengenai tuntutan baru secara
eksepsional dapat ditemukan dalam Pasal 344 Rv.
Bentuk Perubahan Gugatan dalam Praktik
Dalam praktiknya, perubahan gugatan dilakukan
dengan cara sebagai berikut.
- Diubah sama sekali, yang berarti baik posita
maupun petitum diubah. Perubahan ini hanya boleh dilakukan selama tidak mengubah
pokok materi perkara atau merugikan tergugat.
- Diperbaiki, misalnya dalam hal kesalahan
penggunaan tanda baca, ejaan, kekurangan kata, dan lain sebagainya. Hal ini
biasanya diperbolehkan.
- Dikurangi, yaitu ketika ada bagian-bagian tertentu
baik dalam posita maupun petitum yang dikurangi. Pengurangan ini dalam praktiknya
sering dikabulkan oleh hakim.
- Ditambah, yaitu penambahan pada salah satu posita
atau petitum. Bisa terjadi karena ada hal yang disebutkan dalam petitum tapi
belum disebutkan dalam posita atau sebaliknya.
Perubahan Gugatan yang Diajukan Secara Lisan
Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam perubahan gugatan yang diajukan secara tulisan juga berlaku pada perubahan gugatan yang diajukan secara lisan.
Referensi :
M. Yahya Harahap.
(2013). Hukum Acara Perdata. Cetakan ke-13. Jakarta: Sinar Grafika.
Abdul Manan.
(2016). Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama
Edisi Kedua. Cetakan ke-8. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sangat bermanfaat, terimakasih 🙏🏻
ReplyDelete