Kemesraan Lama yang Mulai Kembali Terjalin: Melihat Hubungan Bilateral Rusia dan Indonesia Dulu, Kini, dan Nanti

 

Hubungan Bilateral Indonesia Rusia

Tahun ini, 2023, hubungan diplomatik Rusia dan Indonesia telah genap berusia 73 tahun. Beberapa minggu ke depan, memasuki tahun 2024 akan menjadi 74 tahun. Usia yang cukup lama apabila dihubungkan dengan umur umat manusia. Diresmikan sejak tanggal 3 Februari 1950, hubungan bilateral Rusia dan Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanannya yang cukup panjang itu. Namun, bilamana kemudian ditemukan bahwa usia hubungan bilateral Rusia dan Indonesia lebih dari apa yang sebelumnya disebutkan, hal tersebut bukan merupakan suatu kekeliruan dilihat dari perspektif yang lain. Pasalnya, beberapa dekade sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia yang kala itu masih menjadi Uni Soviet telah terjalin melalui hubungan nonformal. Sejak sekitar tahun 1920-an, hubungan kebudayaan, pendidikan, hingga politik telah mulai terjalin melalui agen-agen non-pemerintahan seperti individu dan organisasi. Pada tingkat individu, beberapa orang Indonesia kala itu telah ada yang melanjutkan pendidikan ke Uni Soviet. Sedangkan pada tingkat organisasi, di Indonesia berdiri Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ideologinya banyak dipengaruhi oleh ideologi komunis dari Uni Soviet (Fahrurodji, n.d.: 123).

Setelah Indonesia merdeka, hubungan dengan Uni Soviet kian akrab terutama setelah Uni Soviet menunjukkan simpatinya kepada Indonesia dalam upaya pencarian dukungan internasional akan kedaulatannya di tengah agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda yang didukung oleh sekutunya. Kala itu, Uni Soviet melalui perwakilannya di Dewan Keamanan PBB (DK PBB) adalah yang pertama mengangkat isu soal Indonesia dan mendukung penyelesaian konfliknya dengan Belanda. Dalam literatur yang umum ditemukan, mungkin akan banyak yang menyebutkan bahwa yang menginisiasi resolusi konflik tersebut adalah Australia, tetapi perlu diingat bahwa sebagai sekutu Belanda, Australia berada di pihak Belanda dan mengusulkan solusi yang lebih menguntungkan pihak Belanda dengan tidak memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk sama-sama diberi ruang untuk berbicara di hadapan DK PBB. Sedangkan Uni Soviet mendukung Indonesia diberi hak yang sama untuk didengarkan di depan DK PBB (kemlu.go.id). Sikap yang ditunjukkan oleh Uni Soviet tersebut mendorong Indonesia untuk menjalin hubungan bilateral secara resmi pada tahun 1946. Namun sayangnya rencana itu gagal akibat pemberontakan di Indonesia tahun 1948 yang melibatkan PKI. Setelah kondisi mulai stabil, barulah pada tahun 1950 hubungan bilateral secara resmi itu terbentuk (Fahrurodji, n.d.: 131).

Tahun 1950-1960 menunjukkan perkembangan yang sangat pesat akan hubungan Uni Soviet dan Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan berbagai penandatanganan berbagai nota kesepahaman dan kerja sama di berbagai bidang, terutama di bidang militer. Uni Soviet banyak memberikan dukungan peralatan militer untuk Indonesia di tengah Indonesia menghadapi isu keamanan nasional dan regional.  Sejak agresi militer Belanda, pembebasan Papua, hingga konfrontasi dengan Malaysia yang didukung oleh negara persemakmuran Inggris, Uni Soviet telah banyak membantu Indonesia. Di sisi lain, Indonesia telah menjadi mitra strategis bagi Uni Soviet di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) di tengah perang dingin antara blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet (kemlu.go.id). Dengan kerja sama yang terjalin antara Uni Soviet dan Indonesia kala itu, menjadikan Indonesia lebih netral dalam statusnya di tengah perang dingin tersebut dengan tetap mempertahankan politik bebas aktifnya. Atas dasar kedekatan, kerja sama, dan penghormatan kebijakan politik masing-masing kedua negara, sangat tepat apabila dikatakan bahwa periode 1950-1960 disebut sebagai periode emas hubungan bilateral Uni-Soviet dan Indonesia (Manurung, 2016: 5).

Meski demikian, sayangnya kemesraan antara kedua negara tak bertahan cukup lama. Tragedi pemberontakan yang melibatkan PKI kembali terulang di tahun 1965 dan lebih besar dibandingkan dengan pemberontakan sebelumnya. Hal ini menjadi awal renggangnya hubungan kedua negara terutama setelah kepemimpinan di Indonesia berpindah tangan. Rezim berikutnya di Indonesia yang dikenal dengan orde baru memandang Uni Soviet berbahaya bagi ideologi negara sehingga hubungan yang sebelumnya dekat berubah menjadi sangat jauh. Semua aktivitas kerja sama yang semula telah terjalin menjadi seolah tak pernah terjadi. Sikap dingin yang ditampakkan oleh pemerintah Indonesia sangat mempengaruhi hubungan kedua negara. Bahkan dampaknya tidak hanya terjadi pada tingkat pemerintahan saja, tetapi lebih luas daripada itu. Setiap warga atau organisasi Indonesia yang diduga memiliki hubungan dengan Uni Soviet atau komunisme baik yang sedang berada di dalam negeri maupun di luar negeri harus menerima secara langsung dampak dari kebijakan tersebut (Hanura, 2018: 7).

Lama berselang hingga menjelang akhir masa kepemimpinan rezim orde baru, pemerintah Indonesia mulai kembali mempertimbangkan hubungannya dengan Uni Soviet. Namun, sebelum hubungan lama itu kembali pulih, Uni Soviet bubar. Di saat yang sama, Indonesia pun tengah mengalami krisis moneter yang sangat besar. Sebuah situasi yang cukup sulit bagi kedua negara (Manurung, 2016: 5). Situasi mulai kembali normal ketika Indonesia mulai memasuki era reformasi bersamaan dengan pengakuan Indonesia atas Rusia sebagai penerus legal dari Uni Soviet. Pemulihan hubungan kedua negara sejak saat itu mulai diupayakan kembali dengan kunjungan masing-masing kepala negara. Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan kunjungan ke Moskow pada tahun 2006 di mana setahun setelahnya, pada tahun 2007, Presiden Rusia Vladimir Putin juga melakukan kunjungan resmi ke Jakarta. Kunjungan tersebut merupakan lanjutan dari agenda “Deklarasi Kerangka Hubungan Pertemanan dan Kerja sama Indonesia-Rusia abad ke-21” yang sebelumnya telah dibuat di tahun 2003 ketika Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarno Putri (Manurung, 2016: 6).

Pada tahun-tahun berikutnya, hubungan kerja sama bilateral Rusia dan Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik. Berbagai nota kesepahaman dalam berbagai bidang mulai kembali ditandatangani. Dimulai dari bidang perdagangan dan perekonomian, pendidikan dan budaya, pariwisata, hingga pertahanan dan militer. Dalam bidang perdagangan misalnya, kedua negara satu sama lain telah melakukan kegiatan ekspor dan impor komoditi masing-masing yang setiap tahun nilainya mampu mencapai ratusan juta dolar Amerika. Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, jumlah pelajar Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke Rusia begitu pun sebaliknya meningkat dari tahun ke tahun (Hanura, 2018: 16-17). Bahasa Rusia menjadi bahasa yang diajarkan secara resmi di berbagai lembaga pendidikan Indonesia dengan hadirnya program studi seperti Sastra Rusia. Bahasa Indonesia pun cukup diminati di Rusia dan diajarkan melalui program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing). Selain itu, teknologi militer yang dimiliki oleh Rusia juga sangat diminati oleh pemerintah Indonesia. Memang pertemuan kerja sama yang dilakukan tidak selalu merupakan agenda khusus, tetapi berbagai kesempatan di tengah-tengah agenda lain seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dan Kerja sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) juga sering dimanfaatkan untuk membicarakan kerja sama bilateral antara kedua negara (Manurung, 2021: 84).

Saat ini, hubungan bilateral Rusia dan Indonesia sedang berada dalam tren yang positif dengan hadirnya komitmen untuk kembali membentuk kemitraan strategis meskipun belum semesra seperti di tahun 1950-1960. Meski demikian, hubungan yang telah ada saat ini adalah modal yang penting untuk mengembangkan hubungan di kemudian hari. Di tengah upaya pengembangan hubungan ini, tak bisa dipungkiri bahwa tantangan kerap kali hadir silih berganti. Misalnya pada tahun 2020 di mana Indonesia gagal membeli jet tempur dari Rusia dikarenakan intervensi dari Amerika dan sekutunya yang mengancam penjatuhan sanksi ekonomi atas Indonesia jika benar-benar membeli jet tempur tersebut. Situasi tersebut tentu saja dapat mempengaruhi agenda kerja sama yang sedang dilakukan. Meski demikian, Rusia dapat memahami dengan baik kondisi yang sedang dialami oleh Indonesia (thejakartapost.com). Contoh tersebut merupakan salah satu dari sekian banyaknya tantangan yang berpotensi menjadi penghalang pengembangan kerja sama antara Rusia dan Indonesia. Bahkan boleh jadi hal itu juga yang menjadi penyebab keberlanjutan kerja sama Rusia dan Indonesia di bidang keamanan regional, kejahatan transnasional, hingga terorisme belum dapat terealisasikan meskipun telah lama direncanakan.

Perlu dipahami bahwa kemitraan strategis antara Rusia dan Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi kedua negara. Bagi Indonesia, Rusia adalah negara sahabat yang menjadi kunci perluasan kerja sama Indonesia ke kawasan Asia Tengah dan Eurasia (Manurung, 2021: 86). Peran besar Rusia yang sebelumnya adalah Uni Soviet dalam perjuangan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional akan selalu menjadi pendorong penguatan hubungan bilateral dengan Rusia. Di sisi lain, bagi Rusia Indonesia menduduki posisi penting sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara guna mempertahankan keseimbangan kekuatan internasional di tengah peralihan menuju kekuatan multipolar. Dalam kaitannya dengan hubungan pertemanan Rusia dan Indonesia yang telah lama ada, pepatah lama Rusia ”stary drug luchshe novikh dwukh” yang berarti satu orang sahabat lama lebih baik dari dua sahabat baru kiranya juga berperan dalam kesungguhan Rusia untuk menjaga dan meningkatkan hubungan baik dengan Indonesia. Meskipun jauh secara letak geografis, tetapi Indonesia adalah teman dekat Rusia dilihat dari kedekatan masa lalu yang pernah terjalin. Hal ini sejalan dengan pepatah Rusia lain “daleko po rasstoyaniyu, no blizko po serttsu” yang berarti jauh dalam ukuran jarak, tapi dekat dalam ukuran hati (Fahrurodji, n.d.: 137).

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, hubungan bilateral antara Rusia dan Indonesia diharapkan akan terus berkembang di masa yang akan datang. Tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang dapat menjadi pendorong kerja sama kedua negara tanpa mengurangi kebebasan dan kemandirian keduanya. Seperti misalnya faktor kedekatan di antara kedua kepala negara maupun kedekatan antar masyarakatnya. Terbukti hal ini sangat berpengaruh besar seperti saat ini, di mana merenggangnya hubungan Rusia dengan negara-negara barat tidak membuat citra Rusia menjadi buruk di mata pemerintah dan masyarakat Indonesia (Manurung, 2018: 63). Sebaliknya, didukung oleh rasa saling percaya, hubungan kedua negara menjadi semakin erat. Hal ini menjadi pertanda baik akan hadirnya kembali kemesraan yang telah lama hilang. Belum sekarang, perlahan namun pasti hal itu akan kembali terulang. Bahkan boleh jadi akan melampaui apa yang telah lalu di masa yang akan datang.

 

 

 

Referensi

Fahrurodji, A. (n.d.). Dari Druzhba ke Mirnoye Sosushyestvovaniye: Diplomasi Uni Soviet-Indonesia dalam Era Stalin dan Kruschev, 1945-1964.

Hanura, M. (2018). ASSESSING INDONESIA-RUSSIA FOREIGN POLICY DURING SUSILO BAMBANG YUDHOYONO ADMINISTRATION. JURNAL ILMU SOSIAL, 17(1), 1. https://doi.org/10.14710/jis.17.1.2018.1-20

Manurung, H. (2016). The Impacts of Indonesia and Russia Trade Relations on Indonesia’s Maritime Security. Journal International Studies, 12. https://doi.org/10.32890/jis2016.12.1

Manurung, H. (2018). MENUJU POROS MARITIM DUNIA: MASA DEPAN INDONESIA. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.35254.60489

Manurung, H. (2021). Indonesia-Russia Strategic Partnership in Southeast Asia Region. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 17(1), 77–96. https://doi.org/10.26593/jihi.v17i1.3488.77-96


*) Esai ini telah dilombakan dan mendapatkan penghargaan dari Kedutaan Besar Federasi Rusia di Jakarta sebagai juara 3 pada lomba esai yang diselenggarakan pada Desember 2023.

Post a Comment

Previous Post Next Post